Dakwah Memprioritaskan Apa?

Sumber Foto: https://arrahim.id/th/sikap-gus-dur-menghadapi-kelompok-islam-garis-keras-3/

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

HARUS diakui sebagian besar umat Islam masih belum bersikap secara proporsional betul. Mereka keras sekali terhadap hal-hal yang sepele, tapi lunak terhadap hal-hal dasar. Orang bilang, umat Islam sangat peka terhadap yang a-moral, namun tidak demikian terhadap yang a-sosial. Jika ada orang yang sedikit saja berperilaku porno, misalnya, mereka akan ganyang habis-habisan, sementara menyaksikan orang yang korupsi atau orang kaya yang tak peduli dengan lingkungannya yang miskin, dibiarkan saja!

Apa sebab? Menurut hemat saya, karena kerangka etik yang dimiliki umat Islam sekarang tidak menggugat kesadaran sosial. Dalam kata lain, kerangka etis itu, sifatnya masih kuat penekanannya pada tanggungjawab perorangan, dan tidak memiliki kerangka kemasyarakatannya (societal framework). Mereka baru sampai pada taraf memekikkan bahwa Islam itu penuh dengan segala yang diperlukan untuk mengatur kehidupan, sementara kerangka sosial dari ajaran-ajaran itu tidak mereka ciptakan.

Seorang koruptor besar, asal sudah menyumbang untuk masjid, akan dimaafkan dan tetap disanjung seperti tak pernah terjadi apa-apa. Orang lupa bahwa tindak korupsi itu lebih jahat, lebih banyak buruknya, daripada tidak ikut membangun masjid. Itu semua terjadi, karena penghayatan agama dalam bentuk membangun masjid, yang sifatnya etis perorangan, lebih ditekankan dari pada penghayatan agama dalam kerangka sosial yang menolak keras tindak korupsi.

Akan ditertawakan

Dus, dakwah Islamiyah lebih diperlukan sekarang adalah yang mampu mengembangkan Islam dari sisi kemasyarakatannya, secara lebih dewasa. Ini harus dimulai dari kalangan elitnya. Untuk itu mereka mesti menyadari dulu nilai-nilai dasar kehidupan, seperti toleransi, tidak mau menerima keterbelakangan, kebodohan, dan lain sebagainya. Bila para elit itu belum juga menyadari semangat ini, mereka tidak berhak lagi disebut elit.

Pada kiai di kampung-kampung hampir tiap hari berbicara tentang jeleknya kebodohan, perlunya tolong-menolong dan kasih-mengasihi sesama manusia. Tapi lantaran nilai-nilai itu tidak dihadirkan dalam konteks sosialnya, maka jika kita berbincang-bincang dengan mereka tentang kemiskinan, akan bisa ditertawakan. Bahkan ada yang berkata, secara tidak jelas bahwa kemiskinan, karena berkait dengan soal rezeki, dan rezeki hanya Tuhan yang menentukan, tidak perlu diutak-atik, apalagi diberantas. Cara berfikir begini kan susah! Lalu, bagaimana? Terlebih dahulu kita harus berbicara tentang perbaikan kualitas hidup, yang kaitannya erat sekali dengan upaya pendidikan. Pendidikan, bagaimana pun, akan menyangkut masalah keimanan. Seseorang yang terdidik lebih baik, akan bisa beriman lebih baik. Juga menyangkut masalah keluarga. Bila sudah dididik, pola kehidupan seseorang dalam keluarga akan menjadi lain. Dan menyangkut pula masyarakat, struktur kehidupan bernegara, dan lain sebagainya. Untuk ini semua diperlukan tunjangan ekonomi agar bisa mencapai hasil yang optimal. Coba lihat, keluarga yang selalu didera kekurangan, tentu tidak bakal mampu melahirkan generasi yang terdidik dengan baik, berikut segala akıbat-akibatnya.

Dengan pendekatan demikian, mereka insya Allah akan mengerti bahwa kemiskinan memang perlu dilunakkan, ditanggulangi. Tapi, kalau dikatakan pada mereka, “Pak, Indonesia ini bangsanya melarat, harus kita tinggalkan”, tentulah mereka akan menertawakan. Sebab mereka toh sudah lama terbiasa dengan kemiskinan, dan rela!

Kenapa tidak dari dulu

Tapi, dewasa ini masih terlihat di mana-mana, kaum agamawan dalam menyampaikan pesannya tidak cukup jelas. Pada khotbah-khotbah Jumat, misalnya, mereka bicara bahwa korupsi itu tidak baik. Tapi, sayang sekali, pembicaraannya mbulet, tidak jelas ujung dan pangkalnya. Jauh dari menawarkan solusi yang realistis. Padahal ia sesungguhnya sedang berbicara tentang sesuatu yang nyata-nyata ada di hadapan matanya. Akibatnya, pesan tersebut tidak diresapi oleh pendengarnya, masuk kuping kiri amblas keluar kuping kanan. Pesan yang disampaikan tidak tulus sifatnya.

Saya merasakan bahwa pesan-pesan yang dilontarkan dengan lantang, terus terang saja, sifatnya hanya untuk menjaga bentuk formal dari Islam, tanpa didukung oleh kenyataan di belakangnya. Maka ia pun jadi semisal indoktrinasi, atau bunyi spanduk, dengan nasib yang kurang lebih sama tidak didengar atau dilirik orang. Lebih-lebih jika semua pesan-pesan itu telah disikapinya sebagai sesuatu yang rutin. Malangnya, mereka tidak banyak yang menyadari. Dan jika terus begini, suatu ketika dislokasi dalam lingkungan umat akan demikian besar. Sehingga terjatuhnya juga bukan main. Akan terjadi kejenuhan terhadap pesan agama itu sendiri. Bahkan gejala ini sekarang pun sudah mulai terasa. Dari mimbar-mimbar selalu diteriakkan nilai-nilai moral, kalian harus begini, begitu (yang sifatnya kerangka perorangan). “Jangan cabul, jangan main pacaran!” Tapi apa yang terjadi? Hubungan seksual sebelum pernikahan tetap jalan terus, atau mungkin malah meningkat. Ini apa artinya? Artinya, bahwa pesan-pesan itu bukan saja tidak didengar, tapi malah dilawan.

Memang kini yang diharapkan bukan pesan yang demikian itu. Masyarakat sesungguhnya sudah sangat memahaminya, cuma karena mereka sudah jenuh, yang didengar itu-itu saja, maka wibawa pesan itu pun jadi mental. Yang mereka dambakan sekarang adalah pesan-pesan keagamaan dengan kerangka kemasyarakatan. Saya mengatakan begini, karena pengalaman saya menunjukkan demikian. Pernah saya bicara dalam suatu forum di hadapan 300 kiai di Jawa Timur. Begini, “… Prioritas yang dibicarakan orang sekarang, salah. Yang diributkan hanyalah soal perjudian, film cabul, lokasi WTS, ongkos naik haji yang terus menaik dan lain sejenisnya. Tapi jarang pembicaraan yang concerned (berkait) dengan masalah-masalah kemanusiaan yang paling dasar. Mari kita tata masalah yang paling dasar itu: kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan serta kesehatan yang masih jauh dari memadai… Nah, untuk ini diperlukan bangunan masyarakat yang lebih baik dari sekarang…”

Para kiai itu nampak terpukau. Dan selesai saya bicara, mereka ramai-ramai mendekat pada saya, sambil katanya: “Kenapa tidak ada yang berbicara seperti ini dari dulu?”… Itulah!