Tanah Air Dan Kedaulatan Rakyat

Sumber Foto: https://www.kompas.com/kedaulatan-rakyat-di-indonesia-pengertian-dan-peran-lembaga?page=all

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Kalau kita berbicara tentang masalah tanah air, di sana ada dua perspektif. Namun masalah yang bisa didiskusikan bersama disini adalah dimensi hilangnya otonomi kita sebagai bangsa terhadap tanah air kita sendiri. Hal itu terjadi karena peluang yang sangat besar diberikan kepada orang lain tertentu untuk menguasai tanah atau sumber-sumber alam kita. Penguasaan itu berjalan sedemikian rupa sehingga kita kehilangan independensi dan hak-hak kelompok atau bahkan hal-hal yang sudah menjadi adat masyarakat tertentu yang berjalan selama ratusan, atau bahkan ribuan tahun dengan mudah dapat disingkirkan oleh aturan-aturan kontemporer yang sebenarnya tidak ada polanya.

Penguasaan tanah dengan cara demikian terus berlangsung dengan menjarah tanah-tanah wilayah, tanah-tanah perwalian, tanah hak penduduk, semuanya tanpa kecuali. Hak atas tanah-tanah itu dengan mudah dapat dinyatakan gugur dan dikuasai oleh orang-orang yang ditunjuk oleh pemerintah. Hal ini terjadi di mana-mana, tidak terkecuali di Bali –bahkan di beberapa tempat posisinya mungkin lebih serius lagi seperti kompleks pasar Blauran yang akan dibangun, di sana ada sebuah masjid yang sangat tua dan karena itu bersejarah akan digusur dan digantikan di tempat lain, tetapi penduduk, warga dan pengurus masjid tidak mau sehingga sampai hari ini masih terjadi sengketa.

Di Bali misalnya, sengketa antara “Bakrie Brothers” dengan para penduduk di Tanah Lot. Di sana ada segi spiritual dan tradisi yang terancam, kemudian ada juga segi hak-hak tanah untuk agama yang belum tentu ada hukumnya, tetapi tanah penduduk yang mereka tinggali turun-temurun jelas ada dasar hukumnya. Mereka tiba-tiba dinyatakan milik negara dan dapat dilakukan penggusuran dan pengusiran.

Kemelut masalah pertanahan ini bisa kita lihat di mana saja, bahkan korban jiwa pun terjadi seperti di Tasikmalaya Selatan, ketika penduduk melawan pengambilalihan kebun-kebun karet karena mereka sudah menggarap kebun-kebun karet tersebut selama puluhan tahun, kemudian terjadi konflik dan tembak-menembak di antara penduduk dan aparat, sehingga warga ada yang tertembak. Hal-hal semacam ini terjadi terus-menerus.

Di sisi lain, masalah ini juga terkait dengan masalah gambaran atau citra kita, persepsi kita tentang keagungan dan kebesaran bangsa, tentang bagaimana bangsa ini harus hidup. Seperti dikatakan moderator tentang tiga buah dimensi yang penting sebagaimana dikemukakan Bung Karno, Bung Hatta dan Sultan Syahrir. Tetapi ada satu dimensi yang sebenarnya harus kita ingat dan menjadi akar permasalahan itu sendiri pada saat sekarang ini. Di sini bisa saya sebut sebagai dimensi-dimensinya Panglima Besar Jendral Sudirman atau Tan Malaka. Menurut saya akarnya adalah di sana. Dimensi tersebut adalah dimensi kedaulatan rakyat. Dimensi ini tidak pernah dikaji dan dibenahi secara tuntas, karena organisasi-organisasi politik kita lahir sebagai kekuatan elite dan watak elite itu langsung merasuk masuk ke dalam institusi-institusi politik kita. Sehingga orang semacam Bung Karno yang memimpikan basis massa dan berhasil menciptakan basis massa dalam arti sebenarnya, dalam praktek politik bisa terjebak/terperangkap oleh kepriyaian kaum nasionalis. Lucu sekali kalau kita lihat, pemimpin-pemimpin yang menghadirkan Bung Karno adalah para priyai politik, padahal sebenarnya beliaulah yang kena perangkap mereka juga oleh perangkap politik komunis seperti D.N. Aidit dan sebagainya. Jadi para pemimpin di masa lalu itu bukan pemimpin-pemimpin rakyat sesungguhnya. Ini bukan berarti pemimpin-pemimpin rakyat tidak timbul, hanya ketika mereka muncul telah berada dalam suasana yang sudah jelas aturannya sehingga mereka harus tunduk pada aturan main yang sangat tidak adil itu.

Saya ambil contoh ketika kabinet Hatta mengambil keputusan mengenai reorganisasi ABRI, di sana diambil keputusan perwira-perwira ABRI hanyalah mereka yang mempunyai pendidikan formal, walaupun hanya Volk-school, seperti pak Harto dan Pak Ahmad Yani, karena memiliki pendidikan formal tersebut maka dapat menjadi anggota ABRI. Padahal dibalik itu, ada banyak pejuang atau bahkan sebagian besar pejuang itu tidak punya pendidikan formal, umpamanya para kyai dari pesantren-pesantren; seperti Kyai Taufiqurrahman dan Kyai Effendi dan sebagainya.

Ada sebuah kasus yang sangat menarik dalam hal ini, yaitu ketika terjadi pemberontakan Angkatan Oemat Islam (AOI) di Sumalangu, Kebumen, segera setelah penyerahan kedaulatan. Daerah Kedu Selatan itu sebenarnya tangggung jawab Kyai Taifiqurrahman dan dia berhasil mempertahankan daerah itu dari (katakanlah) penguasaan Belanda. Kalau siang dikuasai Belanda, kalau malam dikuasai tentara gerilyanya. Tetapi karena ada aturan semacam itu, maka komandan Batalyon diberikan kepada Ahmad Yani. Ketika Ahmad Yani diberi jabatan Komandan Batalyon, sedangkan yang berjuang mati-matian adalah dia, maka dia mengancam akan melakukan pemberontakan. Maka dengan tergopoh-gopoh kabinet di Jakarta bersidang mengirimkan utusan, yaitu Wahid Hasyim (ayah saya sendiri) selaku menteri, yang kemudian turun ke Yogyakarta, ke Purwokerto dan kemudian beliau ditahan oleh Ahmad Yani, tidak boleh meneruskan perjalanan karena dia tidak bertanggung jawab atas keselamatannya. Artinya ini ancaman halus untuk beliau, kalau terus maka Ahmad Yani akan menembaknya dari belakang.

Karena usahanya itu gagal maka dilakukanlah perundingan lewat jalan lain, yaitu mengirim seseorang melalui jalan darat untuk bertemu Kyai Taufiqurrahman. Di sana disepakati bahwa untuk sementara akan diadakan jabatan khusus, namanya Wakil Komandan Batalyon, dan diberi kesempatan untuk belajar menjadi perwira secara formal. Ketentuan ini diputuskan oleh kabinet dan dilaksanakan, tapi pelaksanaan sepenuhnya di tangan Jendral Ahmad Yani. Akhirnya diberitahukan bahwa mereka harus bergerak dengan segera ke Purworejo.

Dalam batalyon Yani, seperti yang ditentukan pemerintah tersebut, harinya, jamnya ditentukan, kelompok-kelompok (para laskar santri) yang juga merupakan tentara-tentara nasional (TNI) sudah menunggu di stasiun Sruweng sebelah barat Kebumen. Karena mau pindahan, maka peralatan, semi persenjataan dimasukkan dalam peti dengan ransel-ransel mereka, koper-koper mereka semuanya sampai akhirnya kereta berangkat dengan keadaan jendela tertutup. Namun apa yang terjadi begitu tiba dan jendela dibuka, dari dalam moncong senapan keluarlah peluru menembaki orang-orang tidak bersalah dan orang-orang yang sedang menunggu itu diangkut. Tentu saja perlakuan demikian membuat pemberontakan dari AOI tidak bisa dicegah oleh AOI, dalam penulisan sejarah resmi dianggap sebagai pemberontakan, tapi di masyarakat Banyumas, Ahmad Yani, bisa jadi bukan dianggap sebagai pahlawan, tapi pemberontak. Dia yang melakukan penembakan itu. Di sini kita lihat, betapa jauhnya perbedaan antara versi elite tentang sejarah kita dan versi rakyat. Saya tidak tahu mana yang benar, saya hanya mengatakan soal perbedaan versi di antara elite dan rakyat. Berdasarkan cerita-cerita di kampung-kampung tidak ada orang Kebumen yang tidak kehilangan korban, puluhan ribu orang mati dalam peristiwa tersebut. Kita bisa membayangkan, bagaimana Jendral Sudirman yang membentuk tentara rakyat akhirnya harus kalah dengan sebuah keputusan yang sangat sederhana dari kabinet Hatta.

Hal yang sama juga terjadi dengan Kartosoewirjo Sekarmadji yang disebut pemberontak DI/TII. Kartosoewirjo sebenarnya diperintahkan oleh Panglima Besar Jendral Sudirman, karena ketika itu ada evakuasi tentara Siliwangi ke Jawa tengah untuk memenuhi Perjanjian Renville. Daerah itu harus dikosongkan untuk mencegah jangan sampai tentara Pasundan yang merupakan tentara bonekanya Belanda bisa mengakar di sana. Maka di situ harus ada tentara alternatif walaupun bukan TNI. Karena itu dikirimkanlah Tentara Islam Indonesia atas perintah Panglima Besar Jendral Sudirman kepada Kartosoewirjo Sekarmadji yang kebetulan adalah asisten Pangab. Kisah ini bisa terungkap karena saya diberitahu oleh asisten yang satunya lagi, yang masih hidup dan telah lanjut usianya. Jadi kita bisa melihat di sini terjadi distorsi yang sangat besar. Kartosoewirjo berangkat ke Jawa Barat untuk melawan Belanda, sedangkan yang lain tidak ikut, atau kalaupun ikut sangat terbatas karena mereka berada di Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Setelah penyerahan kedaulatan, Kartosoewirjo tidak dapat bagian apapun dan akhirnya terjadi keributan. Kemudian dipecahkan dalam sebuah perundingan antara wakil kabinet Natsir dengan pihak Kartosoewirjo, disetujuilah Kartosoewirjo menjadi Gubernur Jawa barat, maka diadakan perundingan dan disepakati hari H penyerahan senjata-senjata kelompok Kartosoewirjo sejumlah 15 ribu senjata kepada TNI. Yang menjadi perhatian kita di sini adalah, ternyata senjata-senjata yang dibawa oleh pasukan Kartosoewirjo itu kosong, tanpa peluru mereka melewati daerah Leles, dekat Garut, di lembah, di mana ketika mereka sedang lewat mereka dihantam oleh tentara-tentara nasional, maka terjadilah pemberontakan/perang DI/TII sampai tahun 1965 dari tahun 1951.

Perang selam 14 tahun ini terjadi karena keserakahan sejumlah pejabat/orang yang tidak mau diganti. Dari sini saya ingin menunjukkan bahwa ada niat manipulasi terhadap kedaulatan rakyat. Tokoh-tokoh egaliter itu dihalangi tidak bisa muncul menjadi pemimpin, sedangkan yang muncul adalah para elite. Dan elite-elite itu dibagi-bagi, ada yang Komunis, Islam, Nasionalis, Sosialis (sosialis demokrat) dan juga seperti Kristen dan Katolik. Saya tidak tahu apakah ada partai Hindu atau tidak, tetapi artinya dengan dikotak-kotakkan secara horisontal seperti itu maka sudah tidak mungkin lagi muncul kedaulatan rakyat. Akhirnya kedaulatan yang ada adalah kedaulatan antar elite, pertentangan antara elite. Tentara DI/TII ini berjuang sangat besar dan sangat berharga buat kita semua yaitu ketika tanpa bertanya, maupun berkonsultasi kepada ulama-ulama pesantren, tanpa berunding kepada tokoh-tokoh politik dari partai Islam. Karena itu mereka menolak Pancasila dalam sidang Konstituante.

Coba pikirkan seandainya ada mekanisme referendum bagi anggota-anggota partai, saya rasa jalannya sejarah kita akan lain. Seandainya semua partai melakukan referendum, sebab partai-partai sejak dulu hingga sekarang, begitu telah mendapatkan SK, langsung bergerak dalam suatu kongres, mereka berkumpul dan memilih pemimpinnya masing-masing, di sana ada juga sistem kolusi seperti sistem Golkar dan Parpol sekarang ini. Jadi ada pengebirian proses organisasi politik untuk menentukan sikap, yang sudah terjadi sejak tahun 1945. Pertanyaannya adalah bagaimana kita bisa melakukan koreksi yang mendasar tentang hal itu. Kita lihat saja sekarang, betapa mudahnya seorang Megawati untuk menggusur Soerjadi, lalu dua tahun kemudian gantian dia yang digusur Soerjadi. Proses seperti itu, partai model apa. Pada tingkat DPC-DPC dan DPD tingkat I dalam konteks PPP, betapa labilnya mereka. Mereka mudah sekali digoyang, sebagaimana juga terjadi pada NU. Sekalipun NU mugkin termasuk tegar, artinya karena bukan berwawasan politik, atau tidak berpolitik, tapi berhasil mengembangkan kekuatan di tingkat bawah. Pengurus NU terbentuk di desa-desa kemudian ranting-ranting. Majelis plus ranting memilih pengurus cabang tingkat kabupaten atau Kotamadya. Jaringan semacam ini sangat kuat di bawah tidak bisa diabaikan oleh PBNU. Artinya, PBNU memberikan SK tidak atas kemauannya sendiri tetapi hasil konperensi dengan mekanisme yang cukup sederhana. Yaitu hasil konperensi itu direkomendasikan oleh pimpinan wilayah pada tingkat propinsi. Mereka yang tahu persis apakah konperensi itu berjalan sesuai dengan aturan yang berlaku atau tidak, dalam arti kedaulatan berada di tangan ranting dan majelis wakil cabang.

Dengan cara demikian dapat terjamin bahwa cabang-cabang yang terpilih adalah cabang-cabang yang memang mempunyai akar ke bawah. Cabang inilah yang mempunyai hak untuk memilih pengurus wilayah pada tingkat propinsi, dan cabang bersama pengurus wilayah inilah yang kemudian memilih PBNU. Jadi tidak mungkin ada pengembangan yang sekedar siklus seperti yang terjadi dalam partai-partai politik. Karena itu NU masih tidak bisa ditembus, tapi dalam kenyataanya masih belum bisa merata. Maka di Jawa Barat hampir tidak ada ranting, atau kalau ada ranting masih sangat lemah dan mudah dipengaruhi karena itu ketua-ketua cabang ini dengan mudah dapat saja dipanggil oleh Kodim atau Bupati, untuk tidak berbuat begini atau begitu. Mereka akhirnya maju mundur, tidak sepenuhnya menyerah tapi juga tidak sepenuhnya menentang. Akan lain dengan di daerah Lampung, Palembang, NU di sana sangat kuat. Karena begitu kuatnya tradisi dari bawah ini, maka seperti NU di Sulawesi Utara sekarang ini tidak punya pimpinan. Soalnya mungkin karena gubernur setempat memaksakan warga NU untuk mendukung Golkar, NU tidak mau, maka NU dibubarkan, lantas sekarang mulai didekati lagi oleh gubernur berikutnya agar NU difungsikan kembali di daerah tersebut.

Jadi bisa kita lihat bahwa untuk urusan yang tidak ada kaitannya dengan politik, seperti NU saja harus tunduk pada (katakanlah) bangunan elite yang dibentuk oleh pemerintah, bagaimana dengan partai politik. Di situlah sebenarnya letak persoalannya.

Terhadap hal tersebut, bagaimana alternatif, atau katakanlah jawaban yang dapat diberikan oleh masyarakat, dengan mendirikan LSM. Sesungguhnya cara semacam itu menumbuhkan sikap yang lebih kritis di lingkungan perguruan tinggi dan kalangan cendekiawan. Sebab kombinasi LSM dengan kaum cendekiawan itu dengan sendirinya akan menghasilkan kekuatan di masyarakat, yang dalam jangka panjang mampu menunjukkan jalan bagi masyarakat, sekalipun pada waktu yang pendek belum bisa dirasakan hasilnya.

Kita melihat kaum cendekiawan hampir di setiap universitas-universitas itu dikebiri sehingga tidak bisa bicara, itulah kondisi sekarang, sekalipun masih dapat kita jumpai cendekiawan yang masih berbicara baik, jujur di samping memang ada cendekiawan tukang, yang sengaja membuat proyek-proyek atas order dari luar. Cendekiawan-cendekiawan seperti Riswandha Imawan (UGM), Soetandjo Wignjosoebroto (Unair) dan Arbi Sanit (UI) bisa disebut sebagai cendekiawan yang masih jernih, jujur, bisa menganalisa dan tidak terkooptasi oleh birokrasi. Mereka ini belum terbeli idealismenya oleh kekuasaan ataupun materi. Dalam konteks ini, kita pun akhirnya bisa melihat bahwa di kalangan cendekiawan sebenarnya terjadi friksi-friksi. Memang vitalitas kecendekiawanan akan terus berkembang dan penting sehingga bisa menumbuhkan kerjasama dengan LSM-LSM dan ormas-ormas yang merasa prihatin. Karena itulah dalam jangka panjang perlu kita kembangkan pemikiran alternatif, bagaimana sistem politik yang akan dibangun bersama, bukan diganti namun diperbaiki. Kenapa semua persoalan tersebut di atas muncul, persoalan sesungguhnya karena kedaulatan rakyat itu belum tercermin. Sebab yang berbicara adalah mereka-mereka yang memiliki kepentingan sangat terbatas, hanya sebatas kepentingan mereka sendiri bukan kepentingan masyarakat. Karena itu lihat saja nantinya.

Misalnya ketika memberi peringatan keras kepada Matori Abdul Jalil yang membuat pernyataan keprihatinan. Mestinya mereka takut untuk melakukan hal semacam itu, karena tidak akan disukai rakyat. Tapi mereka tidak mengerti, mereka tidak tahu rakyat. Yang tahu adalah pengurus partai-partai saja. Mereka ngomong dengan mengatasnamakan rakyat seolah-olah itulah suara rakyat. Hasilnya adalah sebuah kesenjangan yang luar biasa, terjadi kevakuman yang besar, kalau dulu kevakuman ini bisa terjembatani karena para jendral kita pintar, mereka belajar, dari filsafat hingga strategi perang. Sebagai contoh adalah bahwa LB Moerdani dan Ali Murtopo itu belajar Gramsci. Gramsci adalah seorang komunis Itali yang pada tahun 1922 dipenjara, dia menulis dan menjadi pelopor sosialisme humanis, yang belakangan muncul pada Milovancilas dan Gorbachev, kemudian diikuti oleh Wallesa dan Hafel sebagai penganut komunis humanis. Kita boleh pusing kepalanya, seorang yang belajar Gramsci, tetapi juga sekaligus penganjur “Petrus” untuk memenuhi kehendak presiden RI sekarang ini.

Ketika saya memberikan pengantar pada bukunya pak LB Moerdani (Beni) bahwa dalam banyak hal saya kagum dengan pak Beni, tapi satu hal bagi saya bahwa pak Beni melanggar Undang-Undang dasar 1945. Yaitu dia melanggar hak-hak dasar untuk hidup dari mereka yang kena tindakan “Petrus” hanya karena menuruti perintah atasan Namun saya cukup berbesar hati, karena pak Beni tidak mencoret kata-kata tersebut. Nah sikap-sikap semacam itu baik dari pak Sumitro, pak Beni, Wijoyo, Suyono, Sudomo (Komkamtib waktu itu) adalah orang intel merupakan sikap-sikap militer yang terdidik, yang mengerti bagaimana menangani suatu masalah?

Kita boleh saja menganggap itu berarti menghindari dan menunda konfrontasi, menunda masalah, bukan menyelesaikan masalah, tapi juga bisa dikatakan agar bagaimana kekejaman itu diminimalisir, kekerasan diminimalisir sehingga yang perlu saja yang diambil. Satu-satunya lain adalah tindakan kepada PKI atau orang-orang yang dianggap PKI dengan pembunuhan besar-besaran pada tahun 1965/1966.

Nah sekarang ini kondisi para pimpinan ABRI pandangannya sudah tidak mengerti lagi cara menangani masyarakat, bukan menghilangkan konfrontasi, justru menambah konfrontasi. Sikap-sikap penanganan dari Pangab, Kassospol, Kasum, Danrem semuanya memakai bahasa “gebuk”, pukul, tindak tegas/tembak ditempat dan ciduk. Di jaman yang sudah mengalami banyak perubahan seperti sekarang ini. Inilah sebetulnya kondisi ABRI yang agak rawan, karena ABRI tidak mengerti harus berbuat apa. ABRI mengalami keterputusan generasional akibat perkembangan politik yang sangat luar biasa yaitu ketika ICMI berhasil menampilkan istilah kelompok hijau, hijau Islam dan tentara dalam ABRI di bawah pimpinan Pangab Feisal Tanjung dan Kasad R. Hartono. Dalam waktu tiga tahun –dari 1993-1996–, mereka sudah berhasil merusak, memporak-porandakan segala aturan main yang ada sebelumnya. Memang antara sebelumnya dan sekarang sama kejamnya, bengisnya dan tidak tahu aturannya, sama tidak demokratisnya, namun masa sebelumnya, mereka masih bisa dan mengerti harus berbuat apa dengan demikian tidak terjadi konfrontasi langsung, karena sebetulnya jika ada konfrontasi-konfrontasi pada masa sebelumnya karena adanya salah penanganan. Kita tahu persis peristiwa Tanjung Priok, karena pihak ABRI mau mengukur keresahan masyarakat akibat kesenjangan sosial ekonomi dalam kaitannya dengan masalah asas Pancasila. Maka dikirimlah orang semacam Amir Biki dan kawan-kawannya. Maksud awalnya adalah untuk mengukur keresahan masyarakat, tapi lama kelamaan menjadi proyek tersendiri, maka berkembanglah akhirnya menjadi yang memukul pemerintah. Banyak hal yang sering terjadi bolak-balik, seperti juga kasus Malari.

Dalam kasus Malari pihak Komkabtib (Jendral Sumitro dan Ali Murtopo) memberikan keluasan dan kebebasan pada mahasiswa untuk demonstrasi, karena dikhawatirkan merugikan pemerintah maka dialihkanlah isunya, tetapi salah penanganan maka muncullah pemberontakan, masuklah preman-preman sebanyak 200-300 orang yang kemudian membakar toko-toko dan merugikan aset ekonomi, sehingga kita tergantung pada aset ekonomi Jepang Inilah yang sebenarnya saya sebut sebagai salah penanganan, kalau ABRI harus berbuat, berbuat apa, melibas atau mengambil tindakan keras itu harus ada ukurannya. Yang sekarang ini tidak jelas sama sekali, ukurannya sangat kabur sehingga muncullah kasus PDI di Jakarta yang terlindas Panser ABRI. Jadi kita lihat, pengendalian itu tidak ada, terserah masing-masing saja, karena fragmentasi yang sangat besar di masing-masing lingkungan dan elit politik kita.

Berhadapan dengan situasi politik sekarang ini, apa yang harus kita lakukan (baik oleh LSM maupun cendekiawan) yang masih konsisten dengan tugas mereka. Saya rasa ada beberapa hal yang perlu dicatat. Pertama, karena kita tahu bahwa pemerintahan sudah dipegang oleh militer (dipegang oleh orang-orang yang tidak tahu harus berbuat apa), bagaimana menangani protes, maka yang penting adalah protes itu diorganisir, lebih berhati-hati, sebab kalau tidak kejadian seperti Malari akan terulang kembali. Sebagai misla, adalah ketika massa PDI Jakarta mau long march, Surabaya-Jakarta, saya telpon mbak Mega, saya katakan jangan, itu sangat berbahaya dan akan mudah dilibas oleh aparat, dan itu artinya bunuh diri massal. Yang perlu adalah kehati-hatian untuk meraih kemenangan di masa depan. Kita tidak perlu serampangan dalam bertindak. Hal ini saya kemukakan karena kebanyakan LSM-LSM kita, khususnya yang muda-muda ini sukanya berbuat yang keras-keras, tegas dan jelas. Padahal sebetulnya yang sekarang ini kita butuhkan bersama adalah suatu ketegasan sikap yang tidak berarti harus konfrontasi, cara penyampaiannya hati-hati, sesuai konteksnya dengan tetap memperhatikan substansi masalahnya. Penyampaianya tidak perlu keras, namun mengenai sasaran tembaknya. Sebagai contoh di sini adalah pernyataan yang dikemukakan oleh Bambang Triantoro, Matori dan saya. Itu pernyataan yang keras tapi penyampaiannya dengan cara halus. Di sana tegas keprihatinan kita bersama atas meluasnya penggunaan kekerasan dalam praktek politik kita. Kedua, penolakan yang disampaikan sebenarnya adalah peringatan terhadap berlakunya sikap memaksakan negara kekuasaan bukan negara hukum.

Oleh karena itu, sebenarnya yang paling penting adalah bagaimana menggalakkan kedaulatan rakyat. Kita berpikir populis. Dalam konteks ini apa yang dilakukan Ibu Gedong dengan Ashramnya, adalah suatu contoh gerakan dalam usaha untuk mengembangkan kedaulatan rakyat yang sesungguhnya. Melalui pendidikan, penyadaran masyarakat dan melalui percontohan, kedaulatan hukum dan lain-lain adalah jalan untuk merubah keadaan. Susahnya adalah kebanyakan orang ingin melihat hasilnya sekarang (dalam jangka waktu yang pendek). Bila berbicara di lingkungan LSM, maka sebetulnya LSM adalah suatu kekuatan potensi untuk mendukung, sehingga bila situasi dan kondisinya telah benar-benar siap dan menunjang, maka apa yang dicita-citakan –seperti dilakukan Mahatma Gandhi– dalam melakukan perang kemerdekaan India dengan gerakan non-violence dan Martin Luther –lewat gerakan teologi pembebasan– yang mengusahakan hak-hak politik orang kulit hitam adalah sangat penting untuk diperhatikan. Kita sudah terlalu lama melihat bahwa unsur kekuatan fisik termasuk kekuasaan itu didewakan, kekuatan moral diseelekan, karena itu marilah kita tunjukkan melalui LSM dan intelektualitas para cendekiawan kita di kampus-kampus bahwa kekuatan moral dapat merubah keadaan dalam jangka panjang.