Penciptaan Kesiapan Mental Masyarakat Sekitar Tempat Hunian Wisata

Sumber Foto: https://radartulungagung.jawapos.com/nasional/765211138/jejak-spiritual-di-puncak-muria-menyingkap-3-pesan-mendalam-sunan-muria

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Salah satu persoalan utama bagi penciptaan kesiapan mental hunian wisata adalah pengenalan pola-pola sikap masyarakat setempat. Tanpa pengenalan seperti itu, maka apa yang akan dilakukan hanyalah merupakan upaya perkiraan asal-asalan saja, dan cenderung menjadi upaya stereotyping (pensifatan umum) yang seringkali tidak sesuai dengan kenyataan lapangan. Umpamanya saja anggapan bahwa ‘kawasan masjid tidak tepat untuk menampung sarana hiburan. Sedangkan sebenarnya masih dimungkinkan membuat sarana hiburan yang sehat di tempat-tempat seperti itu. Adalah kenyataan bahwa sejumlah masjid ‘keramat’ diziarahi orang-orang yang juga pergi melakukan piknik dalam perjalanan itu. Jelas bahwa selingan yang santai dan luwes juga menjadi kebutuhan mereka yang memenuhi tuntutan rohani mereka di kawasan tersebut.

Demikian pula sebaliknya, luas anggapan bahwa kawasan wisata ‘harus’ bebas dari ‘sarana keagamaan’, seolah-olah antara keduanya harus dipisahkan secara ketat. Dalam kenyataan penyajian yang sehat juga memerlukan ‘suasana sisipan’, yang memungkinkan mereka yang membutuhkan untuk melakukan renungan dan memperoleh ketenangan rohani barang sejenak di daerah King’s Cross yang penuh dengan segala macam kemaksiatan pun di Sidney dapat dijumpai Ted Noff Chapel yang terbuka bagi semua pemeluk agama untuk melakukan refleksi dan bahkan upacara perkawinan sekalipun di dalamnya.

Dari uraian di atas tampak bahwa hubungan antara suasana ‘wisata’ dan suasana ‘kerohaniahan’ tidak selamanya harus dianggap antagonistik (berlawanan). Seringkali terjadi bahwa antara keduanya justru terjadi hubungan yang bersifat saling membutuhkan.

Karenanya pengembangan kawasan hunian wisata perlu memperhitungkan sekian banyak aspek spiritual, adat istiadat dan lingkungan sosial-budaya yang ada dari masing-masing kawasan. Keseluruhan mengintegrasikan faktor-faktor tersebut ke dalam pola pengembangan hunian wisata dalam jangka panjang juga akan merupakan integrasi lingkungan fisik hunian wisata itu sendiri dalam sebuah lingkungan baru yang memperhitungkan semua faktor yang ada, sehingga pola pengembangan yang muncul justru akan menuju kepada keterpaduan yang menyeluruh. Keterpaduan semacam itu akan membentuk warna ke-‘baru’-an (suasana baru) yang terlepas dari akar-akar yang lama. Gabungan ke-‘baru’-an (newness) dan ke-‘lama’-an (oldness) seperti itu adalah keunikan yang akan menjadi dayatarik sendiri bagi bisnis wisata.

Ada sebuah gagasan untuk memugar Masjid Sunan Ampel di Surabaya dengan rehabilitasi bangunan pokoknya serta menciptakan plaza luas di sekitarnya, dalam kawasan mana disediakan areal pertamanan yang indah. Dengan demikian diharapkan masjid dan makam di sampingnya itu akan menjadi oase yang menyejukkan dan penuh kesyahduan di tengah-tengah kebisingan kota, sebuah gagasan yang patut dipujikan. Keindahan masjid akan menjadi menonjol di tengah-tengah kawasan terbuka itu.

Tetapi itu berarti pembongkaran perkampungan di sekitar masjid tersebut. Suatu hal yang harus ditolak. Penolakannya bukan karena keharusan memelihara kampung kumuh dengan segala problematiknya, tapi adalah karena hancurnya perekat kemasyarakatan yang menghidupi kawasan itu sejak dahulu. Para peziarah ke kawasan Sunan Ampel itu adalah mereka yang memerlukan hubungan sosial dan interaksi budaya dengan penduduk setempat, untuk dapat menemukan spiritualitas yang mereka cari dari ziarah itu sendiri.

Pembongkaran kampung kumuh di sekitar masjid dan makam Sunan Ampel seluas 20 hektar itu dengan demikian akan mengubah kualitas wisata yang akan terjadi, darı wisata budaya yang bersifat spiritual menjadi wisata yang bersifat arkeologis semata. Karenanya, tantangan yang dihadapi adalah bagaimana memugar perkampungan di sekitar kompleks itu, sehingga dapat menonjolkan keindahan dan kesyahduan masjid tanpa menghancurkan perekat-perekat kemasyarakatan dan interaksi sosial-budaya yang terjadi di sekitarnya.

Kasus lain yang ditampilkan adalah kasus kawasan sekitar makam keramat Luar Batang di Pelabuhan Sunda Kelapa, Jakarta. Lapisan-lapisan masyarakat datang ke situ sejak kurun waktu yang berbeda-beda, dari Madura, Banten dan Sulawesi Selatan. Masing-masing lapisan membawa cara hidup dan tradisi keagamaan yang berbeda satu dari yang lain. Kesemuanya memberikan warna spesifik kepada lingkungan kawasan tersebut, yang membedakannya dari kawasan-kawasan lain. Termasuk di dalamnya adalah ikatan-ikatan sosial yang khas dari masing-masing daerah, di samping tradisi pembuatan perahu pinisi (Bugis) dan lain sebagainya. Adalah keliru apabila ‘pemugaran’ kawasan itu dilakukan dengan cara meratakan perkampungan tersebut dan menggantikannya dengan pola perumahan toko (ruko), misalnya. Suasana khusus Luar Batang sebagai obyek wisata akan hilang oleh tindakan seperti itu.

Dari uraian di atas menjadi jelas antara pola pengembangan fisik sebuah daerah wisata dan pemeliharaan tradisi budayanya terjadi pola simbiotik yang memerlukan perhatian khusus kita semua. Pola pengembangan mental secara umum, seperti penumbuhan sikap keramahan dan melayani kepada tamu/pengunjung, penumbuhan sikap menjaga kebersihan dan keteraturan dan kejelian memperhatikan kecenderungan para wisatawan harus didudukkan ke dalam konteks pengembangan lingkungan fisik tersebut di atas.