Kebangkitan Islam sebagai Fenomena Sosio-kultural

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
I
KEBANGKITAN Islam sebagai wilayah kajian menjadi semakin menarik untuk diamati, dengan perkembangan masa. Apa yang dahulunya hanya menjadi semacam slogan yang dikeluarkan satu dua orang saja, dengan cepat berkembang menjadi semacam kesadaran tersendiri dalam pemikiran kaum muslimin. Lebih dari itu, tersebarnya kesadaran akan sebuah kebangkitan tidak hanya mengalami pemekaran kuantitatif belaka, melainkan juga semakin banyak memiliki kedalaman yang tidak diperkirakan sebelumnya yang menghubungkan kebangkitan Islam dengan perubahan mendasar dalam tata kehidupan internasional secara konsepsional, pendalaman metodologis untuk mengembangkan etos sosial baru di kalangan kaum muslimin guna memecahkan masalah kemiskinan, penjajakan sebuah kerangka teori ilmu pengetahuan yang baru (yang ditundukkan kepada kebutuhan untuk menempatkan kembali pengetahuan ke bawah kedaulatan manusia, dan bukan sebaliknya), dan seterusnya.
Atas nama “Kebangkitan Islam”, berbagai kegiatan yang sangat beraneka ragam dalam tujuan dan sifat; kalau tidak boleh dikatakan saling bertentangan, dikembangkan dan dicoba minimal dalam tahap rintisan. Gagasan orisinal diajukan terus-menerus, di celah-celah “literatur kebangkitan” yang umumnya masih berwatak glorifikasi masa lampau dan pembenaran kebesaran sendiri, tanpa mampu memberikan sumbangan berarti kepada pemecahan masalah-masalah dasar umat manusia. Komunikasi intensif berkembang antara kalangan kalangan berbagai negeri yang tergugah oleh semangat kebangkitan walaupun masih harus diakui komunikasi itu sendiri masih berlangsung untuk menjajakan gagasan-gagasan setengah matang yang tidak begitu berarti belaka.
Tidak heranlah jika arus kuat dari fenomena kebangkitan itu memunculkan dialog intern dengan keberadaan diri kaum muslimin sendiri: benarkah kebangkitan itu memiliki eksistensi nyata, bukannya sekadarfatamorgana? Apakah hubungan kasuistik antara kebangkitan itu dengan datangnya abad baru Hijri yang kelima belas? Apakah arti kesadaran kebangkitan itu bagi kelangsungan kehidupan kaum muslimin sendiri di masa datang? Banyak lagi pertanyaan mendasar diajukan ke alamat fenomena kebangkitan, hal mana menunjukkan kebenaran pengamatan akan semakin mantapnya kebangkitan agama mereka tertanam dalam kesadaran kaum muslimin.
Melihat kenyataan-kenyataan di atas, jelaslah diperlukan sebuah pemeriksaan mendalam atas kebangkitan itu. Banyak sudut pandangan dapat digunakan untuk melakukan pemeriksaan seperti itu. Salah satu di antaranya adalah sudut pandangan yang melihat kesadaran akan kebangkitan itu sebagai fenomena sosio-kultural, yang menyajikan wilayah kajian sangat luas dan cakrawala pemikiran sangat lebar. Dalam bagian-bagian selanjutnya dari makalah ini akan disajikan pemeriksaan atas kesadaran kebangkitan itu sebagai sebuah fenomena sosial-budaya dalam garis besarnya saja. Beberapa hal harus dijelaskan terlebih dahulu tentang lingkup pemeriksaan dini seperti ini:
- Pemeriksaan itu tidak mungkin bersifat tuntas, baik karena obyek kajiannya masih belum menemukan bentuk yang tetap maupun karena belum dikembangkan di dalamnya ukuran dan timbangan yang matang untuk mendalami persoalan,
- Pemeriksaan akan dilakukan atas beberapa sasaran terbatas belaka, yaitu tentang aspek kesadaran itu sendiri dan implikasi adanya kesadaran itu bagi masa depan kaum muslimin;
- Pola tumpang tindih (overlaps) dalam pemeriksaan beberapa sektor wilayah kajian sudah tentu tidak dapat dihindarkan dalam hal ini.
Walaupun sudah dengan “pagar” seperti itu, masih sulitlah diharapkan dari makalah sesingkat ini untuk dapat meneropong keseluruhan fenomena itu sendiri dengan tuntas dan mendalam. Apa yang dapat dikemukakan dengan sendirinya hanyalah sebuah upaya permulaan untuk membawa kita semua kepada sebuah lapangan kajian yang lebih mendalam di kemudian hari.
II
Perkembangan sejarah telah menampilkan apa yang oleh Ungku Abdul Aziz dari University of Malaysia dinamakan tiga buah kebangkitan:
- Kebangkitan keyakinan (revival of faith) di kalangan kaum muslimin, sebagai buah dari perlawanan kultural mereka terhadap penetrasi kebudayaan Barat modern di hampir semua sektor kehidupan;
- Kebangkitan kekuatan ekonomi petrodollars, baik dalam bentuk terkumpulnya modal uang dalam jumlah massif di tangan sejumlah negara kaya-minyak di Timur Tengah maupun dalam bentuk munculnya sejumlah tenaga muslim di “medan laga ekonomi” melalui berbagai jenis profesi dan sebagai hasil pendidikan profesional dengan tingkat dan kualitas tertinggi, dan
- kebangkitan pemikiran yang masih berada pada taraf potensi yang belum sepenuhnya dikembangkan.
Kebangkitan pertama jelas hanyalah relevan untuk kehidupan kaum muslimin di masa depan dalam dua hal belaka:
- meningkatkan perlawanan kultural mereka terhadap besarnya arus penetrasi peradaban modern dalam ekses-eksesnya negatif di masa depan dan;
- menciptakan momentum bagi pengembangan jenis ketiga dari pola pembagian kebangkitan yang dikemukakan di atas melalui penciptaan kebutuhan akan konsep-konsep yang dapat diajukan untuk menunjukkan sumbangsih Islam kepada peradaban dunia di masa datang.
Peranan jenis kebangkitan pertama itu sangat terbatas bagi masa depan sejarah karena ia bermula dari sebuah sikap bertahan (defense mechanism) dalam menghadapi perubahan-perubahan mendasar yang dibawakan oleh proses modernisasi yang melanda seluruh dunia. Di lain bagian dari masalah ini akan diuraikan akibat dari diambilnya sikap bertahan seperti itu, jika dilakukan terus-menerus dalam skala massif, bagi hidup kejiwaan kaum muslimin sendiri.
Tetapi yang harus dibahas terlebih dahulu adalah legitimasi (afsahiyyah) sikap bertahan itu sendiri. Orang seringkali menyerang fanatisme yang mendasari sikap bertahan itu sebagai sesuatu yang negatif, hanya membawakan persoalan baru belaka tanpa mampu memecahkan masalah yang sudah ada. Fanatisme adalah buah dari ketidakmampuan memberikan respon yang baik terhadap tantangan keadaan dari luar. Jarang sekali diperiksa dengan saksama hubungan situasional dari tantangan modernisasi dan jawaban berupa fanatisme itu sendiri, yang akhirnya melahirkan sikap bertahan tersebut.
Mengapakah tidak sah untuk mengambil sikap fanatis di hadapan tantangan yang begitu besar, yang justru mengancam ajaran paling dasar? Secara metaforis, pertanyaannya bukan lagi “layakkah kita membiarkan anak kita nanti melakukan hubungan seksual sebelum kawin sebagai “budaya coba-coba” di masa depan, melainkan “dapatkah hal itu dilawan”? Sudah tentu dituntut keterlibatan keyakinan kita dalam merumuskan jawaban atas tantangan yang begitu mendasar, keterlibatan mana adalah kata lain dari fanatisme Yang ingin mempertahankan keutuhan diri sebagai seorang muslim, mau tidak mau haruslah bersikap fanatis dalam menghadapi tantangan modernisasi.
Dilihat dari sudut pandangan ini, maka fanatisme adalah akibat belaka dari sesuatu yang terjadi di luar diri kita, dan dengan demikian tidak layaklah untuk memberikan tuduhan buruk atasnya. Muslim fanatis adalah korban dari sebuah proses, bukan penyebabnya. Mengambil sikap menyalahkan sama saja artinya dengan menyuburkan fanatisme itu sendiri, karena tuduhan yang dilontarkannya akan diterima justru sebagai bagian dari tantangan begitu mendasar yang datang dari luar itu. Tetapi kebalikannya juga tidak dapat diambil sebagai sikap membenarkan fanatisme itu sebagai jawaban yang tepat terhadap tantangan modernisasi. Kita harus dapat memahami dan mengerti hakikat fanatisme, tanpa terjebak ke dalam pola acuan berfikir fanatis itu sendiri.
Dengan mengambil sikap ini, kita akan mampu melihat dengan tuntas sebab-sebab dari munculnya sikap bertahan yang tumbuh demikian deras belakangan ini dan bersimpati kepadanya secara tulus, tetapi juga dengan mampu mencarikan jalan pemecahan yang lebih baik. “Strategi pergaulan” seperti ini di kalangan kaum muslimin adalah jaminan bagi pencapaian dua hal sekaligus di masa depan: ketahanan budaya untuk mempertahankan identitas sebagai muslimin, dan sekaligus kemampuan mempergunakan identitas itu sendiri untuk memberikan sumbangsih kepada upaya menciptakan peradaban dunia yang baru yang lebih baik dan lebih menjamin kebersamaan eksistensi manusia.
III
Kebangkitan Islam sebagai fenomena kultural sepenuhnya diwarnai oleh sikap bertahan yang muncul dari fanatisme di atas. Pengamatan Ungku Abdul Aziz akan sifat potensial belaka dari kebangkitan di bidang pemikiran, menunjukkan wajah bertahan dari kebangkitan itu sendiri. Latar belakang historis dari sikap bertahan itu dengan demikian haruslah diketahui lebih dahulu.
Sikap bertahan itu muncul, menurut pendapat Olaf Schumann, dari respon total kaum muslimin dalam beberapa abad terakhir terhadap kenyataan kemunduran keadaan mereka sendiri dihadapkan pada kekuatan peradaban Barat yang datang sebagai penjajah. la muncul dalam sikap ingin memurnikan ajaran Islam dengan jalan kembali kepada sumber utamanya, Al-Quran dan Sunnah. Dari sikap pemurnian itu, akan muncul tenaga yang akan membawa kepada masa kejayaan masa lampau, zaman keemasan masa hidup Rasulullah, para sahabat dan tabi’in. Kecenderungan seperti ini dinamainya salafiyah (dengan huruf ‘s’ kecil), mengingat zaman keemasan itu dinamai “ahd al-salaf”).
Tetapi sikap bertahan itu juga muncul dalam bentuk lain, yaitu sebagai sempalan dari modernisasi yang dibawakan oleh Jamaluddin Al-Afghani. Pembaruan tokoh pejuang ini, yang identitas kultural politisnya belum juga jelas bagi kita setelah seabad dikaji, membawakan dua sikap berbeda. Di satu pihak, orang seperti Muhamad Abduh mempergunakan kredo “kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah” sebagai titik tolak menata prinsip-prinsip penafsiran lebih lanjut yang bersifat modernistik (dan yang akhirnya akan melahirkan budaya berwatak yang diajukan ‘Ali Abd al-Raziq dan Thaha Husain). Inti pandangannya adalah sebagai sumber inspirasional Islam akan memperkaya peradaban umat manusia, jika ia justru mampu meleburkan dirinya ke dalam modernitas, bukan berada di luarnya. Islam akan dalam kejayaan peradaban manusia dengan berbagai identitasnya, dari ideologi politik nationalistis hingga sikap budaya kosmopolitan. Karenanya, Islam tidak memerlukan formalisasi ajarannya dalam identitas tersendiri di luar entitas budaya budaya yang ada.
Di pihak lain, Muhammad Rasyid Ridha justru menekankan pentingnya formalisasi ajaran Islam itu sendiri. Kalau ajaran Islan dikembangkan secara formal, maka kejayaan Islam akan datang sebagai sebuah kekuatan dahsyat yang akan membawa dan memimpin peradaban dunia menuju sebuah tingkat baru yang lebih tinggi. Sikap ini, walaupun modernistik dalam jiwanya, lambat laun berujung pada fomalisasi tekstual dari sumber-sumber utama Al-Qur’an dan Sunnah belaka, sehingga kurang lebih lalu menjadi gerakan salafiyah dari pemurnian nonmodernistik di atas. Kalau pada Muhammad Abduh, pembaruan melahirkan faham Salafiyah (dengan huruf ‘S’ besar) yang menjadi titik tolak kebangunan nonformal dari Islam, pada faham formalısasi ajaran Islam itu lahirlah benih-benih dari sikap bertahan yang dikemukakan di atas.
Di hadapan tantangan ketimpangan teori ekonomi kapitalistis dan sosialistis, yang gagal memecahkan masalah dasar di bidang ekonomi muncullah kebutuhan merumuskan jawaban dalam bentuk sebuah Teori Ekonomi Islam. Dihadapkan kepada kegagalan ilmu pengetahuan untuk mencegah perusakan kehidupan dengan dahsyat, faham formalisasi ajaran memunculkan Teori Ilmu Pengetahuan menurut Islam. Demikianlah seterusnya deretan hal-hal yang secara giat harus diformalkan kaum muslimin sebagai sumbangan resmi mereka kepada pemecahan masalah-masalah dasar yang dihadapi umat manusia.
Kesadaran akan kebangkitan Islam justru berasal dari kecenderungan formalisasi ajaran ini. Ada bentuknya yang positif upaya untuk menunjukkan warna keagamaan pada lembaga-lembaga yang selama ini secara salah telah diperlakukan sebagai sesuatu yang terlepas dari agama, seperti perguruan tinggi, pemikiran kebudayaan, dan sebagainya. Positif, karena dengan mengembalikan wawasan keagamaan ke dalam bidang-bidang tersebut jelas proses memperkaya kelengkapan diri telah terjadi dengan baik. Sebaliknya, tidak sedikit bentuk negatif yang muncul dalam kesadaran kebangkitan Islam itu: eksklusivisme yang semakin meningkat di lingkungan gerakan formal Islam. Sifat tengkar terhadap faham dan pendirian orang lain tidak dapat lagi dihindarkan, kesadaran akan kebangkitan lalu menjadi kecenderungan keagungan masa lampau Islam dalam bentuk yang tidak toleran kepada keadaan masa kini.
Sebagai akibat langsung, muncullah kebutuhan untuk menyatakan keislaman hidup kita secara eksesif, kebutuhan akan pola busana muslim yang harus dikembangkan secara massal, kebutuhan akan larangan terhadap banyak manifestasi kehidupan yang ada, kebutuhan akan koreksi total atas “ke-Barat-an” kehidupan kıta, dan lain-lain sikap pernyataan ini (self assertion). Pengertian sikap dengan demikian lalu menjadi wajah utama dari kesadaran kebangkitan Islam sebagai sebuah fenomenal kultural.
IV
Jelaslah dari apa yang diuraikan bahwa kebangkitan Islam (yang oleh Mohamed Arkoun dari Universitas de Paris dinamakan “kesadaran Islam” la conscience de I’Islam, istilah mana bagi para pengamat lain justru dipakai lebih luas lagi, yaitu untuk menyatakan semua kesadaran keberagamaan di kalangan kaum muslimin, termasuk yang tidak percaya kepada perlunya kebangkitan Islam) membawakan wajah utama berupa pengerasan sikap kaum muslimin terhadap keadaan, pendirian orang lain, dan kenyataan yang umumnya di proyeksikan orang terhadap masa depan umat manusia.
Jelas pula, kalau tidak dilakukan pembenahan secukupnya atas fenomena Kebangkitan Islam itu sendiri, tidak banyak yang dapat diharapkan dari pemunculannya dalam kesadaran kaum muslimin Perlu dilakukan kajian lebih tuntas, untuk menata kembali arah kebangkitan Islam itu, sehingga ia benar-benar membawa kepada apa yang diharapkan semula: sumbangsih berarti untuk peradaban dunia. Terpulang kepada kita semualah untuk melakukan pengarahan kembali hal itu, agar kebangkitan Islam justru dapat menjadi kekuatan utama pemecahan masalah-masalah dasar manusia saat ini: kemiskinan, kebodohan, ketidakadilan, dan keterbelakangan.