NU, Lain Dulu Lain Sekarang
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Dewasa ini, di tingkat “elite” NU (Nahdlatul Ulama) sedang mengalami gejolak yang cukup besar. KH. Hasyim Muzadi (Ketua Umum PBNU) dan beberapa orang pemimpin NU lainnya (termasuk KH. Said Aqil Siradj) dari PB Syuriah NU secara terbuka telah menyatakan antara NU dan PKB (Partai Kebangkitan Bangsa) tidak ada hubungan apa pun. Padahal dalam kenyataan PKB didirikan atas perintah PBNU beberapa tahun yang lalu. Sebenarnya, PKB adalah sayap politik bagi warga NU karena NU sendiri bukanlah parpol, namun memiliki hubungan historis, budaya, dan lain-lain dengan PKB. Dalam sebuah pengajian PKB di Gringsing (Batang), beberapa bulan yang lalu penulis diberitahu KH. Muhaiminan Gunardlo (Parakan, Temanggung) bahwa Ketua Umum PBNU itu menyebabkan kegalauan warga NU di kawasan Pantura (Pantai Utara) Jawa Tengah dengan ungkapan itu.
Penulis bertanya kepadanya, ia memandang lebih penting kemenangan PKB dalam pemilu, atau menang debat melawan Ketua Umum PBNU itu? Ia menjawab, lebih penting kemenangan PKB dalam pemilu yang akan datang. Kalau begitu, kata penulis, sebaiknya kiai berkonsentrasi memenangkan pemilu, dan tidak berdebat dengan siapa pun mengenai hubungan antara NU dan PKB. Sampai hari ini, dari pengamatan penulis menunjukkan kiai tersebut selalu mengajak warga NU untuk mencoblos tanda gambar PKB dalam pemilu yang akan datang. Ini adalah sikap positif dari sebagian besar pemimpin NU di tingkat menengah ke bawah. Karena itu, penulis berkeyakinan PKB akan menang besar dalam pemilu yang akan berlangsung beberapa bulan lagi.
Mukernas I PKB di Jakarta beberapa bulan yang lalu, antara lain “memutuskan” bahwa dalam persentase cukup besar, calon-calon yang diusulkan NU pada berbagai tingkatan harus ditampung dalam daftar calon legislatif (caleg) PKB. Ini menunjukkan kenyataan bahwa masih cukup banyak fungsionaris NU yang memiliki orientasi peranan politik praktis bagi organisasi mereka, dalam bentuk kehadiran mereka dalam lembaga-lembaga legislatif. Padahal seharusnya NU tidak lagi berpikir tentang peranan politik inspiratif, karena ia bukanlah parpol.
Sangat bijaksana keputusan pertemuan PBNU Syuriah dan sejumlah ulama di PP Maslakul Huda (Kajen, Pati) di rumah Ra’is ‘Am PBNU KH. AM. Sahal Mahfudz baru-baru ini. Diputuskan tiga hal, yaitu (1) Masalah reposisi sekjen PKB adalah mutlak urusan intern DPP PKB; (2) NU tidak akan memiliki calon presiden/wakil presiden ataupun kepala-kepala daerah, karena bukan parpol, dan (3) Ra’is ‘Am akan menyampaikan segala macam keluhan dan “uneg-uneg” para peserta kepada DPP PKB.
Dari situ terlihat, siapa yang berambisi politik pribadi, dan siapa yang benar-benar mengerti perbedaan NU dahulu dan sekarang. Dahulu, NU memang partai politik sejak Muktamar Palembang tahun 1952. Muktamar itu memutuskan ayah penulis, almarhum KH. A. Wahid Hasyim, menjadi Ketua Umum Partai NU, yang muncul sebagai kekuatan politik ketiga yang memenangkan pemilu tahun 1955, kemudian Dr. KH. Idham Chalid terpilih tahun 1957 sebagai Ketua Umum Baru menggantikannya. Segera NU menjadi partai politik “penampung” mereka yang berpandangan “memperjuangkan” politik praktis dalam bentuk merebut jabatan-jabatan pemerintahan di bidang eksekutif dan legislatif. Sudah tentu ini terjadi karena “paksaan” oleh perkembangan politik waktu itu, yang penuh dengan pertentangan antara kaum santri di satu pihak dan kaum non-santri di pihak lain, juga antara yang mendukung Partai Komunis Indonesia (PKI) dan yang menentangnya. Kombinasi hal itu adalah pembentukan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR) oleh Presiden Soekarno pada tahun 1960. Rais ‘Aam KH. A. Wahab Hasbullah dan Ketua Umum PBNU Dr. KH. Idham Chalid menyetujui tindakan Bung Karno itu dan ikut masuk dalam DPR-GR. Beliau beranggapan bahwa ketidakhadiran partai NU di dalamnya akan membuat PKI dan PNI Kiri akan menguasai pembuatan undang-undang kita dan tidak akan ada yang melawan kehendak mereka. Namun sebaliknya, Wakil Rais ‘Aam KH. M. Bisri Syansuri berpendapat, DPR dahulunya dibuat melalui pemilihan umum 1955, jadi artinya pembentukan DPR-GR pun haruslah melalui pemilu, bukan karena inisiatif perorangan, siapa pun orang itu.
Dari sejarah itu jelas, perbedaan pandangan antara para pemimpin NU tidaklah menjadi persoalan dan tidak perlu dirisaukan. Lalu mengapakah sekarang ada kegelisahan dengan timbulnya perbedaan pandangan antara sementara pemimpin NU, baik di tingkat PBNU maupun di tingkat PWNU dan pihak PKB? Sebenarnya, kegelisahan itu timbul karena dalam kasus-kasus yang terjadi disebabkan oleh ambisi politik pribadi. Di samping itu, melihat bahwa banyak jalur partai politik yang dapat ditempuh untuk memenuhi ambisi politik pribadi itu dengan berupaya ‘menghilangkan’ sejarah PKB yang dilahirkan atas perintah PBNU beberapa tahun yang lalu. Ini harus dinyatakan dengan jelas dan terbuka.
Persoalan kembali pada, perlukah ada pernyataan bahwa NU tidak terkait dengan PKB? Maksud pernyataan ini kemungkinan untuk kepentingan sejumlah politisi praktis di lingkungan NU yang ingin menjadi calon legislatif atau eksekutif. Kalau ini terjadi, sudah tentu maksudnya adalah mengurangi perolehan suara PKB dalam pemilu yang akan datang. Dampaknya adalah menambah suara partai lain yang akan “dihinggapi“ politisi tersebut. Sebenarnya jika ‘pohon faktor’ ini tidak ada, dan PBNU menyatakan secara terbuka apa adanya seperti di masa lampau, tidak akan ada “rasa gelisah” di kalangan para pemimpin PKB dan NU di tingkat menengah-atas itu. Karena itulah perlu diketahui penyebab keluhan yang timbul untuk bisa “menenangkan” warga NU dan PKB.
*****
Penulis sendiri telah mengambil keputusan, begitu “dilengserkan” dari jabatan Presiden RI, untuk tidak bersandar kepada pers nasional. Ia melihat “pemihakan pers nasional” karena sebagian jam terbang para jurnalis kita yang muda masih sangat rendah, dan sebagian lagi para redaktur memihak pemilik uang yang anti kepada penulis. Karena itu, penulis langsung terjun ke bawah, menangani “komunikasi langsung” dengan rakyat dengan memanfaatkan jaringan yang dipakai semasa masih menjadi Ketua Umum PBNU selama 15 tahun. Hanya saja, kalau dahulu penulis berbicara tentang akhlak dan budaya semata-mata, kini ia berbicara dengan tambahan soal-soal politik dengan bahasa yang dapat dimengerti para hadirin.
Keputusan untung-untungan (gambling) itu ternyata didukung oleh keadaan yaitu kenyataan bahwa jumlah mereka yang menghadiri berbagai pertemuan umum dengar publik (publik hearing) itu semakin besar jumlahnya. Berarti pesan-pesan penulis sebagai Ketua Umum Dewan Syura DPP PKB diterima orang banyak, umumnya warga NU dan “orang-orang kecil” lainnya. Dengan adanya kenyataan itu, maka sekarang kewajiban penulis berkembang kepada hal-hal lain, yaitu bagaimana menjaga kedua hal tidak terjadi. Pertama, pengunduran pemilu legislatif, yang penulis dapatkan informasinya memang menjadi “skenario” sementara kalangan pimpinan negara dewasa ini.
Penulis percaya, jika keputusan ini diambil, akan ada reaksi hebat dalam bentuk pengambilalihan kekuasaan pemerintahan dan pembentukan pemerintahan sementara untuk menyelenggarakan pemilu itu. DPP PKB akan mendukung tindakan itu, jika ada kepastian pemilihan umum yang jujur, adil, dan terbuka akan dilangsungkan pada waktunya. Kedua, dalam sebuah artikel di harian Kompas (6/10/2003) lalu, penulis meminta agar warga TNI diberi tugas memberikan laporan yang objektif dan jujur, -di bawah pimpinan seorang perwira yang “dikenal” kejujuran- di hampir enam ratus ribu TPS (Tempat Pemberian Suara) , baik melalui telepon, radio, fax, dan internet kepada sebuah pusat di Jakarta. Data-data tersebut akan “menjadi ukuran” kebersihan hasil pemilu, bebas dari manipulasi hasil yang terjadi. Memang mudah mengatakan hal itu, namun sulit melaksanakannya, bukan?