NU, Kemerdekaan, dan Demokrasi
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Dalam berbagai kesempatan, penulis mengemukakan beberapa aspek dari pengembangan demokrasi di negeri kita. Segera timbul reaksi yang tajam dari berbagai orang teman, yang melihat terlalu jauh menuntut komitmen NU untuk membela demokrasi yang dinyatakan penulis. Mereka beranggapan, penulis terlalu jauh mengaitkan demokrasi kepada kemerdekaan. Seolah-olah, dalam pandangan mereka, penulis menyatakan tiada kemerdekaan tanpa demokrasi dan tiada demokrasi tanpa kemerdekaan. Padahal, kedua-duanya tidaklah sama dalam pandangan mereka. Malaysia dan Singapura, dalam kenyataan telah merdeka walaupun tidak menegakkan demokrasi sepenuhnya. Dengan kata lain, sebuah negara yang merdeka sudah dapat berdiri dengan efektif tanpa demokrasi, dan tidak berarti kemerdekaan dan demokrasi itu merupakan dua sisi yang sama dari sebuah mata uang yang satu.
Republik Rakyat Tiongkok (RRT) umpamanya sudah jelas adalah sudah merdeka tapi kalau dinamakan demokratis tidak sepenuhnya. Hal itu benar, umpamanya kebebasan berbicara, sebuah unsur mutlak bagi demokrasi, ternyata tidak banyak yang terdapat di sana. Walaupun negara itu merdeka dan merupakan kekuatan besar di bidang militer yang dapat “mengimbangi” kekuatan negara adikuasa seperti Amerika Serikat. Walhasil, sebuah negara dapat saja merdeka tetapi tidak demokratis, walaupun belum tentu selanjutnya yang terjadi: sebuah negara dapat saja sangat demokatis namun tidak merdeka. Jelas, merdeka belum tentu demokratis dan demokratis belum tentu merdeka.
Itulah yang menjadi tanda tanya besar bagi kita. Adakah antara keduanya terdapat hubungan kondisional, yaitu yang satu baru hidup kalau yang lain ada? Pertanyaan ini diajukan kepada penulis secara lisan sebagai reaksi beberapa orang pembaca, atas ungkapan penulis yang menyatakan bahwa “kemerdekaan yang harus bersandar kepada demokrasi”, walaupun dalam pandangan mereka “demokrasilah yang memerlukan kemerdekaan.” Setidak-tidaknya kemerdekaan yang efektif dalam praktik, walaupun secara teoritik belum dianggap merdeka, seperti halnya Kanada dan Australia yang menjadi negara dominion Inggris. Ratu Inggris adalah juga Ratu Kanada dan Ratu Australia, sehingga secara teoritik keduanya tidaklah merdeka.
Sedangkan banyak negara, tidaklah merdeka sepenuhnya seperti, negara-negara tertentu di benua Afrika; yang dalam banyak hal masih harus bergantung kepada negara luar untuk dapat hidup, karena sedikitnya sumber-sumber mereka untuk dapat menghidupi seluruh rakyat. Kemerdekaan negara-negara itu adalah sesuatu yang fiktif, karena mereka sangat bergantung kepada “pihak luar” untuk dapat tetap hidup dalam pergaulan internasional. Mereka kehilangan kemerdekaan yang “terwujud“ secara formal karena bergantung sepenuhnya kepada pihak lain. Kalau bantuan ekonomi dan atau perlindungan militer dari luar itu dicabut, hilanglah kemerdekaan itu.
Kepulauan Sheycheles di lautan India dan Vanuatu di Lautan Pasifik dapat dikemukakan sebagai contoh akan tidak sebangunnya “antara kemerdekaan dan demokrasi”. Tidak selamanya kehadiran yang satu menjadi syarat bagi kehadiran yang lain, (Conditio Sine Qua Non), seolah-olah tidak ada hubungan kondisional antara kedua-duanya. Dengan demikian sebuah negara dapat saja ada tanpa kemerdekaan atau merdeka tanpa ia terwujud/hadir dalam kenyataan.
*****
Jadi, dengan demikian dapat disimpulkan bahwa antara kemerdekaan politik dan kebebasan demokrasi tidak terdapat hubungan kondisional. Contohnya adalah Singapura dan Malaysia, yang tidak memberikan kebebasan berbicara dalam soal-soal politik kepada warga negaranya. Kebebasan berbicara memang ada tetapi hanya dalam soal-soal teknis belaka, seperti kesalahan manajemen atau kepengurusan adminsitratif atas sebuah proyek publik oleh negara. Ini tentu jauh beda dibanding dengan para mahasiswa Indonesia dan Muangthai pada saat ini, yang dengan bebas mengkritik pemerintah semau mereka.
Hal ini mengundang komentar dari orang seperti Tun Dr. Mahathir Mohamad, Mantan Perdana Menteri Malaysia, yang menyatakan bahwa belum waktunya orang-orang Malaysia mengenyam kebebasan berbicara seperti itu. Dengan kata lain, ia menganggap belum waktunya kebebasan berbicara dan kemerdekaan berpikir diutarakan, terbukti hal itu diterapkan Malaysia saat ini. Berbeda dengan pandangan tersebut, Sir Winston S. Churchill menyatakan bahwa pemerintahan demokratis akan terlihat banyak cacat dan kekurangan; tetapi ia masih lebih baik dari pemerintah manapun yang tidak demokratis. Entah mana yang benar, antara kedua pandangan itu. Tetapi yang jelas Malaysia dan Singapura memilih opsi pertama, sedangkan Muangthai dan Indonesia memilih opsi kedua. Sejarahlah yang akan menentukan!
*****
Sekarang kita sebagai bangsa berada di persimpangan jalan. Akankah kita mengambil jalan pertama, yaitu memasung kembali kemerdekaan berbicara, setelah kita “rebut” dengan pertumpahan darah cukup hebat pasca-pemerintahan Orde Baru. Pada masa setelah berhasil merebut kepemimpinan politik dan menegakkan kemerdekaan berbicara itu, keseluruhan bangunan politik kita jelas dicari orang. Sekarang, partai politiklah yang berkuasa, bukannya bangsa. Seperti kata seorang anggota DPR-RI yang menyatakan bahwa ia menjadi anggota lembaga legislatif sebagai wakil parpol, bukannya menjadi wakil rakyat. Jadi, ini menunjukkan kekuasaan para pemimpin parpol yang luar biasa, tanpa harus merujuk dengan sungguh-sungguh bagaimana keinginan rakyat banyak. Pemilihan umum legislatif yang akan datang benar-benar menjadi batu ujian. Adakah sikap tersebut memang menjadi sikap kita sebagai bangsa?
Bila yang menang adalah parpol-parpol yang secara umum tunduk kepada Ketua Umum masing-masing dan tidak mengindahkan tuntutan rakyat (dan menyuarakan kepentingan mereka itu seolah-oleh kepentingan rakyat), maka opsi pertama yang dipilih oleh bangsa kita dalam berdemokrasi, yaitu demokrasi dalam soal-soal teknis belaka, bukan soal-soal prinsipil. Karena itu, Nahdlatul Ulama (NU) sebagai ormas Islam dengan anggota terbesar harus bersikap mendukung sebuah parpol yang menginginkan demokrasi, dalam arti kemerdekaan berbicara dan berpendapat harus dijamin oleh undang-undang. Jika para pemilih memenangkan parpol tersebut dalam pemilu legislatif yang akan datang, maka mereka akan mengambil demokrasi opsi kedua di atas.
Jelas bagi kita, demokrasi dalam dua bentuknya itu harus menjadi pilihan kita dalam pemilu legislatif yang akan datang. Memang, kita sebagai bangsa harus menentukan pilihan jenis demokrasi yang mana untuk dipilih. Opsi pertama tampaknya indah, menghindarkan kesalahpahaman dari demokrasi itu sendiri, karena tidak dapat dipengaruhi oleh kemerdekaan berbicara semaunya sendiri, yang terkadang “melupakan” soal-soal teknis yang sangat penting bagi hidup ini. Sebaliknya, apabila ada anggapan kemerdekaan berbicara betapapun buruknya harus “dimundurkan” (yang berarti berarti tidak akan pernah terwujud kemerdekaan demokratis), maka mengharuskan kita untuk memilih opsi kedua, dengan resiko pada beberapa tahun pertama akan sedikit mengganggu soal-soal teknis (tetapi diimbangi kemerdekaan berbicara sepenuhnya). Ini mencerminkan pilihan sulit bagi para warga NU. Memang demokratisasi mudah dikatakan namun sulit dilakukan, bukan?