Hasil Pemilihan oleh Pembaca “PR”, KH Abdurrahman Wahid Tokoh Kita Tahun Ini (Wawancara)

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Proses Pemilihan
Mula-mula Redaksi “PR” mengumpulkan nama orang-orang yang berprestasi díbidangnya masing-masing, dan kemudian tiap orang menjelaskan prestasi orang-orang yang diusulkannya. Ternyata yang diusulkan oleh Staf Redaksi ini jumlahnya sampai puluhan orang. Hal ini jelas akan menyulitkan dalam penyusunan angket. Untuk itu Staf Redaksi memilih lima orang tokoh yang berprestasi untuk ditawarkan kepada pembaca untuk mengambil keputusan akhir. Oleh karena musyawarah bulat tidak tercapai dalam rapat-rapat dan lobby-lobby selama dua minggu, maka diambil keputusan untuk dilakukan pemungutan suara. Tiap anggota Staf Redaksi memilih lima orang untuk dinominasikan dan kemudian diajukan kepada pembaca untuk memilihnya.
Dari pemungutan suara itu diperoleh hasil tokoh-tokoh yang diajukan kepada pembaca yaitu (disusun menurut abjad) Abdurrahman Wahıd, Aburizal Bakrie, Marzuki Usman, Neno Warisman, dan Susi Susanti. Kemudian disusunlah angket yang dilampiri dengan biodata serta beberapa prestasi yang menonjol dari kelima tokoh tersebut.
Namun sebelum angket tersebut disebarkan, muncul pertanyaan, bagaimana kalau pilihan pembaca tidak sesuai dengan nominasi yang diajukan? Untuk mengatasi masalah ini, maka disusunlah angket yang terbuka, artinya selain kelima nominator itu, pembaca juga berhak memilih tokoh yang dihargainya. Akibatnya muncul 35 nama orang yang dipilih oleh pembaca “PR”. Mulai dari nama kelima nominator itu sampai kepada Permaisuri Kesultanan Yogyakarta. Ini terjadi karena angket itu tidak hanya diedarkan di Jawa Barat, namun juga ke beberapa kota besar lainnya di Indonesia.
Menyimak dari hasil angket itu, maka pemilihan itu selain berdasarkan prestasi tokoh, ada juga yang berdasarkan rasa simpati. Misalnya ada pembaca yang memilih Ny. Fadillah M yang digebuki massa karena isu fitnah racun, ada juga yang memilih Sulastri, seorang pembantu rumah tangga yang dianiaya majikannya. Dari angket itu pula dapat diketahui betapa cintanya masyarakat kepada mubaligh KH Zainuddin MZ.
Hasil Pemilihan
Setelah dilakukan penghitungan dengan cermat maka KH Abdurrahman Wahid terpilih menjadi “Tokoh Kita Tahun Ini”, karena ia meraih 201 suara dari 1000 angket yang diedarkan. Saingan terdekatnya adalah Susi Susanti (192 suara), kemudia disusul Neno Warisman (192 suara), Aburizal Bakrie (92 suara), dan Marzuki Usman (74 suara). Jumlah angket yang masuk cukup luar biasa, yaitu mencapai 78,1%. Dengan pengalaman pertama ini, maka untuk tahun-tahun berikutnya jumlah pembaca yang akan diajak menentukan berbagai kebijakan “PR” akan diperbanyak sehingga sehingga suasana semakin semarak, semakin warna-warni bagaikan keindahan taman bunga.
Ada hal yang menarik saat pembukaan kotak suara. Pada tahap pertama yang paling tinggi Susi Susanti dengan 149 suara, sedangksan Abdurrahman Wahid hanya 133 suara. Namun pada pembukaan tahap kedua, Abdurrahman Wahid menyamai Susi Susanti yaitu masing-masing mendapat 182 suara. Sedangkan pada pembukaan terakhir Abdurrahman meraih 201 suara sedangkan Susi 192 suara. Ini merupakan petunjuk, betapa besarnya perhatian pembaca terhadap olahraga. Khusus mengenai bulutangkis, perolehan suara Susi sebesar itu merupakan pertanda yang jelas, betapa rindunya masyarakat kita kepada kejayaan bulutangkis seperti pada zamannya Rudy Hartono.
Guru Bangsa
Sementara itu apa komentar Abdurrahman Wahid ketika ia diberi tahu bahwa ia dipilih pembaca “PR” sebagai “Tokoh Kita Tahun Ini”. “Wah, saya kaget. Namun sampaikan ucapan terima kasih saya kepada para pembaca yang memilih saya,” katanya lewat pembicaraan telepon malam Sabtu kemarin. Kegembiraan Abdurrahman adalah bahwa ia terpilih oleh surat kabar umum. “Ini betul-betul berharga, karena “PR” kan bukan koran dakwah. Jadi bagi saya ini sangat berarti, apalagi baru kali inilah sebuah media meminta pembacanya untuk menentukan pilihannya,” katanya.
Setelah jawaban singkat itu, kami melakukan wawancara yang lebih panjang dengan sang tokoh itu, untuk memberi gambaran yang lebih banyak tentang diri Abdurrahman Wahid.
Tanya (T): Gus Dur (demikian panggilan akrab KH Abdurrahman Wahid), apa sebetulnya cita-cita Anda waktu kecil dulu?
Jawab (J): Dulu saya ingin masuk Akabri, jadi militer. Namun tidak jadi karena saya pakai kacamata. Jadi nggak kesampaian. Cita-cita saya jadi jenderal nggak kesampaian.
T: Sejak kapan Gus Dur pakai kacamata?
J: Sejak umur 14 tahun. Memang ayah dan ibu saya berkacamata.
T: Jadi kacamata Gus Dur masih mungkin menebal?
J: Wah, mudah-mudahan saja tidak.
T: Omong-omong bagaimana Gus Dur membagi waktu untuk keluarga?
J: Saya memang dipaksa keadaan. Dengan sendirinya saya ambil cara tersendiri. Yang terpenting, beberapa kegiatan pokok tidak boleh ditinggalkan. Dalam waktu-waktu tertentu saya gunakan untuk keluar dengan anak-anak dan istri. Kelayaban, lihat-lihat dan pada ujungnya makan di restoran. Itulah yang paling pokok
Kedua, saya berusaha sejauh mungkin mengantisipasi kebutuhan mereka, apakah kebutuhan itu bersifat anjuran atau hal-hal yang sifatnya pendidikan mereka di sekolah, ataupun soal-soal lain. Hal itu saya sediakan persis pada waktu mereka butuhkan sehingga mereka merasa diayomi.
Ketiga, saya tidak pernah keras, tapi tegas. Umpama anak saya yang paling tua, kini duduk di kelas III SMA. Saya tidak pernah memberi ijin untuk belajar menyetir mobil. “Kamu harus ambil SIM sewaktu Undang Undang membolehkan. Kalau Bapakmu ngomong agar orang taat pada Undang Undang sedangkan kamu belum sampai umurmu sudah menyetir, maka itu tidak boleh dan tidak baik. Saya memulai dari keluarga sendiri untuk mendidik ketaatan terhadap UU, dan mereka taat. Namun hal ini punya akibat, saya kecapaian untuk mengantar mereka sekolah. Akhirnya saya mengambil sopir. Jadi dengan demikian antara kebutuhan mereka dan disiplin yang saya terapkan jadi sesuai. Mereka tahu persis.
Keempat, insetif saya tidak pernah secara material kepada mereka. Insentif saya mengarah kepada capaian. Mereka harus mencapai capaian-capaian tertentu yang sifatnya juga bisa komersil. Bagi anak saya yang paling gede, banyak tulisan saya yang diketiknya. Saya beri harga per lembar. Jadi dengan begitu dia merasa bahwa dia mencapai sesuatu, dan capaian itu dihargai ayahnya. Jadi bukan berupa pernghargaan kosong dalam bentuk duit. Anak kedua juga melakaukan hal yang sama.
Jadi menurut saya, akhirnya mereka akan berkembang menjadi anak-anak yang mengerti apa yang dimauinya, tahu batas-batas kemampuan, tapi harus berusaha mengerahkan kemampuannya sejauh itu.
T: Setelah cita-cita menjadi jenderal gagal, lalu cita-cita Gus Dur beralih ke bidang apa?
J: Waktu itu saya langsung dihadapkan ke pesantren. Kalau nggak bisa ke sana, ke mana saja boleh. Waktu itu kakek saya (dari ibu) menawarkan agar saya ke pesantren saja. Lantas saya mesantren di Magelang. Beliau sendiri yang mengantarkan saya ke sana. Selain ngaji kitab suci, saya membaca berbagai buku. Memang dari kecil saya punya buku bacaan banyak sekali, dan buku-buku itu saya bawa ke pesantren. Dalam pesantren itu keinginan saya untuk menjadi sastrawan tumbuh. Saya bikin puisi. Jadi saya pernah gandrung puisi.
Namun berbagai pihak menganjurkan agar saya pergi ke Mesir untuk belajar. Saran ini juga datang dari Kiai Saifuddin yang waktu itu menjadi Menteri Agama. Saran itu saya ikuti. Alhamdulillah di Mesir saya belajar agama secara konsepsional, tapi juga mendalami kaitan Islam dengan kapitalisme, Islam dengan sosialisme, Islam dengan kebudayaan modern, dan lain-lain. Terpaksa saya mendalami berbagai isme itu, terlepas dari hubungan satu dengan lainnya. Sedangkan di Irak, karena orang Indonesia diharuskan belajar tentang Indonesia, maka saya belajar sosiologi Indonesia, sejarah Indonesia. Saya merasa mendapatkan kematangan dari belajar itu.
T: Asrul Sani mengatakan bahwa Gus Dur itu bukan intelektual Islam, tapi intelektual saja. Apa komentar Gus Dur?
J: Saya sangat berbahagia mendengar komentar Asrul Sani. Dari lubuk hati yang dalam, saya ingin menjadi orang Indonesia. Memang Islam itu bawaan saya, urusan saya, tetapi masalah keindonesiaan itu urusan orang Indonesia bersama. Oleh karena itu saya sangat bahagia bila Pak Asrul mengkategorikan saya seperti itu. Beliau sangat pemurah kepada saya. Sesungguhnya menjadi seorang intelektual adalah cita-cita saya.
T: Dalam tahap sekarang ini, apa yang hendak Anda capai lagi?
J: Cita-cita saya sejak dulu adalah menjadi salah seorang guru bangsa. Bung Hatta itu guru bangsa kita. Soedjatmoko itu guru bangsa kita dalam hal pandangan masa depan bangsa kita Lalu Ki Hajar Dewantoro adalah guru bangsa di bidang pendidikan. Adik saya juga menjadi guru bangsa di bidang agama dan perubahan sosial. Namun sampai saat ini saya belum tahu menjadi guru bangsa di bidang apa. Ya itu saja keinginan saya, yang lain nggak pengen. Itu saja, mudah-mudahan berhasil.
Demikianlah sekelumit wawancara dengan KH Abdurrahman Wahid, setelah ia diberi tahu bahwa ia dipilih menjadi “Tokoh Kita Tahun Ini” oleh pembaca “PR”. Bulan November 1989 ia terpilih menjadi Ketua Tanfiziah PB NU dalam Muktamar NU. Namun ayah dari empat anak ini juga dikenal luas sebagai budayawan dan kolumnis. Tahun 1983-1985 dia menjadi Ketua DPH (Dewan Pengurus Harian) Dewan Kesenian Jakarta dan pernah pula menjadi Ketua Dewan Juri FFI (Festival Film Indonesia) 1985 di Bandung. Sebagai pemimpin NU ia tak segan-segan membuka “Malam Puisi Yesus Kristus” dan berceramah di Sidang Raya PGI (Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia) di Surabaya, sebulan menjelang Muktamar NU ke-28 berlangsung di Yogyakarta.
Apa Kata Mereka tentang Abdurrahman Wahid
Prof.DR. Emil Salim, Menteri KLH
ABDURRAHMAN WAHID itu tokoh yang unik karena menggabungkan beberapa hal yang menarik. Pertama, ia berkecimpung sebagai ketua organisasi yang semangat kerakyatannya kuat dan berakar pada masyarakat bawah. Kedua, ia juga bisa merasa nyaman dalam pertemuan-pertemuan internasional. Padahal, audiensnya lain. Agak tingkat tinggi, intelektual dan sebagainya. Jadi baik di kalangan bawah maupun di kalangan atas yang internasional, dia juga bisa. Ketiga, ia juga tidak asing bila berada di tengah kalangan kaum seniman. Buktinya, dia pernah jadi Ketua Dewan Kesenian Jakarta, juri Festival Film Indonesia, dan di rumah menggemari musik Beethoven.
Ia hadir sebagai manusia yang bisa berakar ke bawah, bisa berdialog ke atas, bisa bergaul dengan para seniman. Semua dia peroleh dengan kemampuannya sendiri. Pendidikan formalnya kan tidak sampai doktor segala macam. Itu pertanda orangnya memang orang cerdas. Wawasan intelektualnya luas. Dan, yang paling saya senangi adalah dia itu tanpa pamrih. Jadi, kalau dia jadi ketua itu bukan karena ada udang di balik batu lah. Karena itu, saya dukung kalau dia dipilih pembaca “PR” sebagai tokoh kita tahun 1989 ini.
Oya, saya juga terkesan pada pandangannya yang mendalam dan wawasannya yang luas. Itu terlihat bila kita bertukar pikiran dengannya. Bukan hanya soal agama, tapi juga soal kemasyarakatan. Karna itu, saya selalu mengundang dia ke rumah saya kalau ada pertemuan keluarga besar kami, biasanya di bulan Ramadhan. Beliau memang salah satu tokoh yang oleh teman-teman dianggap perlu selalu memberikan buah pikirannya, karena memang wawasan keagamaannya itu luas. Tidak konservatif, tidak menyempit. Tapi ada kedalaman. Saya kira gaya ini yang perlu kita kembangkan dalam beragama.
KH Syarifuddin Sapari, anggota DPR dari FKP
Pembaca “PR” tidak salah pilih, mereka tepat memilih. Saya kenal Abdurrahman Wahid sejak kecil. la berwawasan luas, karena lama belajar di luar negeri. Dalam dirinya lahir sebagai budayawan, ulama, dan juga mirip politisi. Ayah saya akrab dengan Wahid Hasyim, ayah Abdurrahman Wahid. Keduanya sebaya.
KH Hasan Basri, Ketua MUI
Saya kenal keluarga Wahid Hasyim. Kalau Abdurrahman Wahid terpilih, saya kira itu hak pembaca.
Drs. Lukman Harus, Wakil Ketua PP Muhammadiyah
No comment.
Drs. H. Asrul Sani, Budayawan
Saya senang Abdurrahman Wahid. la sangat terbuka, lapang dada, tidak mengenal fanatisme sempit. Berbicara dengan dia banyak manfaatnya.
Bagi saya dia bukan intelektual Islam saja. Seharusnya ia disebut inteletual. Pokoknya, ia intelektual, titik.
Kalau kita lihat kepemimpinannya selama ini, kesimpulan saya adalah ia orang yang mampu memberi suasana baru. Tapi rasanya ia tak mampu membawa orang yang dipimpinnya ke arah yang ia inginkan. Saya tak ingin mengatakan bahwa semua ini adalah kekurangannya, namun bila ia seorang pemimpin mesti mempunyai kemampuan menumbuhkan suatu suasana atau iklim bagi anak buahnya, maka Abdurrahman Wahid orang yang sekadar mempu memberikan penilaian obyektif
Tapi perlu diingat, ada sifat kepemimpinan yang asing bagi seorang intelektual dan itu ternyata berlaku juga pada Abdurrahman Wahid. Ia memiliki semua sifat seorang intelektual, namun sangat kurang memiliki sifat yang diperlukan seorang pemimpin. Padahal ia punya kesempatan yang sangat besar. Terpilihnya ia sebagai pemimpin NU dan kini terpilih pula sebagai tokoh oleh pembaca “PR”, menunjukkan bahwa ia memang disukai dan mempunyai kesempatan yang baik. Karena saya senang padanya, saya berharap ia mempunyai pendamping yang dapat memuluskan jalan kepemimpinannya.
Drs. M. Dawam Rahadjo, Ketua Lembaga Studi Agama dan Filsafat.
Abdurrahman orang populer. Ia mempunyai akses masuk ke mana-mana. Tetapi apakah ia seorang yang cukup progresif dan seorang organisator yang baik, itu pertanyaan tersendiri. Misalnya, bagaimana ia dapat menemukan pembaharuan tanpa keributan?
Intelektual Abdurrahman Wahid yang berorientasi barat, sangat menonjol. Ia berusaha mengintrodusir cara-cara berpikir baru. Tetapi karena itulah ia kerap kali berbenturan dengan pemikiran-pemikiran tradisional yang dianut para kiai Jika Abdurrahman Wahid dapat mengintrodusir cara-cara berpikir baru, mendobrak cara-cara berpikir di pesantren-pesantren dan mengaktualisasikan ajaran-ajaran Islam Fiqh dan Tasawuf yang dianut Nahdlatul Ulama, mungkin akan bermanfaat bagi pembangunan bangsa.
Banyak hambatan terhadap gagasan-gagasan pembangunan yang dicoba diintrodusir Abdurrahman Wahid, karena berbenturan dengan hukum-hukum fiqh. Memang perlu ada aktualisasi baru hukum-hukum Islam. Tetapi apakah usahanya itu akan berhasil, merupakan tantangan terhadap dirinya.