NU-PKB dan Mabadi Khaira Ummah
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Pada tahun-tahun terakhir dasawarsa tiga puluhan KH. Abdullah Ubaid melontarkan sebuah gagasan sangat menarik. Gagasan itu adalah berupa prinsip Mabadi Khaira Ummah (prinsip-prinsip umat yang baik). Menurut apa yang menjadi inti prinsip tersebut yaitu kemakmuran material harus dikejar dengan menggunakan prinsip-prinsip rohani yang kuat. Diambilkan dari ayat Al-Qur’an, “Kalian adalah sebaik-baik umat yang diciptakan bagi manusia” (Kuntum khaira ummatin ukhrijat li annas). Salah satu yang dituju prinsip tersebut adalah kekuatan ekonomi rakyat kita, yang di kemudian harinya akan dikenal sebagai bangsa yang besar. Ini menunjukkan, sejak awal NU memang berusaha memikirkan kemakmuran (dan tentu saja keadilan) dalam hidup kita bersama. Jika ini memang benar-benar sasaran kita semua, termasuk yang luput oleh gagasan di atas, tentu nyata bagi kita bahwa hingga sekarang pun hal itu belum dapat dicapai oleh bangsa ini.
Mengapakah hal itu dapat terjadi? Karena memang masa pendudukan bala tentara Jepang atas bangsa ini memang benar-benar membuat rakyat menderita seperti terbukti dari banyaknya hal-hal yang terjadi. Segala sesuatu dapat diperoleh dengan cara antri untuk memperolehnya, sebagian besar rakyat harus mengenakan tikar dan karung sebagai pakaian, dan jangan lupa penderitaan mereka yang dikirim ke negeri-negeri lain sebagai romusha. Kalau hal-hal mendasar seperti itu pun sudah sulit didapat, dapat dibayangkan betapa susahnya keadaan waktu itu. Namun, kesabaran kita sebagai warga masyarakat seperti tidak ada batasnya sama sekali, seperti terbukti dari kenyataan, bahwa tidak ada perlawanan berarti terhadap penderitaan yang demikian hebat. Baru kemudianlah ada pemberontakan PETA di Blitar dan KH Mustafa di Tasikmalaya.
Kesusahan itu segera diikuti oleh hal lain, setelah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, janji-janji para pemimpin bangsa (kecuali beberapa orang saja) untuk memberikan prioritas kepada pengembangan sektor Usaha Kecil dan Menengah (UKM), ternyata merupakan janji yang tidak kunjung terlaksana. Pembodohan seperti itu tetap saja dipikul dengan penuh kesabaran oleh bangsa ini hingga sekarang. Ternyata yang memperoleh prioritas adalah usaha-usaha besar. Atas nama ‘perusahaan besar dan modern’ dengan kedok usaha nasional, diberikanlah kredit demi kredit untuk mereka, yang justru “memperkuat” usaha-usaha besar tersebut. Bagaimana dengan UKM? Terserah dengan kemampuan mereka untuk berkembang, walau begitupun mereka tetap menjadi tulang panggung perekonomian kita.
Tukang becak, pemilik angkot, para penjaja makanan yang menjual makanan mereka kepada rakyat dengan harga sangat rendah, akhirnya membuat UKM menjadi tulang panggung perekonomian nasional. Tanpa kehadiran mereka, kita akan terpuruk lebih jauh lagi dalam krisis yang kita hadapi sejak tahun-tahun terakhir ini. Karena itu, kita tidak akan dapat mengatasi krisis tersebut tanpa ada kesungguhan untuk menyediakan kredit-kredit murah bagi UKM kita. Di sinilah kita jadi ingat akan gagasan yang dikemukakan KH. Abdullah Ubaid tersebut. Gagasan itu sendiri, kemudian diteruskan oleh KH. Machfud Sidik, (Ketua PBNU waktu itu) sampai wafatnya dalam tahun empat puluhan. Karena perjuangan kemerdekaan dan kebutuhan mengatur kehidupan setelah tercapainya kemerdekaan, maka gagasan tersebut menjadi terhenti dan tidak jadi dilaksanakan. Apa lagi setelah NU (melalui Muktamar Palembang tahun 1952) kembali menjadi partai politik, kembalilah kita kepada “jalur lama” dalam kehidupan bangsa.
Sepanjang terkait dengan diri penulis, upaya untuk mengembangkan ekonomi nasional melalui NU, dimulai pada awal-awal tahun 70-an. Di waktu itu, penulis mengundang sejumlah pengasuh pondok pesantren yang juga adalah pengurus NU di tempat masing-masing, untuk bertemu satu sama lain di wisma milik PDK dalam sebuah lokakarya, yang melibatkan mereka dalam permulaan upaya menjadikan pondok pesantren sebagai ‘agen-agen pembaharuan’. Lokakarya yang dibiayai Lembaga Penelitian Pendidikan dan Penerangan Ekonomi Sosial (LP3ES), dengan sponsor Friedrich Naumann Stiftung (FNS) dari Jerman Barat, berlangsung di Argomulyo, Tugu, Bogor itu akhirnya memunculkan program pengembangan masyarakat (community development) melalui pondok pesantren sebagai bagian dari perubahan sosial secara menyeluruh.
Lokakarya yang dihadiri antara lain oleh KH. A. Muchith Muzadi dari Jember, KH. A. Basith (Pondok Pesantren Nuqayyah di Guluk-guluk, Sumenep), KH. AM. Sahal Mahfudz (Pondok Pesantren Maslakul Huda di Kajen, Pati) KH. Ilyas Ruchyat dan Pondok Pesantren Suryalaya yang dipimpin oleh Abah Anom dan seterusnya itu, merupakan langkah pertama ke arah kerja sama dengan “pihak luar” untuk membangkitkan kembali kekuatan ekonomi, yang ada dalam masyarakat melalui lembaga tersebut. Dalam program koordinasi yang dipimpin oleh Abdullah Syarwani SH itu diselenggarakan latihan demi latihan untuk mengembangkan kemampuan ekonomi (yang berarti kebolehan berorganisasi) di lingkungan NU.
Program tersebut, setelah melalui perkembangan sekarang telah terbukti antara lain berbentuk adanya Lajnah Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam) di lingkungan NU, yang juga memiliki rangkaian kelembagaannya sendiri. Walaupun belum memiliki kemampuan teknis dan administratif yang tinggi, namun kehadirannya telah membuat masalah yang berkaitan dengan pengembangan ekonomi nasional di tingkat makro dan mikro ‘terasa’ di lingkungan NU. Sayangnya, dengan adanya ‘politisasi NU’ oleh Ketua Umum PBNU KH. Hasyim Muzadi upaya-upaya tersebut untuk sementara ‘terhenti’. Penulis berharap, kembalinya sejumlah anak-anak muda NU dari pendidikan (S2 dan S3) di luar negeri di masa depan, akan memimpin bangkitnya kembali berbagai macam kegiatan, untuk mengembangkan usaha kecil dan menengah di lingkungan organisasi tersebut. Baik melalui kekuatan sendiri, bantuan luar negeri terutama sebagian sponsor/program maupun pemerintah kita sendiri. Dan di masa depan dapat digunakan sebagai kelanjutan gagasan Mabadi Khaira Ummah di atas.
Bersama-sama dengan lembaga berbagai bidang, seperti pendidikan, dengan ribuan madrasah di bawah pimpinan LP Ma’arif, Ikatan Pondok Pesantren Islam (Rabithoh Al-Ma’ahid Al-Islamiyah) dan sebagainya, rangkaian kegiatan Lakspedam itu akan menempatkan NU sebagai salah satu pihak yang mempunyai peranan berarti dalam pengembangan ekonomi nasional melalui program-program pendewasaan UKM. Tentu saja, banyak ‘bidang-bidang lain’ yang juga harus digarap oleh PBNU pasca Muktamar bulan November 2004 ini.
Ini berarti perlu adanya ‘dukungan politis’ oleh PKB, dengan landasan ajaran-ajaran Islam. Dukungan politis PKB itu, harus dilakukan di segala tingkatan, dari pusat maupun daerah. Juga dengan dialog yang tidak pernah berhenti di berbagai tingkatan, sehingga keseluruhan warga NU akan terlibat dalam pengembangan ekonomi nasional itu. Dengan demikian arah dan isi kegiatan demi kegiatan dalam rangka itu, akan berkembang menjadi upaya demokratisasi ekonomi, yang dampaknya mengarah kepada proses demokratisasi seluruh aspek kehidupan bangsa kita. Tentu saja untuk melaksanakan ini harus meneruskan cara-cara, “Meneruskan hal-hal baik dari masa lampau dan menghentikan/membuang yang buruk dari masa lampau” (al-muhafazhatu ’ala al-qadim al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah). Sudah wajar, jika NU-PKB juga bertindak demikian. Ini mudah dikatakan namun sulit dilaksanakan, bukan?