Aspek Reformatif dari Upaya Agama untuk Menanggulangi Masalah Kemiskinan
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
(1)
Haruslah diakui, bahwa penanggulangan masalah kemiskinan oleh berbagai agama selama ini baru berkisar pada upaya karitatif untuk meringankan beban penderitaan warga masyarakat sebagai perorangan. Kalaupun dilakukan usaha terorganisir untuk melakukan penanggulangan seperti itu, watak pelayanan individual atas mereka yang menderita itu masih terlihat nyata, sedangkan implikasi kemasyarakatannya baru sampai pada tingkat potensial belaka. Zakat sebagai lembaga dengan kemungkinan seperti itu, masih belum lagi dibenahi dengan tuntas oleh kaum muslimin, sehingga belum dapat menjadi agregaat ekonomi dalam artian penuh dan kongkrit.
Hal lain yang lebih nyata lagi memperlihatkan kenyataan jauhnya aspirasi agama dari penanggulangan masalah kemiskinan secara tuntas di luar bidang karitas, adalah langkanya pembahasan terperinci tentang sebab-sebab dan serba-bagai dimensi kemiskinan itu sebagai problem kemasyarakatan, apalagi sebagai problem umat manusia, dari sudut pandangan agama. Setidak-tidaknya ini berlaku untuk kaum muslimin dalam sejarahnya yang panjang. Bahkan besar sekali kecenderungan untuk memperlakukan masalah kemiskinan sebagai suatu yang telah menjadi suratan nasib dan kepastian yang tidak dapat ditolak lagi. Ayat Al-Qur’an “Telah Kubagi-bagikan antara mereka (bagian) hidup mereka di dunia, dan Ku-tinggikan sebagian mereka atas sebagian yang lain” dijadikan pegangan tentang langgengnya kemiskinan sebagai nasib manusia. Hiburan dan dorongan diberikan, agar manusia menerima nasibnya itu dengan tabah dan sabar. Disediakan janji muluk di akhirat kelak bagi kepedihan hidup di dunia, sedangkan untuk sekedar meringankan beban kehidupan dunia diberikan santunan individual dalam bentuk zakat, sedekah, pemberian (hibah) dan sebagainya. Secara sosial, disediakan sejumlah lembaga karitatif untuk menolong mereka yang sama sekali tidak mampu menghidupi diri sendiri. Beberapa adat kebiasaan ditumbuhkan untuk menikmati bersama kegembiraan hidup pada waktu-waktu tertentu: hari raya, upacara peringatan keagamaan, kenduri dan sebagainya.
Keadaan seperti itu berlangsung berabad-abad lamanya di kalangan kaum muslimin, sudah tentu dengan tak terhitung banyaknya. ‘selingan’ berupa upaya mesianistis dan millenarianistis untuk menegakkan ‘masyarakat untuk orang kecil’, yang semuanya gagal dalam jangka panjang sebagai upaya untuk mengubah watak kehidupan masyarakat dalam kaitannya dengan masalah kemiskinan. Salah satu aspek utama kenyataan umum ini adalah pemisahan masalah kemiskinan dari masalah-masalah kemasyarakatan yang lainnya, seperti kebodohan, ketidakadilan, ketimpangan struktur masyarakat dan seterusnya. Secara mudahnya, dapatlah dinyatakan bahwa masalah kemiskinan dalam pandangan tradisional kaum muslimin adalah sebuah masalah mikro, walaupun memiliki dimensi sangat besar dalam skala dan kuantitasnya.
(2)
Pembaharuan pemikiran keagamaan yang bermula pada penghujung abad yang lalu, walaupun belum berhasil mendudukkan masalah kemiskinan pada tempat yang tepat dan sesuai dengan keberadaan problem itu sendiri sebagai sebuah fenomena sosial, telah membawakan bekasnya sendiri pada penanggulangan masalah kemiskinan itu di kalangan kaum muslimin. Walaupun belum dapat menghindarkan diri dari penyekatan problem kemiskinan dari problem struktural dalam kehidupan masyarakat, setidak-tidaknya mulai dirumuskan tempat manusia dalam kehidupan. Kemuliaan martabat manusia dirumuskan sebagai sebuah paradigma baru, yang menuntut beberapa hal berikut:
(a) penyediaan kebutuhan akan makanan bagi pengembangan penuh secara fisik;
(b) penyediaan lingkungan pendidikan yang akan memungkinkan pengembangan jasmaniah dan rohaniah yang berkeseimbangan baik;
(c) penyediaan kesempatan untuk mengembangkan kepribadian sepenuhnya dalam kehidupan sebagai warga masyarakat;
(d) penciptaan lingkungan sosial-budaya yang akan mendukung partisipasi dalam kehidupan bermasyarakat, terutama dalam pengembangan dan pembinaan kehidupan keluarga.
Jargon-jargon seperti “masyarakat demokratis”, “kehidupan ekonomi yang sehat”, dan seterusnya adalah manifestasi dari kebutuhan untuk menyediakan keempat sarana kehidupan yang baik dan sehat sebagaimana dirumuskan di atas. Upaya tersebut dengan sendirinya akan membawa implikasinya sendiri di bidang penanggulangan kemiskinan: penciptaan kelas menengah yang semakin meluas, yang akan mampu menghilangkan kemiskinan secara gradual.
Sarana doktriner disediakan untuk menunjang upaya ‘perbaikan kehidupan’ seperti itu. Keharusan bersedia melakukan upaya mengubah nasib dicanangkan, seperti pengulangan implikasi ayat Al-Qur’an berikut secara tidak berkeputusan: “Tidaklah Allah mengubah apa yang ada (pada) sebuah kaum, hingga mereka mengubah apa yang (ada) di diri mereka sendiri”. Tekanan diberikan kepada kemampuan individual manusia untuk merubah jalan hidupnya sendiri, jika saja ia memiliki kemauan untuk melakukannya. Credo yang demikian optimis dan sepenuhnya dilandaskan pada acuan kemasyarakatan yang bersifat liberal ini ternyata cukup lama bertahan, bahkan hingga saat ini pun ia masih merupakan bagian tidak kecil dari kehidupan kaum muslimin di seluruh dunia. Upaya sosial yang dilakukan juga mengalami perkembangan: tidak lagi hanya bersifat karitatif terbatas, melainkan sudah diletakkan pada tingkat edukatif, dalam bentuk penyediaan lembaga kemasyarakatan untuk mengembangkan kemampuan dan ketrampilan menghidupi diri sendiri bagi generasi muda. Lembaga penunjang untuk menampung ‘kreativitas individual’ di bidang perekonomian diciptakan, seperti koperasi dan perusahaan-perusahaan niaga modern.
Diharapkan dengan demikian, bahwa masalah kemiskinan akan teratasi dengan sendirinya pada suatu ketika: dorongan perbaikan nasib di bawah (dengan penyediaan ketrampilan yang diperlukan) akan bertemu dengan ‘tarikan ke atas’ dari kebutuhan lembaga-lembaga perekonomian modern itu akan tenaga yang trampil, sehingga menciptakan momentum kemajuan yang akan mengangkat derajat masyarakat secara keseluruhan dari lembah kemiskinan dan kemelaratan.
(3)
Pada tahun-tahun belakangan ini muncul kesadaran, bahwa pendekatan masalah seperti dikemukakan di atas tidaklah sepadan dengan rumitnya masalah kemiskinan itu sendiri. Upaya yang dihasilkannya pun juga tidak memadai dengan kebutuhan akan cara-cara lebih drastis untuk menanggulangi masalah kemiskinan itu. Sikap untuk mempermudah persoalan yang dihadapi, dengan melihat masalah kemiskinan sebagai sesuatu yang terbatas pada kemampuan individual warga masyarakat belaka, hanyalah akan melestarikan kemiskinan itu sendiri, karena ia hanya akan berkesudahan pada struktur perekonomian yang eksploitatif dan menghisap daya hidup golongan kecil belaka. Apalagi kalau pada kerangka yang sedemikian simplistik dimasukkan juga berbagai kecenderungan yang tidak membantu pemecahan masalah kemiskinan, seperti pendekatan skriptural dalam kehidupan beragama, sikap legal formalistik dalam kehidupan sosial dan pandangan dunia (worldview) yang serba apologetik.
Kesadaran ini membawakan kebutuhannya sendiri kepada perumusan beberapa hal dasar yang menjadi conditio sine qua non bagi upaya penanggulangan kemiskinan di kalangan kaum muslimin:
(1) mengaitkan upaya penanggulangan itu sendiri kepada upaya mendudukkan martabat manusia pada tempat yang sebenarnya, bukan hanya sebagai makluk individual melainkan sebagai makhluk sosial dengan hak-hak asasi dan kebutuhan dasarnya sendiri;
(2) pemberian legitimasi keagamaan hanya kepada kerangka kemasyarakatan yang mampu mendorong pengembangan martabat manusia yang seperti itu;
(3) kesediaan melakukan perubahan mendasar dalam pemikiran keagamaan untuk menampung kebutuhan meningkatkan martabat manusia dan kerangka kemasyarakatan yang diperlukan untuk itu.
Kesadaran ini akhirnya membuahkan dua buah pendekatan yang bersifat makro dan memiliki implikasi struktural. Pendekatan pertama menekankan pada upaya gradual untuk menciptakan proyek-proyek rintisan dan program pengembangan masyarakat guna memenuhi dua tujuan sekaligus: menyediakan kebutuhan pokok rakyat dan mendidik mereka mendirikan lembaga sosial-ekonomis yang tidak eksploitatif. Dengan semboyan ‘membangun dari bawah’, pendekatan ini mencoba melakukan transformasi masyarakat secara total tetapi bertahap, melalui penciptaan kelompok-kelompok dinamis berukuran kecil, yang akan melakukan replikasi-diri dan multiplikasi upaya yang dilakukan secara massif dalam jangka panjang. Program pengembangan masyarakat melalui pondok pesantren, yang pertama kali dilancarkan oleh LP3ES, adalah contoh dari pendekatan transformatif tetapi gradual seperti ini. Walaupun tidak kecil kadar ideologis-keagamaan yang dikandungnya, pendekatan ini lebih banyak menyandarkan diri pada kesadaran kultural daripada semangat politis menentang ideologi negara yang ada, yang dirasakan menghambat proses transformasi masyarakat secara total nantinya.
Pendekatan kedua justru berkebalikan dari pendekatan di atas. Selama struktur masyarakat dan ideologi negara yang ada masih bersifat menghisap dan menindas rakyat kecil, selama itu pula tidak akan dapat dilakukan upaya penanggulangan masalah kemiskinan dengan tuntas. Prioritas pertama dengan demikian harus diberikan kepada pemberian legitimasi oleh agama kepada ideologi politik yang bertujuan menghapuskan eksploitasi dan penindasan, dan kemudian pengembangan sarana yang memungkinkan penggantian radikal struktur masyarakat yang ada dengan struktur baru yang lebih populistis dan egalitarian.
Tidak dapat dihindari pula terpecahnya pendekatan kedua ini menjadi dua sub-pendekatan yang baru, yaitu antara pendekatan yang berupaya melegitimasikan upaya perombakan struktur yang tidak adil melalui ideologi sekuler, dan mereka yang menghendaki penciptaan ideologi murni Islam untuk keperluan yang sama. Pertentangan antara kedua macam sub-pendekatan ini seringkali berupa pertentangan ideologis yang sengit, seperti antara ideologi nasional-sosialisme Arab yang dikumandangkan Partai Ba’th di Irak dan Sosialisme Arab-nya mendiang Gamal Abdel Nasser di satu pihak dan ideologi Revolusi Islam yang dicanangkan kaum, Mullah dan intelektual muslim Iran untuk menumbangkan rejim Reza Pahlevi di pihak lain. Pada kelompok pertama dapat dilihat para pemikir seperti Eqbal Ahmad dan Mahbub-ul-Haq, Ali Shariati, Aboul-hassan Bani-sadr dan Ayatullah Mottaheri dan Ayatullah Khomeini.
Kesadaran untuk melakukan transformasi struktural sebagai persyaratan bagi penanggulangan masalah kemiskinan secara tuntas ini memiliki tiga dimensi yang saling berkait, baik transformasi yang diinginkan dicapai secara gradual maupun secara radikal-revolusioner:
(1) manusia yang oleh Allah diciptakan sebagai makhluk termulia di sisi-Nya, haruslah berfungsi penuh baik sebagai individu maupun sebagai warga masyarakat;
(2) penunaian fungsi itu berkaitan erat dengan perombakan struktur yang timpang, menghisap, menindas dan tidak adil, yang menjadi sumber kemiskinan;
(3) untuk melakukan perombakan itu, diperlukan upaya transformatif yang memiliki lingkup makro untuk menegakkan demokrasi yang murni, mengembangkan lembaga kemasyarakatan yang adil di semua bidang, dan menolak ketidak adilan dalam segala bentuknya. Agama Islam tidak dapat memisahkan diri dari perjuangan makro seperti ini, dan sikap mengabaikan hal ini berarti penyimpangan dari ajaran dasar Islam sendiri dan pengkhianatan atas aspirasi Islam dalam arti penuh.
(4)
Dari penglihatan sepintas lalu atas berbagai corak penanggulangan kemiskinan dalam lingkungan pemikiran Islam, sebagaimana disajikan di atas, tampaklah dengan jelas betapa besar aspek reformatif dari semua pemikiran itu sendiri. Reformasi yang terjadi ternyata tidak hanya dapat dibatasi terjadi di satu lingkungan ‘pembaharuan’ saja, melainkan meliputi semua sektor kehidupan kaum muslimin, hingga kepada kelompok-kelompok yang tadinya dianggap tidak responsif. Dapat diperkirakan, bahwa aspek reformatif ini akan semakin bertambah luas jangkauannya, semakin intensif penggarapannya, dan semakin jauh implikasinya bagi masa depan Islam sendiri.