Kata Pengantar: Nilai-nilai Normatif dan Reaktualisasi Ajaran dalam Islam
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Empat belas tahun yang lalu, kaum Muslimin di tanah air kita di guncangkan oleh sebuah kasus sepele. Tidak berpadanan antara kasus tersebut dengan reaksi yang timbul atasnya, sehingga lalu menjadi membingungkan. Dalam rancangan undang-undang (RUU) yang diajukan ke Dewan Perwakilan Rakyat termuat perkenan bagi warga negara untuk melakukan adopsi atau mengambil anak angkat Adopsi (bahasa Arab tabanni) juga dikenal dalam Islam, tetapi anak angkat tidak memiliki hak hukum penuh bagaikan anak kandung, seperti dalam hukum Barat, karenanya tidak dapat mewarisi harta ayah/ibu angkatnya.
Karena tentangan yang timbul di masyarakat demikian besar atas ketentuan tersebut, dan juga atas beberapa aspek lain yang dikemukakan, akhirnya RUU tersebut dipetisikan dan sebuah rancangan lain yang disahkan menjadi Undang-Undang Perkawinan di awal tahun 1974. Mengapakah demikian gemuruh reaksi atas sesuatu yang demikian sepele? Bukankah wajar-wajar saja ada usulan untuk mem-Baratkan konsep anak angkat, jika diingat bahwa seluruh sistem hukum nasional kita sebenarnya bertumpu pada teori hukum Barat? Bahkan tampak tidak rasional sikap untuk tetap bertahan pada pandangan Islam tentang anak angkat, kalau keseluruhan kerangka hukum nasional kita sudah mengambil kerangka hukum Barat?
Bukankah lebih masuk akal kalau semua pandangan disesuaikan kepada hukum Barat, dan hanya dilakukan penyesuaian taktis saja dari kerangka hukum Barat kepada kebutuhan lokal, seperti pemberian tempat kepada praktek adat dalam beberapa hal?
Ternyata asumsi dasar ini tidak berlaku dalam kenyataan, dan keseluruhan UU Perkawinan kita sekarang ini justru merupakan anomali bagi kerangka sistem hukum kita yang masih juga didasarkan pada asumsi-asumsi dasar hukum Barat Wawasan hukum kita secara tidak terhindarkan lagi lalu menjadi bercabang, dan sistematisasi maten hukum kita lalu menjadi balau kembali jika dilihat dari sudut pandangan asumsi-asumsi dasar yang dipakai itu sendiri. Memang masih banyak yang harus dibenahi, sebelum kita mampu mencapai tahap sistematisasi tersebut namun jelas sekali bahwa anomali-anomali seperti itu merupakan tantangan untuk menguji kemampuan kita memberikan penjelasan yang tuntas dan rasional bagi perkembangan sistem hukum kita di masa depan. Upaya di bawah ini adalah suatu percobaan untuk melakukan pemahaman seperti itu
Reaksi masyarakat waktu itu timbul dari kenyataan, bahwa hubungan darah (bahasa Arab nasab) tetap menjadi sendi utama bagi hukum waris yang kita gunakan. Kesadaran akan hal ini telah mendarahdaging begitu rupa ditempat selama sekian abad pandangan Islam tentang keluarga, yang pada dasarnya menggunakan konsep keluarga inti (nuclear family, bahasa Arab usrah) berbeda dan konsep keluarga besar (extended family, bahasa Arab asyirah) yang umumnya dipakai di ‘Dunia Timur’. Dalam konsep keluarga inti ini dibedakan secara tegas hak keluarga langsung yang tumbuh dari hubungan darah, bila dibandingkan dengan hak kerabat (bahasa Arab dzawil qurba). Urutan pertamanya adalah lini anak ke bawah dan ayah ke atas, baru saudara kandung, saudara ayah ke atas dan saudara anak ke bawah jika lini pertama memang tidak ada sama sekali. Tidak heranlah jika lalu tak ada tempat tersedia bagi anak angkat, yang sama sekali tidak memiliki hubungan darah dengan orangtua angkatnya. Hanya ada satu jalan untuk memindahkan harta kepadanya, yaitu dengan caa pemberian sebelum orang tua angkat meninggal, atau dengan cara wasiat (yang itu pun tidak boleh melebihi sepertiga jumlah harta tinggalan)
Berlakulah dalam kasus anak angkat itu sebuah nilai normatif Islam tentang pentingnya penjagaan nasab dan pelestanannya. Yang sangat menarik adalah untuk melihat, bahwa konsep keluarga yang dimiliki berbagai suku bangsa kita dari masa pra-Islam justru sangat berbeda dan konsep pelestarian nasab itu. Di lingkungan adat Minangkabau kita melihat adanya sistem keluarga besar yang disebut konsep ninik-mamak, yang bersandar pada garis keturunan matnarchaat (keluarga ibu), sedangkan berbagai adat untuk mengangkat anggota keluarga baru melalui berbagai upacara di hampir semua sistem budaya daerah kita juga memperlihatkan kecenderungan serupa kepada konsep keluarga besar. Penerimaan orang luar ke dalam sebuah marga dalam masyarakat Batak jelas sekali menampakkan konsep luwes tersebut. Yang menarik adalah kenyataan, bahwa konsep keluarga inti melalui nilai pelestarian nasab itu justru dapat berkembang demikian luas, di hadapan kenyataan bahwa adat (baik yang dihukumkan maupun yang tidak) masih menjadi corak pelestarian nilai-nilai dalam berbagai sistem budaya daerah kita hingga saat ini. Vitalitas adat kita ternyata memperoleh pihak dampingan (counterpart, bahasa Arab muqabalah) berupa nilai pelestarian nasab, yang dipertahankan dengan gigih oleh kaum Muslimin di negeri kita.
Namun, dalam perspektif historis adanya kenyataan tersebut juga menunjukkan sebuah kenyataan lain yang lebih besar nilai-nilai normatif yang dimiliki Islam juga mengalami deraan sejarah dan karenanya lalu mengalami modifikasi tidak sedikit. Tilikan ini akan membuktikan, bahwa tidak semua nilai normatif dalam Islam dapat berkembang secara kokoh, memelihara dirinya dan menjadikan dirinya aplikatif dalam kondisi masyarakat yang terus-menerus berubah Watak berbalasan (lex talionis) dari hukum agama dalam Islam, yang dikenal dengan konsep diyat, memang dapat dilestarikan sebagai nilai normatif, tetapi tidak semua bentuk rinciannya dapat diaplikasikan di zaman modern ini. Hukum potong tangan, yang notabene disebutkan secara eksplisit dalam sumber tekstual (bahasa Arab: dalil naqli) kitab suci al-Qur’an, ternyata tidak aplikatif lagi di hampir semua negeri Muslim, walaupun konsep membalas kejahatan dengan hukuman masih tetap dipertahankan Watak berbalasan itu juga tampak dalam penetapan kompensasi bagi kerugian yang diakibatkan pada orang lain. Ketentuan dasarnya adalah ‘mata diganti mata, gigi dengan gigi’, seperti disebutkan secara eksplisit oleh al-Qur’an. Bahkan kitab-kitab hukum agama berbicara tentang amputasi kaki atau tangan sebagai kompensasi atas cacat tangan atau kaki yang ditimbulkan pada orang lain. Namun, karena sumber tekstual sendiri yang menyebutkan kemungkinan kompensasi dengan harta atau uang, maka hukum agama membiarkan saja tumbuhnya jenis-jenis kompensasi yang sangat beragam, termasuk reparasi (biaya penggantian alat tubuh atau perawatan-nya).
Adakalanya modifikasi dapat dilakukan atas materi hukum agama yang sudah dikodifikasikan dan dibakukan, tetapi juga sering terjadi bahwa modifikasi tidak datang secara parsial, melainkan secara total: maten hukum agama yang bersangkutan sama sekali tidak digarap, melainkan ditinggalkan begitu saja Kasus hukum potong tangan, perajaman (dilempari batu hingga mati) bagi suami atau istri yang diputuskan melakukan perzinaan (bahasa Arab zina muhsan) dan budak di kebanyakan negeri Muslim sudah tidak berlaku lagi karena berbagai pertimbangan Hukuman yang diberikan lalu menjadi berupa hukuman kurungan. Konversi sanksi hukum juga memperlihatkan kecenderungan menurunnya kadar sanksi yang diberikan itu sendiri. Jika dahulu zina muhson dihukum dengan rajam, dus hukuman mati, maka sekarang sanksinya jauh lebih ringan, yaitu hukuman kurungan belaka. Bahkan perbudakan lalu menjadi hapus sama sekali, sesuai dengan tuntutan rasa peri kemanusiaan yang dirasakan oleh manusia modern.
Dalam perspektif perubahan materi hukum seperti inilah lalu menjadi nyata bagi kita daya tahan nilai-nilai normatif secara global. Nilai pelestarian nasab yang bersendikan konsep keluarga inti, tetap bertahan terhadap kekokohan hukum dan kebiasaan adat di negeri kita. Konsep berbalasan menemukan perwujudannya dalam prinsip kompensasi dan reparasi, prinsip tindak pidana harus diberi sanksi di lestarikan dalam bentuk hukuman kurungan dan seterusnya. Vitalitas hukum agama dalam Islam tampak begitu jelas dalam uraian di atas, menampilkan citra kokoh-nya nilai-nilai normatif dalam kehidupan kaum Muslimin. Bahkan sekarang justru muncul arus balık untuk menampilkan nilai-nilai normatif itu dalam produk hukum formal, yang dikodifikasikan dalam perundang-undangan sebagai hukum nasional, seperti kasus khalwat di Malaysia (larangan pria dan wanita bukan suami-istri untuk bersama-sama berada di satu tempat ‘tersendiri’, termasuk dalam mobil yang sama di tepi pantai).
Tak terhindarkan lagi, tentu timbul pertanyaan mengapakah modifikasi atas materi hukum agama lalu tidak dilakukan secara formal saja. Mengapakah tidak pernah diumumkan secara resmi bahwa undang-undang melarang perbudakan, hukum potong tangan dan rajam? Bukan-kah dengan demikian lalu masalahnya terselesaikan secara tuntas dan final? Bukankah ketidaksediaan melakukan hal itu menunjukkan bahwa kaum Muslimin masih mendua sikap mereka menerima perubahan dalam praktek, tetapi tidak mau melakukan formalisasi perubahan? Bukankah sikap mendua seperti itu lalu mengakibatkan situasi ketidakpastian hukum? Bukankah penerimaan atas hukum Barat hanyalah salah satu bentuk ambivalensi sikap di atas?
Hukum agama dalam Islam bersumber pada kedua sumber tekstual al-Qur’an dan Sunnah (tradisi) Nabi, konsensus (jma’) dan analogi (qiyas). Dapat juga sumber itu diringkas menjadi kedua sumber tekstual di atas, karena pada hakikatnya semua upaya mencapai konsensus dan melakukan analogi hanyalah berfungsi subordinatif kepada kedua sumber tekstual tersebut Sumber-sumber hukum tersebut berfungsi dengan cara sangat sederhana di bidang hukum melakukan kategorisasi atas semua perbuatan atau tindakan manusia Kategorisasi dilakukan dengan jalan menempatkan perbuatan atau tindakkan itu ke dalam salah satu dari lima kategori berikut wajib atau fardhu, diseyogyakan (sunnah), diperkenankan (mubah). tidak diseyogyakan (makruh) dan terlarang (haram). Dalam aliran. hukum (mazhab) Hanafi, dibedakan antara wajib dan fardhu, karena fardhu adalah keharusan yang secara eksplisit disebutkan dalam sumber tekstual dan wajib adalah keharusan yang tidak demikian Juga disisipkan satu kategori, yaitu makrub tahrim yang berarti larangan yang tidak eksplisit disebutkan dalam sumber tekstual. Kategori sisipan itu dibedakan dari haram, yaitu larangan yang berdasarkan ketentuan eksplisit dalam sumber tekstual.
Berbagai pertanyaan tentang ambivalensi kaum Muslimin dalam memperlakukan hukum agama mereka harus dijawab dengan beranjak dari kategori tindakan dan perbuatan di atas. Sesuatu yang diperkenankan (mubah), diseyogyakan atau sekedar tidak diseyogyakan saja tentu tidak memerlukan ‘penanganan’ lebih jauh Kesemuanya tergantung dari kesediaan setiap individu Muslim untuk melaksanakannya atau tidak, karena tidak ada akibat hukum atas dirinya. Berbeda halnya dengan kewajiban dan larangan, yang mau tidak mau harus diakui bersifat mengikat. Itu pun masih harus dipertimbangkan status sesuatu tindakan atau perbuatan, bila dilihat dari kewajiban atau larangan, dari sumbernya larangan atau keharusan itu bukan sesuatu yang dirumuskan dan dikehendaki manusia, melainkan sepenuhnya kehendak Tuhan. Dengan kata lain, tidak akan pernah dapat diterima oleh kaum Muslimin imbauan untuk ‘menguburkan’ perintah atau larangan Tuhan, kecuali jika ada sesuatu yang dapat dirumuskan sebagai ‘perintah Ilahi’ untuk membatal-kannya — seperti terjadi pada beberapa kasus yang secara eksplisit disebutkan oleh sumber tekstual. Minuman keras, semula hanya dinilai sebagai sesuatu tidak baik, dan akibat buruknya jauh melebihi kebaikan Status ‘netral’ dari minuman keras itu kemudian diubah sendiri oleh al-Quran, yang menampilkan larangan eksplisit Memakan bangkai juga dilarang secara eksplisit, tetapi kemudian ada perkecualian disimpulkan oleh para ahli hukum agama (fuqaha), yaitu dalam keadaan darurat karena ketiadaan makanan lain.
Hal-hal seperti perbudakan, hukuman potong tangan, rajam dan sebagainya dinyatakan secara eksplisit dalam sumber tekstual, karenanya sulit untuk dinyatakan secara formal pencabutannya oleh suatu ‘kebutuhan’ yang tidak eksplisit dinyatakan dalam sumber tekstual, sedangkan ‘kebutuhan’ itu sendiri timbul dari tuntutan penyesuaian ajaran Islam kepada keadaan yang mengalami perubahan, bukannya oleh kesimpulan yang ditarik dari pemikiran keagamaan itu sendiri. Kasusnya berbeda, misalnya dari kasus prosedur perceraian. Sumber tekstual menyebutkan perceraian terjadi manakala ucapan “Engkau kuceraikan” dikeluarkan Kebutuhan administratif untuk menata hal ini memang dimungkinkan oleh pemikiran agama, sehingga akhirnya dapat diterima adanya ketentuan undang-undang, bahwa perceraian hanya sah dan terjadi, manakala hal itu diputuskan oleh Pengadilan Agama.
Jelas tidak ada keharusan untuk menghilangkan hukum potong tangan, misalnya, kalau dilihat dari sudut pandangan formal agama semata. Karenanya, penghapusan hukum agama itu secara formal lalu menjadi tidak dilakukan. Bahwa umat manusia kemudian menganggap praktek itu bertentangan dengan rasa perikemanusiaan, adalah sesuatu yang berasal dari perasaan manusia belaka, bukannya dari agama itu sendiri. Akomodasi yang diberikan kepada kebutuhan kaum Muslimin itu dilakukan dengan membiarkan mereka menerapkan sanksi lain, selama masih berpegang pada prinsip memberlakukan hukuman sebagai penangkal bagi tindak kejahatan. Dengan cara demikian, ketentuan formal agama tidak dihapuskan, namun hanya dilakukan upaya ‘penundaan aplikasi atasnya Secara teoretis ketentuan semula memang berlaku, namun secara teknis ‘penundaan’ itu akan bersifat operatif hingga ada kebutuhan yang timbul, yang akan mengubahnya pula.
Dengan demikian, sampailah kita kepada konfigurasi baru antara nilai-nilai normatif yang dimiliki Islam dan proses reaktualisasi ajarannya di hadapan perubahan yang terus-menerus terjadi dalam kehidupan masyarakat. Reaktualisasi adalah upaya penafsiran kembali, yang memiliki validitasnya sendiri. la harus dilakukan, untuk menampung kebutuhan hidup yang terus berkembang. Perspektif yang tidak pernah sama jika dilihat dari sudut pandangan sejarah itu menuntut dari kaum Muslimin kemampuan untuk merumuskan ulang nilai-nilai normatif yang langsung dalam konteks relevansinya bagi kebutuhan hidup. Prinsip-prinsip teori hukum agama (usul fiqh) dan kaidah-kaidah hukum agama (gawa’id fiqh) akan menjaga agar proses penafsiran kembali itu tidak menyimpang dari prinsip yang terkandung dalam hal yang ingin ditafsirkan ulang statusnya itu, dan tidak bertentangan dengan maksud dan tujuan status hal itu sendiri semula.
Secara tidak kita sadari, proses itu telah menjadi ‘alami’ dalam kehidupan kaum Muslimin. Bersalaman tangan antara wanita dan pria yang bukan saudara langsung, kedua orang tua dan suami-istri, tetap saja status formalnya sebagai hal terlarang. Namun, dalam kenyataan terjadi penafsiran kembali, tanpa kita merasa kehilangan iman atau melanggar ajaran agama. Kalaupun ada yang bertahan kokoh mengaplikasikan ketentuan formal di atas, tidak berarti mereka yang mengambil cara lain melalui penafsiran kembali ketentuan agama itu sendiri lalu berkurang ke-Islam-annya’
Konfigurasi antara nilai-nilai normatif dan reaktualisasi ajaran agama akan tetap menjadi kebutuhan yang nyata, selama kaum Muslimin tetap pada pendirian untuk tidak melangkahi’ ketentuan sumber tekstual, tetapi juga tidak bersedia menarik diri dari pola kehidupan yang senantiasa berubah. Dengan kata lain, konfigurasi itu upaya menjaga kontinuitas (persambungan tradisi) di tengah. perubahan, agar tidak kehilangan akar-akar budaya dan keagamaan mereka. Dalam jangka panjang, sikap ini akan mematangkan fungsi syari’ah dalam hidup mereka Syari’ah, yang semula berarti kerangka hidup normatif dengan perwujudannya sendiri sebagai hukum formal, lalu berubah menjadi etika masyarakat yang diserahkan sepenuhnya kepada pilihan-pilihan oleh warga masyarakat la tidak berkembang menjadi hipokritas, karena pada dasarnya kemunafikan haruslah dilihat adanya pada kesengajaan untuk menggelapkan ajaran. Dalam proses reaktualisasi, yang terjadi adalah upaya penafsiran kembali yang berbeda dari satu ke lain orang di kalangan kaum Muslimin, tanpa mengubah pandangan formal masyarakat Muslimin secara keseluruhan.
Kenyataan terjadinya proses reaktualisasi dalam bentuk penafsiran ulang ajaran agama itu tentu membawakan implikasinya bagi sumber ketiga bagi hukum agama dalam Islam, yaitu ijma’ atau konsensus. Sumber ini bermula muncul dalam bentuk kesepakatan para sahabat Nabi di Madinah, dan ia tetap diartikan demikian oleh aliran hukum (mazhab) Maliki. Pendapat itu kemudian ditentang oleh Syafi’i, yang mencari bentuk lain dari konsensus yang diperlukan Metoda yang dikembangkannya adalah mempertemukan antara ketentuan eksplisit dari sumber tekstual dan analogi rasional dari manusia, cara yang kemudian dikenal dengan nama metoda istiqra’ (semi-empirik). Kenyataan tidak diabaikan, tetapi ia ditundukkan kepada sumber tekstual. Dalam perkembangan selanjutnya, ijma’ kemudian berkembang menjadi kesepakatan para ulama hukum agama (fuqaha) atas sesuatu hal, yang berlaku bagi semua kaum Muslimin dan tidak terbatas oleh waktu.
Karena ijma’ tidak dapat berdiri terlepas dari sumber tekstual, dengan sendirinya ijma’ itu sendiri justru menjadi penopang situasi status quo bagi nilai-nilai normatif yang telah mapan dalam kehidupan kaum Muslimin. Sekali tercapai kesepakatan melalui ijma’, menjadi praktis tidak mungkin lagi dilakukan penafsiran ulang yang akan menghasilkan ketentuan baru Kelestarian nilai-nilai normatif Islam lalu tercapai. Memang ada usaha terus-menerus untuk menembus ‘dinding konsensus’ itu, antara lain melalui perluasan wawasan ijma’ itu sendiri. Dimasukkanlah sejumlah pertimbangan, guna memunkinkan perluasan lingkup ijma’, dengan mengundang pertimbangan-pertimbangan ilmu pengetahuan modern, sejarah umat manusia, filsafat dan sebagainya Jika pertimbangan nontekstual dapat diterima (untuk keperluan perluasan jangkauan ijma’ itu) berarti dimungkinkan terjadinya perumusan ulang atas hal-hal yang telah disepakati sebagai konsensus oleh kaum Muslimin selama ini secara formal. Pikiran ini telah diajukan oleh mereka yang menawarkan pembaruan pemikiran keagamaan semenjak Muhammad Abduh pada awal abad ini Namun harus diakul, bahwa keinginan tersebut belum memperoleh penerimaan luas dari kalangan ulama hukum agama (fuqaha) sendiri, sehingga hasil yang dicapai juga baru berbentuk kesadaran, belum menjadi keputusan.
Selama hal itu belum tercapai, kesadaran akan perlunya pertimbangan-pertimbangan lain itu lalu berfungsi secara infiltratif, yaitu membentuk pandangan kaum Muslimin secara individual, bukannya secara kolektif. Muslimin secara satu per satu harus merumuskan pendiriannya sendiri atas hal-hal yang telah dikonsensuskan melalui ijma’ sejak berabad-abad yang lalu, seperti perbudakan, hukuman potong tangan dan sebagainya. Proses itu akan berjalan dengan sendirinya, karena kesadaran bersama akan perlunya perubahan sikap dan pandangan telah tersebar di kalangan cukup luas, yang dalam hakikatnya juga tidak merasakan ketergantungan kepada para ahli hukum agama (fuqaha). Dengan ungkapan lain, jika terjadi penafsiran ulang atas ketentuan-ketentuan normatif dan diambil pandangan baru, maka yang terjadi bukanlah hilangnya relevansi hukum agama, melainkan pudarnya pengaruh ahli hukum agama (fuqaha).
Terjadinya proses penafsiran ulang, dan sebagai konsekuensinya perubahan ketentuan, hal-hal yang telah diterima sebagai konsensus itu menunjukkan vitalitas nilai-nilai normatif Islam. Tidak mudah dilakukan perubahan atasnya, tetapi tetap tidak tertutup kemungkinan bagi perubahan. Rintisan perumusan kembali ketentuan yang telah ada merupakan proses dinamisasi hukum agama, dan pada esensi inilah seharusnya hukum agama berkembang menjadi Hukum Islam, sebuah sistem hukum yang melayani kehidupan manusia dan mengarahkannya dalam sebuah proses yang boleh dikata tidak akan pernah terhenti. Dari sudut pandangan inilah patut dipuji karsa menerbitkan kompendium berupa hukum-hukum agama (fiqh) yang telah menjadi konsensus bersama para ulama selama berabad-abad
la merupakan kaca pembanding, dan akar kesadaran yang menghunjam kuat dalam benak kita, bagi proses yang kita lakukan dalam diri kita masing-masing untuk melakukan reaktualisasi ajaran Islam Semogalah demikian adanya.
Amin