Nasional, Tetapi Khas
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Rumah makan Delima adalah warung sederhana, terletak di ujung jalan Kenari, bilangan Salemba di Jakarta. Walaupun bentuk fisiknya sangat sederhana, tetapi ia punya reputasi tersendiri. Menurut ‘orang sono-nya’ yang berkelas kakap, Surya Paloh, warung itu menyajikan masakan aceh paling top di Jakarta. Masakan tulen aceh, seperti gulai kepala ikannya, memang terasa yahud.
Namun, yang menarik perhatian penulis adalah rumusannya, bukan resep dan bumbunya. Dalam kartu nama rumah makan itu disebutkan bahwa yang disajikan adalah ‘Masakan Nasional Khas Aceh’. Sebuah rumusan jatidiri yang patut kita jadikan bahan renungan.
Klaim sebagai ‘Masakan Nasional’ bagi masakan daerah, memang terdengar aneh. Tidak sama dengan masakan Jawa atau Sunda apalagi masakan Irian Jaya! Tokh diajukan sebagai masakan nasional. Mengapa? Karena memang tidak ada sesuatu yang baku yang dapat disebut nasional dalam arti milik semua daerah. Yang bersifat kedaerahan, dapat diajukan sebagai sesuatu yang nasional.
Dalam acuan cara berpikir seperti itu, sesuatu yang spesifik bagi sebuah daerah dapat digeneralisasikan menjadi sesuatu yang nasional. Bukan melalui pemaksaan, melainkan melalui penyerapan. Yang spesifik ke daerah itu oleh situasi yang berlingkup nasional. Bagaimanapun, masakan Aceh merupakan salah satu unsur atau penampilan dari masakan yang dikenal di Indonesia. Unsur, ditransformasikan menjadi entitas utuh.
Kasus dan kawasan ‘Serambi Mekah’ itu merupakan pelajaran berharga bagi perkembangan kehidupan beragama kaum muslimin di negeri kita. Pelajaran, bahwa agama Islam tidak harus ditawarkan sebagai alternatif terhadap yang berwawasan kebangsaan, melainkan justru ditampilkan sebagai sesuatu yang ‘nasional’.
Memang tidak mudah menyajikan ajaran Islam sebagai sesuatu yang ‘nasional’, karena universitas Islam sendiri sebagai agama, dengan tuntutan-tuntutannya sendiri. Namun, proses ‘penasionalan’ ajaran Islam telah berjalan cukup lama, tanpa menunggu dirumuskan terlebih dahulu. Semua orang, sudah menggunakan ucapan ‘Assalamu’alaikum’, tanpa pandang bulu. Orang sudah tidak merokok di kantor dalam bulan ramadhan, termasuk yang tidak berpuasa. Dan demikian seterusnya.
Nah yang menggembirakan, semua ajaran Islam yang menjadi ‘milik nasional’ itu semua ternyata tidak kehilangan identitasnya semula. Ia tetap pada fungsi sebagai norma agama, disamping ‘kebiasaan umum’. Kita bisa meminjam istilah rumah makan Delima dengan masakan nasionalnya yang khas aceh dalam hal ini. Ungkapan alhamdulillah, sebagai contoh, sudah menjadi milik nasional, tetapi tetap khas Islam. Indah, bukan?