Kebersamaan dalam Menanggulangi Kemiskinan: Sebuah Perspektif Islam
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Seperti halnya agama-agama lain, Islam sebagai agama sejak semula telah mengembangkan wawasan kemiskinan dan penanggulangannya. Seperti juga halnya dengan ungkapan agama-agama lain, ungkapan kitab suci Al-Qur’an tentang masalah ini sepintas lalu tampak hanya bersifat filantrofis belaka. Kemiskinan diungkapkan dengan cara yang dipahami manusia waktu itu, yaitu sebagai nasib pemberian Tuhan. Dengan kata lain, kemiskinan adalah bagian integral dari kehidupan, yang harus diterima secara apa adanya. Upaya penanggulangannya dilakukan dengan cara memberikan pertolongan kepada si miskin, agar ia tetap dapat mempertahankan kehidupannya. Tentunya dengan andaian bahwa ia akan tetap miskin, sampai ada nasib baik yang akan mengangkatnya dari keadaan itu. Pendekatan yang dilakukan terhadap masalah kemiskinan adalah pendekatan karitatif belaka.
Padahal, jika diperhatikan dengan lebih serius, ajakan Al-Qur’an kepada penanggulangan masalah kemiskinan itu sebenarnya jauh lebih kompleks, tidak sederhana gambaran pendekatan karitatif tersebut. Pertama, teks utama Al-Qur’an dan hadith Nabi Muhammad saw. Jelas menampilkan sosok kebaikan adanya pada mereka yang dapat menghidupi diri sendiri dan keluarga yang ditanggung. Dengan demikian, ukuran rata- rata (median yardstick) untuk mengukur kebaikan hidup adalah ukuran kecukupan (sufficiency). Menarik adalah sebuah riwayat yang mengungkapkan kata-kata Nabi Muhammad: ‘Sebaik-baik orang adalah yang menerima hidayah (petunjuk iman) dan hidupnya serba berkecukupan’.
Kedua, sabda Nabi Muhammad juga, yang menyebutkan ‘Tangan di atas (yang memberi) lebih baik dari tangan yang menengadah (menunggu pemberian)’ Sabda beliau ini jelas menunjuk kepada pandangan yang memberi arti lebih kepada keadaan berkecukupan. Implikasi langsung dari pandangan ini adalah dorongan kepada mereka yang miskin untuk meningkatkan diri, sehingga dapat mencapai tingkat hidup (living standard) serba berkecukupan itu. Pengertian nasib dalam hal ini harus diartikan keharusan menerima ketentuan Tuhan jika seluruh daya dan semua upaya telah dilakukan, dan hasilnya tetap belum seperti yang diinginkan. Sikap yang dalam doktrin tasawwuf (mistik Islam) dinamai al-qanna’ah. Doktrin yang menempatkan manusia sebagai subyek kehidupan, yang memiliki kedaulatan penuh untuk berikhtiar, namun yang harus menyadari subyek lain yang jauh melebihi kemampuannya sebagai makhluq. Hal ketiga, yang menunjukkan pandangan kompleks yang dimiliki Islam atas masalah kemiskinan, adalah visi pemerataan yang dikandung oleh Al-Qur’an. Allah berfirman: “Harta yang dilimpahkan Allah kepada Utusan-Nya haruslah digunakan untuk (kepentingan) Allah, perjuangan Utusan itu, sanak keluarga yang memerlukan, anak-anak yatim, kebutuhan orang-orang miskin dan para peziarah/pejalan, agar Harta (Kolektif) itu tidak berputar di kalangan orang-orang kaya di antara kalian (kaum muslimin) belaka.” Jelas watak pemerataan hasil upaya kolektif mengatur kehidupan yang dituntut dari masyarakat. Terpampang jelas dalam ungkapan tersebut wawasan kesejahteraan masyarakat (social welfare) yang diingini Islam. Wawasan kesejahteraan masyarakat yang mementingkan keadaaan serba berkecukupan bagi para warga masyarakat, dengan tidak mematikan inisiatif dan kreatifvitas individual masing-masing warga.
Dalam konteks inilah seharusnya difahami firman Allah yang merumuskan tugas Nabi Muhammad dengan ungkapan berikut: “Tiadalah Ku-utus engkau, wahai Muhammad, kecuali untuk membawa rahmat bagi seluruh ummat manusia.” Dan dalam konteks ini pula harus difahami semangat firman Allah yang berbunyi: Raihlah dari apa yang diberikan kepadamu di hari akhirat kelak, (tetapi) jangan lupa akan bagianmu di dunia ini.” Upaya merebut nasib, bukan hanya sekedar menerimanya, adalah semangat dari pandangan Islam tentang masalah kemiskinan, sepanjang yang dapat ditelusuri dalam teks-teks utama Islam sendiri. Namun, dalam kenyataan justru hal itulah yang tidak dilakukan kaum muslimin. Mereka menjadi kaum papa dan miskin dalam masyarakatnya sendiri, terlihat oleh kebodohan, keterbelakangan dan keterasingan dari perkembangan keadaan di sekitar mereka. Apakah yang menyebabkan terjadinya kesenjangan demikian lebar antara cita Islam dan kenyataan sebenarnya? Inilah masalah yang terlebih dahulu harus dijawab, sebelum dapat dirumuskan apa upaya yang harus dilakukan oleh kaum muslimin untuk menanggulangi kemiskinan di kalangan mereka sendiri.
Sebab utama dari terjadinya kesenjangan demikian besar antara cita (ideal) Islam dan kenyataan yang ada dapat dilihat pada proses pelembagaan agama tersebut. Setiap agama memiliki pola pelembagaan ajaran-ajaran agama menjadi sejumlah lembaga dan pranata, seperti gereja di kalangan kaum Kristiani. Dalam kasus agama Islam, proses pelembagaan itu akhirnya berujung pada penekanan berlebih pada sikap legal-formalistik dalam pengaturan hidup. Legal-formalisme itu bertumpu pada hukum agama (fiqh) dan skolastisisme yang sangat kaku. Ketundukan penuh kepada hukum agama dan pemahaman akan adanya Tuhan secara skolastik (tauhid atau ilmu kalam) itulah memberikan corak tersendiri pada pemikiran keagamaan kaum muslimin selama hampir seribu tahun terakhir ini.
Akibatnya tidak sulit diduga. Penekanan berlebih pada sisi legal-formalistik memerlukan proses pengundangan (legislasi) ajaran agama, yang tentunya memerlukan alat untuk memberlakukan hasil proses legislasi tersebut. Dengan kata lain, penekanan berlebih pada sisi legal-formalistik lalu membawa Islam kepada sikap sangat ideologis dalam pengaturan masyarakat. Dalam situasi seperti itu, dengan sendirinya sangat sempit tersedia ruang gerak bagi refleksi komtemplatif yang mengembangkan arti manusia sebagai subyek kehidupan. Setiap pengaturan masyarakat secara terlembagakan senantiasa cenderung untuk memperlakukan manusia sebagai obyek kehidupan. Dan bermula pada sikap memperlakukan manusia sebagai obyek itulah sebenarnya akar kemiskinan menghujam dalam-dalam di lingkungan kaum muslimin.
Penekanan berlebih pada sisi legal-formalistik dari pengaturan kehidupan bermasyarakat kaum muslimin itu lebih jauh menyebabkan luasnya lingkup kemiskinan yang diderita kaum muslimin, setelah muncul kecenderungan lain sebagai imbangan atas legal-formalisme itu sendiri. Kecenderungan pengimbang itu terlihat pada munculnya tasawwuf (Sufisme, dalam bahasa-bahasa Barat). Tasawwuf adalah spiritualitas mistik yang dimanifestasikan dalam pola ritualistik, sehingga semakin menjauhkan kaum muslimin dari pemecahan hakiki atas masalah kemiskinan. MIstisisme ritualistik justru cenderung mengajak manusia melupakan kesulitan, bukannya memecahkannya.
Gabungan dari sikap legal-formalistik dalam pengaturan kehidupan bermasyarakat, diimbangi di sisi lain oleh spiritualitas sangat ritualistik, dalam jangka panjang menyebabkan perhatian kaum muslimin terpaling dari masalah dasar yang dihadapi ummat manusia: Bagaimana memelihara dan meningkatkan martabat manusia itu sendiri? Pertanyaan filosofis yang tidak dapat dijawab oleh para pemikir agama di kalangan kaum muslimin, karena filsafat sebagai wahana pencarian jawaban, lambat-laut mengalami kemandulan dalam batang tubuh Islam sendiri (kecuali di lingkungan kaum Syi’ah). Filsafat memang tidak dapat tumbuh subur dalam pola pengaturan masyarakat secara legal-formalistik, seperti selalu terbukti dalam sejarah. Sedangkan filsafat itulah yang justru mendalami hakikat manusia sebagai subyek kehidupan, bukan obyek yang bersikap pasif saja.
Tidak heranlah jika ‘teori-teori sosial’ yang diajukan kaum pemikir muslimin cenderung untuk menghindar dari inti permasalahan yang dihadapi, yaitu bagaimana mendudukkan manusia sebagai individu dalam kaitannya dengan masyarakat dimana ia tinggal? Hanya dari filsafat akan muncul asketisme reflektif yang sanggup melakukan kontemplasi semacam itu, dan jelas asketisme ritualistik dari Sufisme tidak mampu melakukannya hingga saat ini.
Pengamatan di atas lalu membawakan kepada kita, dan tantangan khususnya bagi para cendekiawan muslimin, akan pentingnya arti penataan kembali sikap-sikap dasar Islam terhadap kehidupan. Ini tidak berarti keseluruhan hukum agama yang melandasi sikap legal-formalistik, melainkan hukum agama itu sendiri perlu didudukkan pada posisi etika masyarakat bagi sisi-sisinya yang tidak diundangkan oleh masyarakat. Demikian pula, faham ketuhanan yang dikandung oleh skolastisisme Islam perlu dikembangkan lebih jauh, sehingga mencakup perluasan spektrum ikhtiar manusia dalam memperjuangkan nasib dalam kehidupan dunia ini. Sedangkan tasawwuf sendiri sebenarnya dapat diarahkan kepada keprihatinan lebih mendunia dan diminta menjadi pendorong munculnya solidaritas sosial yang membawakan transformasi kehidupan masyarakat itu sendiri.
Tugas mengembangkan fungsionalisasi baru bagi ketiga sisi kehidupan beragam ummat Islam itu bukanlah tugas yang ringan. Kaum muslimin harus diajak terus-menerus untuk memulai upaya refungsionalisasi kehidupan beragama mereka. Jika kesadaran itu telah muncul, jelas sekali bahwa banyak yang harus dipelajari, difahami kembali dan dikembangkan lebih jauh. Kaum muslimin dapat belajar dari kalangan ummat beragama lain, yang juga tengah dilanda masalah kemiskinan dan penanggungnya. Dari upaya saling belajar itu akan muncul kemampuan melakukan upaya penanggulangan secara bersama-sama pula, tanpa mengganggu independensi masing-masing. Dan dialog-dialog semacam inilah yang patut dijadikan titik tolak untuk mencari kebersamaan dalam menanggulangi masalah kemiskinan, yang terkait dengan upaya menata kembali struktur masyarakat, menegakkan kedaulatan hukum, mengembangkan kemampuan menyatakan pendapat dengan bebas dan demokratisasi kehidupan masyarakat sebagai proses gradual tetapi menetap.