Dialektika Islam, Adat dan Kebangsaan dalam Tradisi Minang
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Tidak dapat disangkal tradisi intelektual Minangkabau memegang peranan sangat penting dalam kehidupan bangsa kita selama paruh pertama abad ini. Hal itu dapat dilihat dalam sumbangan yang diberikan para budayawan, cendekiawan dan pemikir yang berasal dari ranah Minang dalam hampir semua bidang kehidupan. Hadirnya sastra prosa Indonesia modern ditandai oleh roman Siti Nurbaya. Bentuk pantun dalam puisi kita mengalami kematangan di tangan para penyair Minang. Pemikiran filosofis kita banyak dipengaruhi oleh perdebatan dan pertukaran pikiran para penulis esei dari daerah tersebut. Demikian pula pemikiran ideologis dari berbagai orientasi, dari yang islamistik seperti dikembangkan M. Natsir hingga yang sosialis dari Syahrir dan kerakyatan dan Tan Malaka, jelas merupakan alur-alur yang dirambah orang-orang Minang.
Namun, di balik kenyataan itu kita tergoda juga untuk mempertanyakan sisi mana yang spesifik dari karya-karya mereka yang dapat dianggap mewakili “watak ke-Minangkabau-an”? Bukankah sama saja dengan sumbangan masif yang diberikan para pemikir dan penulis kita dan Flores dewasa ini, yang lebih berwatak nasional daripada bersifat kedaerahan?
Manakah ukuran yang dapat dipakai untuk membedakan antara yang nasional” dan “yang Minang”? Jawabnya sebenarnya tidak sulit dan sudah terpampang sangat jelas dalam karya-karya itu sendiri. Siti Nurbaya tidak hanya menggambarkan pergulatan nilai antara yang lama dan yang baru secara universal belaka, melainkan justru menempatkan pertentangan itu dalam situasi yang khas “Minang”: ketegaran (dan sekaligus kesempitan) adat sebagai pengatur kehidupan suku bangsa tersebut. Bukan adat dalam arti kebiasaan yang umum berlaku di mana-mana, tetapi adat yang khusus berlaku bagi orang Minang. Juga pantun dan syair modern yang dihasilkan di kawasan itu, bukan hanya sekedar memelihara keseimbangan ungkapan puitis saja, melainkan menyajikan latar belakang geografis, historis dan mitologis orang Minang. Hal itu berbeda dari persembahan para pemikir dan penulis Flores dewasa ini, yang lebih menekankan deskripsi situasi yang dapat digeneralisasikan bagi semua suku bangsa di negeri kita. Karya-karya itu berbicara tentang manusia secara umum, sedangkan manifestasi karya para pemikir dan penulis Minang yang sarat dengan warna kedaerahan mereka.
Sebagai contoh adalah karya AA. Navis, Robohnya Surau Kami. Cerpen panjang itu berbicara tentang kondisi konkret manusia Minang yang terlalu berpandangan ukhrawi dengan melupakan duniawi. Padahal tema itu juga dapat diberlakukan untuk manusia daerah-daerah lain di negeri kita. Pengungkapan tema umum dalam deskripsi kondisi konkret manusia Minang itu adalah sesuatu yang tak dapat disangkal memberikan “warna Minang” yang tersendiri. Seperti juga Si Dul Anak Betawi adalah sesuatu yang khas Jakarta, walaupun dilandasi tema kenakalan jenaka umum terdapat di seluruh dunia, seperti dapat dilihat dalam Tom Sawyer dan Huckleberry Finn dari Mark Twain.
“Warna khas Minang” itu muncul dan pergulatan manusia daerah tersebut untuk meleraikan pertentangan antara adat dan Islam di satu pihak, dan antara adat dan kehidupan modern di pihak lain. Kesenjangan ganda antara adat di satu pihak dan Islam Minang untuk menjelajahi ruang-ruang pemikiran di luar lingkungan orang Minang sendiri. Penghadapan faktor-faktor yang mengalami kesenjangan kepada hasil penjelajahan ke luar itulah yang melahirkan situasi khas tersebut. Mungkin gejala ini berkembang seperti gejala kekhususan karya-karya budaya dan pemikiran bangsa Jepang dan Yahudi. Situasi khusus mereka tampil dalam bentuk demikian konkret dan akut, sehingga tidak bisa dipungkiri kuatnya “warna lokal” yang dimiliki keduanya.
Adat sebagai kekuatan pengikat yang timbul dari masyarakat matriarchal Minang, sebenarnya adalah pengganti dari vacuum kekuasaan yang kuat. Sebagai daerah yang tidak memiliki kerajaan besar, karena tidak dapat mengembangkan sistem kerajaan agraris yang sangat kompleks stratifikasi sosialnya ataupun kerajaan niaga yang kuat oligarchinya (seperti Sriwijaya di Sumatera Selatan), ranah Minang diperintah oleh ketundukan mutlak kepada adat dan kesepakatan total untuk memberlakukannya sebagai hukum positif. Karenanya ketika Islam datang dengan membawa stelsel pengaturan masyarakat yang baru, tak terhindarkan lagi lalu terjadi konflik fisik antara keduanya. Konflik itu menjadi sesuatu yang intens dan berlangsung sangat lama, antara “kaum adat” dan “kaum Padri” dan berpuncak pada Perang Padri yang berlangsung enam belas tahun. Menurut Taufik Abdullah, sebab utama dan lamanya konflik berlangsung adalah karena tidak ada kekuasaan pusat yang kuat untuk melerainya, baru ketika pasukan Belanda mampu mengalahkan dan menangkap Tuanku Imam Bonjol, konflik berkepanjangan itu diselesaikan dalam arti definitif munculnya referensi keagamaan Islam sebagai penentu dalam kehidupan masyarakat Minangkabau. Ungkapan “adat bersendi syara’ dan syara’ bersendi Kitabullah” melambangkan akhir penyelesaian konflik tersebut. Namun, masalah tersebut sebenarnya belum terselesaikan secara tuntas. Kekuasaan ninik mamak dalam pembagian pusaka dan harta warisan, dalam penentuan jodoh dan dalam jalannya kehidupan masyarakat masih cukup merupakan titik-titik sengketa. Apapula ketika hal yang sama menjadi titik sengketa tidak hanya antara Islam dan adat, tetapi juga antara Islam dan adat di satu pihak melawan arus baru yang dibawa kehidupan modern. Titik-titik sengketa kedua inilah yang melahirkan “warna khas Minang” dalam sastra kita pada paroh pertama abad ini. Siti Nurbaya, Salah Asuhan, Layar Terkembang, Di Bawah Lindungan Ka’bah dan Tenggelamnya Kapal Van der Wijk adalah sebagian dari karya-karya “hasil” proses dialog antara tradisi (mewakili Islam dan adat) dan kemajuan (mewakili pemikiran modern). Penyebaran orang Minang ke seluruh Nusantara dan berkembangnya komunitas Minang di rantau menambahkan intensitasnya sendiri pada proses di atas karena menjadi lebih terasa kebutuhan untuk merumuskan “warna Minang” dalam identitas komunitas-komunitas tersebut.
Dengan melihat pada perkembangan kesejahteraan seperti itu lalu menjadi jelas mengapa “warna Minang” itu sangat menonjol dalam karya-karya para budayawan, seniman dan pemikir yang berasal dari suku bangsa tersebut. Karya-karya para penulis dan pemikir Jawa dan Aceh waktu itu masih terlalu banyak berorientasi kepada upaya merumuskan kebesaran masa lampau di daerah masing-masing. Sedangkan sastra dan pemikiran budaya daerah-daerah lain bahkan masih belum sepenuhnya muncul ke permukaan di pentas nasional waktu itu. Hanya karya-karya orang Minang sajalah yang berada posisi berhadapan dengan tantangan modernisasi yang berasal dari universalitas peradaban Barat. Tidak heran jika para pemikir dan cendekiawan Minang lalu segera menguasai arena dan memimpin dialog masif dengan proses Westernisasi.
Munculnya para pemikir yang bersedia menerima kemanusiaan (humanitas) universal yang ditawarkan peradaban Barat itu, seperti terlihat pada Sutan Syahrir dan Sutan Takdir Alisyahbana, dan kemudian Usmar Ismail, Rosihan Anwar, Asrul Sani dan seterusnya, memunculkan vitalitas budaya daerah dan masyarakat Minang, karena mereka mampu melakukan penyaringan yang baik atas materi peradaban Barat yang masuk kemari. Tetapi justru karena itu pula “warna Minang” sedikit demi sedikit lalu lenyap, untuk digantikan oleh “warna nasional” yang menyamakan sumbangan budaya daerah Minangkabau dengan apa yang dihasilkan oleh budaya daerah-daerah lain. Saat ini, praktis sangat sulit untuk melihat kekhasan sumbangan para pemikir, budayawan, seniman dan cendekiawan Minang, karena sudah larut dalam “kenasionalan” sumbangan mereka kepada budaya bangsa.
Patutkah hal itu disesali? Bukankah begitu banyak para pemikir dan cendekiawan Minang tersebar di seluruh penjuru tanah air, tetapi justru sangat sedikit hasil yang mereka tampakkan sebagai “budaya awak”? Sudah cukup puaskah orang Minang sebagai unsur kehidupan bangsa, di samping unsur-unsur daerah lain, tanpa menampilkan “kekhasan” mereka sendiri? Kecenderungan “nasionalisasi” budaya dan tradisi intelektual Minang itu kini semakin diperkuat oleh gejala “pencarian universalitas” dalam proses mengislamkan kehidupan di tanah air kita dewasa ini. Proses memahami kehidupan dari sudut pandang agama Islam itu lebih menenggelamkan “warna Minang” dalam kebersamaan dengan “warna-warna kedaerahan” yang lain. Islam berjalan seiring dengan adat, dan kini keduanya bersama-sama menempuh dialog yang sangat intens dengan Westernisasi dan proses sekularisasi.
Jika dilihat dari alur perkembangan seperti itu, budaya daerah Minang akan tetap memberikan sumbangan besar bagi kehidupan bangsa, karena ia tetap berfungsi dialogis dengan proses modernisasi, yang di negeri kita saat ini masih lebih banyak mengambil bentuk pembaratan (Westernisasi). Dari proses itu akan lahir wawasan budaya bangsa yang baru di masa depan. Akan besar peranan tradisi intelektual Minangkabau dalam proses tersebut, tetapi justru “warna Minang” akan lebih larut lagi terserap oleh gejala-gejala yang berkecukupan seluruh bangsa itu. Cukup membanggakan, tetapi cukup mencemaskan juga, bukan?