Lebih Jauh dengan K.H. Abdurrahman Wahid (Wawancara)
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Susah betul “menangkap” tokoh yang satu ini. Hari-harinya selalu padat diisi kunjungan ke daerah, ke luar negeri, menerima tamu, menerima wawancara, mengisi seminar, dan masih banyak lagi. Tengok saja ruang tamu PBNU di Kramat Raya Jakarta. Setiap hari puluhan tamu antri sejak pagi untuk menemuinya. Malah tak jarang di antara mereka hanya sekadar ingin bersalaman dengan dirinya.
Belakangan ini kerepotan K.H. Abdurrahman Wahid yang akrab dipanggil Gus Dur, makin menjadi. Muktamar NU ke-29 yang akan digelar di Cipasung, Tasikmalaya, hanya tinggal beberapa hari lagi. Dan yang bikin ramai, Gus Dur menyatakan siap maju kembali kalau dipilih- memimpin Tanfidziyah NU. Hal ini kontan menmbulkan “kasak-kusuk” polidk di kalangan intern NU maupun non-NU.
Maklumlah tahun lalu Gus Dur beberapa kali melontarkan pernyataan ia akan mundur dari panggung Tanfidziyah. Tapi, janji itu beberapa waktu lalu diralatnya karena ada persoalan “mendesak”. “Kalau saya tidak maju dan tokoh-tokoh politik yang naik, maka akan terjadi friksi dengan Syuriah,” katanya. Situasi pun semakin hangat, karena konon, pihak eksternal kurang sreg dengan sikap Gus Dur yang sering di cap mbalelo dan kontroversial.
Toh, dukungan bagi kiai yang sering kedapatan terkantuk-kantukdalam berbagai acara resmi itu, tampaknya sulit dibendung. Baru-baru ini puluhan ribu warga NU yang melakukan Tablig Akbar diSurabaya tegas menyatakan dukungan baginya. Apalagi kalangan ABRI dan Pemerintah belakangan ini secara berturut-turut melontarkan pernyataan yang bernada netral, yang oleh sebagian kalangan diterjemahkan sebagai “lampu hijau” bag Gus Dur untuk jalan terus.
Namun banyak kerikil menghadang. Yang paling hangat tentu saja menyangkut kepergiannya ke Israel. Meskipun rapat pleno PBNU sudah memutuskan persoalan Gus Dur ke Israel dianggap selesai, namun masih banyak pihak yang terus mempersoalkannya. Alhasil, Gus Dur cukup dibuat repot oleh telpon gelap, surat kaleng, ancaman bahkan fitnah.
“Tadi pagi rumah saya diteror tilpun gelap sampai tiga kali. Katanya sih saya mau dibunuh. Terus anak saya bilang pada yang menilpun, kalau gitu cepetan saja datang ke sini, sekalian rumput di depan rumah udah tinggi nih. Nekat juga anak saya ini,’ ‘Kata Gus Dur kalem.
Namun dibalik berbagai pernyataan yang kontroversial, tak bisa dipungkiri ia merupakan tokoh yang dikagumi, termasuk oleh dunia internasional. Dia adalah satu dari sedikit orang Indonesia yang rajin diundang memberikan ceramah di berbagai universitas terkemuka di mancanegara. Tanggal 10 November lalu ia diangkat menjadi salah satu Presiden Konferensi Dunia tentang Agama dan Perdamaian. Bulan Agustus tahun lalu ia memperoleh penghargaan Ramon Magsaysay di Manila karena keterlibatannya yang besar dalam upaya menumbuhkan toleransi beragama di Indonesia.
Cucu K.H. Hasyim Asy’ary yang berkaca mata tebal Ini, juga memiliki selera tinggi dalam soal buku dan musik. Ia dengan mudah bisa membedakan antara musik Beethoven, Mozart maupun Haydn. Di ruang kantornya yang sumpek oleh tumpukan kertas dan buku, puluhan compact disc musik klasik terjejer rapi.
Menurut almarhum ibundanya, Ny. Solechah Wahid Hasyim, kegemaran Gus Dur akan kesenian itu diwarisi dari ayahandanya, K.H. Wahid Hasyim, termasuk juga pemikiran-pemikiran jangka Panjangnya “saya tahu betul anak saya, dia memang suka berpikir lebih jauh dan yang dipikir orang Iain, itu persis seperu bapaknya”. kata almarhumah.
Gus Dur menikahi Siti Nuriyah tahun 1968, kini memiliki empat orang anak.
Berikut refleksi pemikiran Gus Dur mengenal wajah NU di masa depan, termasuk benturan-benturan yang mungkin dihadapi dan harapan-harapan yang menyertainya.
Seperti apa kira-kira wajah NU 10-15 tahun mendatang. Dan dilema seperti apa yang akan dihadapi organisasi ini?
Saya rasa yang akan muncul adalah tiga macam corak. Pertama, corak kiai fikih yang sudah dirangsang pikiran modem. Contohnya, kiai-kiai muda seperti Ishomuddin (Direktur Tsanawiyah Pondok Pesantren Tebuireng yang disebut-sebut Gus Dur sebagai calon pengganti K.H. Yusuf Hasyim kelak, red.). Dari mereka itu akan muncul kerangka bagaimana memandang masalah. Contohnya, merekalah yang mempersiapkan apa yang dikeluarkan Kiai Ma’ruf Amin baru-baru ini tentang model maslahat (kepentingan umum). Istinbat (cara-cara untuk mengambil hukum). Salah satu pembahasan mereka yang menarik sekitar tiga tahun lalu adalah tentang fikih dan lembaga perwakilan rakyat. Itu ‘kan sulit. Wong Fikih itu mengandalkan bahwa hukum-hukum agama menjadi patokan umat, sementara pada saat yang sama UU negara dibuat Oleh lembaga perwakilan rakyat. Lantas bagaimana? Bagi yang memiliki tata negara Islam, sudah jelas. Tapi di Indonesia ‘kan bisa karena DPR lepas dari ulama. Nah, merekalah yang memikirkan itu.
Corak kedua adalah unsur LSM, seperti pemikiran Masdar Farid Mas’udi. Agama dikaitkan dengan transformasi dan bukan dengan hukum agama. Agama dalam arti sistem kepercayaan, harus mengacu pada struktur masyarakat yang adil dan demokratis.
Jenis ketiga, anggap saja gado-gado. Di situ ada kaum pedagang, pegawai negeri, politisi, non-LSM dan non kiai fikih. Mereka muncul karena pengabdian di NU.
Ketiga model inilah yang akan melakukan dialog dalam NU sehingga 10 tahun mendatang NU lebih banyak mengacu pada kerja sosial. Jadi wajahnya adalah pekerja sosial yang sudah memiliki wawasan transformatif, tapi pada saat yang sama mereka selalu harus berkutat atau mendapat legitimasi dari kelompok fikih.
Yang akan ngambang terus adalah kelompok ketiga, karena mereka sifatnya kepentingan. Yang jelas soal administratif dan juga soal penggalangan massa, di tangan mereka nantinya. Konsekuensinya, kiai-kiai yang non-fikih dan fikih yang tidak memiliki kerangka makro, sulit survive di NU. Ini tantangannya bagi NU. Itu dilema NU masa depan.
Kelompok mana yang akan Iebih dominan nantinya?
Saya rasa tetap yang pertama, karena bagaimanapun juga pesantren ‘kan terus memproduksi kiai dan mereka dirangsang terus oleh perkembangan zaman.
Mungkinkah akar kepesantrenan menjadi luntur?
Saya rasa justru akan semakin kokoh karena pesantren akan mengalami transformasi, secara diam-diam mengalami perluasan cakupan. Kalau dulu pesantren cuma ilmu agama semata, sekarang bisa menjadi lembaga pendidikan non-agama. Dengan kata Iain dimodernisir, dikombinasi dengan sekolah. Ini akan memunculkan kembali di masa yang akan datang pondok-pondok takhasus (profesional). Untuk mereka yang selesai sekolah sampai tingkat SI, dan S2-nya ingin memperdalam agama ya harus ngaji pada kiai lagi sehingga beberapa pondok yang kiainya ampuh-ampuh kelak akan menjadi pusat-pusat S2.
Dengan pergeseran seperti itu, apa perlu ada restrukturisasi di tubuh NU?
Nggak, saya rasa NU akan terus begini. Cuma, problem pokoknya dari dulu ‘kan cuma satu, bagaimana cara supaya Tanfidziyah bisa dibawahi Syuriah. Sebetulnya hal itu sudah bisa dimulai pada periode ini. (Gus Dur kemudian menyebut munculnya sebuah nama Yang menurut Gus Dur banyak yang mengkhawatirkan bila tokoh itu menjadi Rais Am lalu ketua Tanfidziyah dipilih, ditakutkan akan ada campur pihak luar, red). Dengan kata Iain, penataan agar Syuriah bisa mengatasi Tanfidziyah harus menunggu sampai tuntasnya pemagaran terhadap politisi.
Apa tidak mungkin pemagaran terhadap politisi akan terus menerus berlangsung dalam tubuh NU?
Saya rasa tidak, karena saat ini alasannya adalah tidak ada figur Syuriah yang dapat mengatasi Tanfidziyah. Praktis cuma Kiai Sahal di pengurus sekarang yang berwawasan makro. Namun, belakangan ini di wilayah sudah terjadi perkembangan. Di Jawa tengah misalnya katibnya bergelar MA dari Amerika.
Lima tahun mendatang, dengan masuknya orang-orang semacam Pak Tolchah, juga Nachrowi Abdussalam yang bergelar doktor dengan tiga MA, maka Syuriah akan dominan. Nah, di tambah dengan kawan-kawan para kiai muda, maka PB tidak perlu dipagari lagi karena orang politik sudah kalah kredibilitas. Kata-kanlah sekarang ini apakah Kiai Sahal Mahfudz atau Kiai Ilyas Ruchiat yang jadi Rais Am otomatis untuk lima tahun lagi ya tetap mereka. Kiai politik sudah tidak bisa masuk. Jadi pagar itu hanya untuk sekarang ini.
Jadi itu sebabnya jabatan Ketua Tanfidziyah periode ini menjadi demikian strategis?
Iya. Ketua umum jadi rebutan, antara yang mau menghapus dengan yang mau mempertahankan, ha…..ha…..ha…
Lantas peran NU akan bergeser seperti apa?
Banyak sekali bergesernya. Pertama, dia akan lebih aktif sebagai pengambil prakarsa, kalau sekarang sifatnya lebih reaktif, seperti menanggapi soal sekolah lima hari. Saat ini para kiai muda sedang menyiapkan konsep maslahat.
Dalam lima tahun ke depan –kalau tool-nya sudah ada, mereka akan langsung bekerja. Pada saat yang bersamaan mereka yang berasal dari LSM akan memberi konfribusi dalam bentuk pengembangan wawasan kemasyarakatan yang lebih utuh. Sekarang ini gayanya masih utopis. Mungkin saja nanti akan terjadi perbenturan, tapi itu dinamika yang bagus. Di situ akan terjadi dialog seperti tahun 1930-an, di mana nasionalisme dan agama berbenturan. Tapi kalau pada waktu itu merupakan problem bangsa, maka nanti akan menjadi problem intern NU. Itu menarik.
Kalau itu terjadi, maka NU akan mengalami pemekaran wawasan yang bukan main. Orang boleh saja kemudian skeptis dengan mempertanyakan apakah mayoritas warga NU bisa memahami hal itu. Tapi, sebaiknya kita bicara saja jumlah ribuan dari para pemimpinnya yang terlibat di dalam wacana yang maha besar. Mau tidak mau hal itu akan punya dampak terhadap warga NU.
Konkretnya NU akan melakukan apa?
Kontribusi NU akan semakin mempunyai arti besar bagi pengembangan wawasan kebangsaan. Sekarang ini ‘kan kita masih di persimpangan jalan, tidak jelas mau melakukan sekularisasi atau tidak. Prakteknya, kita melakukan sekularisasi, dalam arti tidak semua perundangan didasarkan pada agama. Jadi ada pemisahan fungsi agama dari fungsi negara. Tapi dipihak Iain, karena kepentingan politik yang sangat prinsipil –yaitu jangan sampai negara goyang oleh masalah keagamaan— maka aspirasi keagamaan sangat diperhatikan. Bayangkan sampai kesepakatan kabinet mengenai uji coba sekolah lima hari bisa diubah, itu ‘kan menunjukkan adanya kebutuhan sangat besar untuk mengakomodir aspirasi umat Islam.
Nah, sekularisasi di satu Sisi dihadapkan pada prioritas aspirasi keagamaan di Sisi Iain, akan menciptakan ketegangan kreatif. Dan itu sangat bagus, sangat besar artinya bagi negara kita. Tugas pimpinan NU yang akan datang adalah membuat supaya ada proses timbal-balik, apa yang terjadi di NU bisa dipantulkan keluar sehingga membantu wacana makro bangsa kita, dan sebalikya memberi masukan kepada NU di dalam proses dialog intern.
Seberapa jauh proses timbal-balik tersebut bisa ikut mempercepat proses demokratisasi?
Demoktratisasi itu ‘kan suatu kata yang tidak jelas sekarang. Untuk kaum aktivis demokrasi, kita ini belum dianggap demokratis ini. Malah masih dinilai otoriter sehingga harus diusahakan akselerasi untuk mengubah seluruh wajah kehidupan kita.
Tapi, bagaimanapun juga keleluasaan bergerak kita saat ini sebetul-nya cukup besar untuk melakukan perubahan secara bertahap dan konstitusional.
Apa yang dilakukan NU bagaimanapun juga akan berdampak pada proses pencarian modus demokratisasi yang pas. Misalnya, saat ini sebutan pers yang bertanggung jawab itu lantas dijadikan alasan untuk tidak melakukan apa-apa, itu ‘kan tragis. Kita harus melakukan sesuatu tapi juga jangan sampai konyol. Jadi, dicarilah medan perjuangan demokratisasi yang pas bagi bangsa kta, artinya yang bisa ditolerir pihak penguasa tapi tetap menunjukkan kemajuan bersambung ke arah demokrasi yang utuh di kemudian hari.
Peran konkret yang bisa dilakukan NU, salah satunya adalah setiap capaian yang berhasil diraih harus bertumpu pada pijakan yang kuat, di antaranya legitimasi agama. Sebagai contoh, gerakan seperti KB dan lain-lain menjadi sah karena disahkan agama. Dengan kata lain, gerakan keagamaan dalam jangka panjang bisa menjadi penjamin, bisa menuntut kebijakan yang lebih populistik dan egaliter yang pendekatannya tidak birokratik tapi partisipatif. NU bisa berperan di situ, sebagai pihak yang memberikan jaminan perubahan yang diusulkan tidak akan mengubah sistem yang ada.
Sebagian orang di NU mungkin siap dengan pencapaian itu, tapi bagaimana dengan organisasi lain diluar NU, apakah mereka bisa mengimbanginya?
Bila mereka bertumpu pada penggalangan Kekuatan untuk masuk ke dalam birokrasi dan sistem kekuasaan, mereka nantinya akan lebih reflektif. Dengan kata lain, mereka akan tahu di mana mentoknya dan di mana bisa berhasilnya. Kalau sudah mengerti di mana batas-batasnya, ya sudah ‘kan. Dengan lebih reflektif, maka mereka akan sempat melakukan pemikiran yang lebih jauh pada masalah demokratisasi.
Apakah itu berarti nantinya akan terjadi suatu titik temu?
Nggak juga, karena modelnya berbeda. Malah mungkin bisa berantem. Tapi berantem-nya sudah lain, konsep Iawan konsep, gagasan melawan gagasan. Saya tidak khawatir pada kalangan agama.
Saya justru khawatir pada kalangan nonkeagamaan yang kemungkinan malah tidak muncul, seperti mereka yang eks-nasionalis, ekssosialis. Sekarang ini yang eks-sosialis menjadi salah satu di antara dua. Menjadi pembangkang atau menjadi demokrat total yang tidak mau mengalah sedikit pun, alias memilih minggir daripada terkorup. Itu harus kita hargai, tapi ya mereka tidak bisa berbuat banyak kecuali untuk survive saja, termasuk Forum Demokrasi (Fordem) ‘kan hanya sebagai tempat untuk survive. Saya yang mendirikan jadi saya tahu persis itu fungsinya. Untuk mau lebih jauh, sulit.
Jadi lembaga semacam Fordem nantinya tidak diperlukan lagi?
Oh masih. Kita masih memerlukan terminal pemikiran. Jadi orang yang datang ke situ pergi keluar-masuk lewat terminal semua. Istilah mentrengnya information clearing house, ha…ha…ha…
Banyak sekali yang menganggap Anda sebagai pribadi yang kontroversial, Anda sendiri memandang diri Anda seperti apa?
Saya bingung dibilang begitu. Lha wog saya ini seperti muslim-muslim tradisional. Sebagai orang Jawa saya senang wayang, sebagi santri saya senang Umi Kultsum, sebagai manusia modern saya senang musik klasik, dan sebagai seorang dari lingkungan organisasi saya senang kumpul dengan orang banyak, bukan menjauhi orang banyak. Makanya acara saya selalu padat ke mana-mana. Yang begitu kok dibilang kontroversial. Yang bilang itu mungkin nggak paham.
Kalau pernyataan Yang Anda Iontarkan menimbulkan pro dan kontra di masyarakat, Anda stres nggak?
Oh nggak, tidak sama sekali sebab seluruh gagasan yang saya keluarkan maksudnya agar bisa didiskusikan. Kalau didiskusikan saya nggak stres, malah senang. Kalau nggak ada yang nanggapi, saya malah stres ha….ha….ha….. Kalau ada orang marah segala macam, Ya mungkin karena belum mengerti saja. Kalau sudah mengerti terus diskusi, ya nggak ada masalah.
Tapi Anda sudah menyadari sebenarnya, kalau gagasan Anda itu Pasti akan menimbulkan pro dan kontra?
Lho tentu saja. Malah kadang-kadang memang dimaksudkan demikian ha..ha…ha. Seperti soal assalamu’alaikum itu. Orang yang mewawancarai saya memang tidak memuat utuh pernyataan saya sehingga hasilnya ditangkap keliru. Sebetulnya maksud saya begini, bentuk-bentuk ekspresi yang normatif atau legal formalistik dengan bentuk kultural, belum tentu harus sejalan. Dalam salat misalnya, assalamu’alaikum itu tidak bisa diganti karena merupa-kan bentuk normatif. Tapi yang kultural bisa, contohnya ucapan atau sapaan. Lantas di mana batasnya antara yang normatif dan kultural, nah mari kita cari. Mari kita kaji ulang, karena tidak semuanya normatif.
Di Mesir, syeikh-syeikh al-Azhar yang hafal Al-Qur’an dan pandai itu pun kalau ketemu orang bilang selamat pagi. Tapi karena pernyataan saya tidak dimuat utuh, jadi sepertinya assalamu’alaikum mau dihapus, tentu saja kalau dihapus ya ngamuk semua.
Apakah yang masih ingin Anda cari dalam sisi hidup Anda?
Saya ingin bisa memberikan sesuatu secara utuh. Apakah itu teori apakah itu orientasi apakah program sebuah organisasi yang berhasil dilaksanakan tuntas. Nah, itu masih mencari nanti yang mana di antara pilihan-pilihan itu. Bisa juga dalam bentuk sebuah buku yang membuat teori, misalnya tentang Islam dan negara, semua itu ada di kepala saya. Kan itu mungkin saja. Saya ingin ikut rombongan yang beramai-ramai mencari konstruks-konstruks baru.