Kalau Melihat NU dari Saya, Itu Salah Baca (Wawancara)
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Kiprah Abdurrahman Wahid alias Gus Dur sebagai Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, kini menjadi bahan spekulasi. Para pendukungnya ingin mempertahankan Gus Dur karena ia adalah tokoh yang sanggup dan telah berhasil mengamankan Khittah 1926. Namun para penantangnya melihat Gus Dur selalu melawan arus dan “membingungkan umat.” Bahkan Kampanye mengungkapkan “dosa-dosa” Gus Dur pun kini semakin meningkat. Sementara Gus Dur sendini tidak mau pusing memikirkan soal itu. “Sudah waktunya mikirin yang lain,” katanya.
Belum lagi soal pencalonannya kembali sebagai Ketua Umum PBNU tuntas dipersoalkan, tiba-tiba saja ia muncul lagi dengan kontroversi baru. Ia berkunjung ke Israel dan mengusulkan agar Indonesia membuka hubungan diplomatik dengan negeri Yahudi itu. Bersamaan dengan kegaduhan soal kunjungannya ke Israel itu, ia pun terpilih sebagai International Prendent of the World Conference on Religion and Peace (WCRP), sebuah forum komunikasi antar umat beragama seluruh dunia, yang juga banyak diprotes kalangan Islam.
Nah, untuk menjelaskan apa sebenarnya latar belakang pikiran, ucapan dan tindakannya menjelang Muktamar NU di Cipasung, Tasikmalaya itu, berikut petikan wawancaranya dengan wartawan FORUM, Tony Hasyim dan Munawar Chalil.
Rapat pleno panitia Muktamar ternyata menolak usul Anda mengenai penghapusan jabatan Ketua Umum PBNU…
Lha iya, karena tidak diterima oleh daerah-daerah. Panitia ‘kan sudah mencari masukan ke mana-mana, hasilnya tidak setuju semua.
Artinya apa?
Tandanya mereka takut kalau Tanfidziyah lemah. Kalau kekuatan Syuriah bertambah, Tanfidziyah-nya impoten. Rupanya ada ketakutan warga NU melihat ada oknum-oknum pejabat yang naga-naganya mendukung Pak Idham untuk jadi Rais Am. Kalau sampai beliau yang jadi, salah-salah yang jadi Tanfidziyah adalah para politisi.
Kekhawatiran itu apa dasarnya?
Ya, karena ada sejumlah tokoh NU yang dicalonkan oleh kekuatan politik dari luar NU. Ada yang untuk kepentingan Golkar-lah, ada yang untuk kepentingan PPP-lah. Kalau orang Golkar dan PPP ikut-ikutan Muktamar NU, ‘kan kita bisa bubar. Para Syuriah, pengurus cabang, itu khawatir NU tercabik-cabik. Sekarang sudah ada kejadian di beberapa cabang, ada yang menitip-nitipkan calon untuk kepentingan Golkar atau PPP. Cabang-cabang mengatakan: “Pak, hati-hatilah, jangan sampai pemimpin NU nanti membawa NU menjadi kino.” Sebagian pemimpin NU mau menjadikan NU sebagai kino (kelompok induk organisasi), tunduk kepada salah satu orsospol.
Apakah sikap Anda itu merata di pemuka NU yang lain?
Sudah, sudah dijamin. Anda ini terlalu memandang rendah NU. Kalau melihat NU dari saya, itu salah baca.
Panitia Muktamar memantau, mayoritas cabang masih menghendaki Anda, karena Anda bisa mengamankan dan mengaktualisasikan Khittah, tidak punya pamrih pribadi, punya latar belakang keulamaan, dan tidak pernah menjual NU…
Ah… tidak saya saja kok. Begini, yang memenuhi kriteria seperti itu sekarang belum muncul saja. Tapi kalau seandainya muncul Kiai Mustofa Bisri, Kiai Wachid Zaini, dengan sendirinya saya senang banget. Beliau-beliau itu adalah orang yang telah terbukti kemampuannya dalam memimpin umat. Mereka punya latar belakang keulamaan. Terus perjuangan mereka di NU selama ini mudah terbukti.
Mereka itu kan masih berada di bawah bayang-bayang Anda?
Tidak juga. Orang itu ada kekuatannya sendiri-sendiri. Misalnya Gus Mas (panggilan Mustofa Bisri). Beliau itu orang yang sangat kuat, jangan anggap remeh.
Bagaimana dengan Chalid Mawardi?
Nah, kalau itu, orang lain yang tidak mau.
Anda siap memimpin NU lagi?
Siap saja. Tapi begini, ya. Kalau saya yang jadi ketua umum, saya akan memulai langkah-langkah baru untuk menyeimbangkan posisi Syuriah dan Tanfidziyah. Dalam arti, tugas Tanfidziyah ini akan kita tekankan pada aspek pelaksanaan tugas ketimbang ikut dalam decision making. Selama ini ‘kan kita puyeng ha ha ha… Bagaimana ya, para Tanfidziyah itu kan orang yang punya kerepotan di daerahnya masing-masing. Jadi sulit diajak mengambil keputusan bersama.
Bagaimana sebenarnya sikap pemerintah terhadap Anda?
Saya tidak pernah dan juga tidak perlu memantau mereka, ha ha ha…. Tapi kalau dikatakan pemerintah tidak senang dengan saya, saya pikir itu tidak benar. Memang ada oknum pejabat yang tidak senang sama saya. Tapi sama calon selain saya, ‘kan tentu ada oknum pejabat lain yang tidak senang sama dia. Nah, menurut saya, yang penting apakah petunjuk dari presiden itu jelas.
Pemerintah konon lebih baik mempertahankan Anda, agar NU tidak main politik…..
Mungkin pemerintah ngomongnya sama orang lain, atau kepada wartawan. Kalau kepada saya sih tidak ngomong apa-apa.
Kalau Anda terpilih lagi, berarti Anda jadi ketua umum ketiga kalinya. Nanti bisa terus-terusan…..
Kalau saya terpilih lagi, kalau bisa, saya mau berhenti di tengah jalan. Benar, nih. Saya mau mundur di tengah jalan. Saya ingin mulai dengan karier lain. Saya pengin, jadi pengajar, misalnya. Saya ‘kan pengin membesarkan pesantren saya. Saya pengen nulis. Mungkin kalau saya mengejar betul karier internasional, juga punya banyak kesempatan. Saya ‘kan tidak mau karier saya mandek.
Karier internasional itu maksudnya sebagai Presiden WCRP itu?
Tidak tahulah. Saya di sana juga bingung sendiri, ha ha ha….. Saya cuma disuruh tanda tangan kesediaan dicalonkan, saya teken. Terus setelah dipilih, bagaimana prosedur kerjanya, apa tugasnya, saya juga tidak tahu. Dari surat pengantar Sekjen WCRP, dia bilang saya bisa berbuat banyak untuk WCRP tanpa mengganggu pekerjaan-pekerjaan saya. Ya, sudahlah kalau memang tidak mengganggu, saya terima saja.
Apakah Presiden Soeharto memberi petunjuk mengenai calon ketua umum, ketika Anda bersama seluruh PBNU ke Istana 20 Oktober lalu?
Oh, kalau ketua umum, beliau tidak menengarai. Dia kasih petunjuk tentang NU secara umum. Pertama, beliau menyampaikan tentang arti pentingnya Khittah. Kedua, tentang pentingnya supaya Khittah itu dijaga, tidak terseret ke politik. Dan yang ketiga, beliau menyampaikan arti pentingnya NU sebagai pelopor atau perintis pembangunan.
Anda juga melaporkan adanya kiai NU yang ingin bikin parpol baru?
Oh, iya. Tapi saya tidak mengatakan bahwa kiai-kiai yang punya rencana begitu. Saya melaporkan, setelah Kiai Ilyas, Kiai Sahal, dan Pak Abu Hasan bicara, walaupun ada isu-isu yang mengatakan NU akan mendirikan parpol, saya bisa menjamin itu tidak akan terjadi. Lalu saya katakan bahwa secara internal, orang NU sudah menyadari arti penting Khittah, dan kita tidak mau Khittah itu diganggu. Sedangkan secara eksternal, saya katakan bahwa Tap MPR menyatakan orsospol hanya ada tiga.
Apakah Khittah bisa ditinjau kembali, supaya NU bisa berpolitik lagi?
Oh itu bukan soal Khittah. Urusannya lain lagi. Kalau yang dimaksudkan perlu ditinjau, itu adalah sikap untuk meninggalkan politik praktis. Nah kalau itu, ada sendiri keputusannya dalam Muktamar 1984. Tapi bukan Khittahnya. Yang Khittah itu komisi organisasi, yang sikap politik itu adalah komisi rekomendasi.
Khittah yang Anda maksud itu apa sih intinya?
Yang dimaksudkan Khittah NU itu ‘kan Khittah 1926. Lha itu apa sih? Yaitu cara hidup dan cara pandang menurut paham ahlusunnah wal Jamaah. Lha kalau itu digeser, NU mau jadi apa? Dari cara pandang dan cara hidup itu, maka ditariklah sejumlah konsekuensi sebagai patokan moral. Dengan adanya patokan-patokan itu, dan dari kesadaran bahwa kita melakukan cara hidup dan cara pandang itu, ditetapkanlah tekanan kegiatan pada bidang pendidikan, dakwah dan sebagainya. Nah, otomatis dari deretan itu semua, timbul pertanyaan, di mana soal politik. Itu dijawab dalam keputusan komisi rekomendasi. Di antaranya bahwa NU tidak terkait secara organisatoris dengan kekuatan sosial politik mana pun. Jadi itu bukan dari Khittah, melainkan penyimpulan atau konsekuensi dari Khittah. Nah dalam urusan politik itu, NU menghormati hak-hak politik warga, dan menganjurkan agar mereka memakai hak-hak politik itu dengan sebaik-baiknya, berdasarkan akhlakul karimah.
Anda yakin NU bisa eksis di masa datang, tanpa menjadi parpol?
Dulu tahun 1926 sampai 1952, NU bukan parpol, parpolnya dititipkan ke mana-mana. Zaman Masyumi, ya ke Masyumi. Sampai dengan tahun 1952, NU keluar membikin partai sendiri, berdasarkan keputusan Muktamar di Palembang. Terus fusi tahun 1973, dan tahun 1984 kembali ke Khittah. Kita tidak berpolitik praktis lagi. Anda lihat sendiri, sampai sekarang NU masih eksis kok.
Tipe kepemimpinan seperti apa sih yang dikehendaki mayoritas NU?
Umat itu menunjukkan pemimpin-pemimpin mereka. Menunjukkan ini dalam arti mengakui kepemimpinan seseorang. Apakah itu misalnya Kiai Sahal, Kiai Imran Hamzah, Kiai Chotib, Kiai Alawy, Kiai Mustofa Bisri, Kiai Cholil Bisri. Tanya dong sama mereka, siapa yang mereka inginkan.
Tapi di bawah kepemimpinan Anda, apakah mereka tahu Anda mau membawa NU ke mana?
Tidak perlu tahu juga tidak apa-apa. Orang mereka mendukung berdasarkan kepercayaan. Karena apa? Mereka percaya sama saya. Mereka tidak khawatir sedikit pun sama saya. Tidak pernah saya mengekang ini, mengekang itu. Tidak pernah juga saya mendukung ini, mendukung itu. Saya tidak pernah macam-macam.
Apa sih arti pentingnya NU bagi pemerintah?
NU itu penting karena dia adalah ormas yang mudah memahami keadaan, tidak emosional. NU bisa memilah-milah antara soal-soal teologis yang jadi wewenang ulama, dan masalah-masalah politik, ideologi. Dan lain-lain, yang jadi wewenang pemerintah. Itu kita tahu betul. Seandainya kawasan teologis itu ada yang direbut pemerintah, kita juga tidak terlalu menggebu-gebu menentangnya. NU tidak mau ribut-ributlah.
Tapi Anda pribadi sering menimbulkan kontroversi. Kenapa, sih?
Ah orang saja yang bilang kontroversial. Tapi kalau sudah saya jelaskan, selesai ‘kan? Saya suka heran sama wartawan, suka memotong omongan saya di tempat yang tidak betul. Contohnya, soal Israel kemarin, ditulis bahwa saya usul agar Indonesia buka hubungan diplomatik dengan Israel. Sebetulnya, saya katakan, marilah kita pikirkan dengan serius perlunya dibuka hubungan diplomatik Indonesia-Israel. Jadi, saya mengantisipasi. Lha ini ditulisnya, “Gus Dur. Hubungan Diplomatik Indonesia-Israel segera Dibuka”. Ya tentu saja orang pada ngamuk ha ha ha…. Begitu juga soal ucapan assalamu’alaikum. Itu majalah Amanah salah potong.
Dalam soal “assalamu’alaikum” itu ‘kan As’ad marah besar, sampai-sampai dia “talak tiga” tidak mau lagi ketemu Anda.
Ah, kalau Kiai As’ad itu, kita tidak bisa mengikuti maunya apa. Maunya Kiai As’ad persis seperti orang-orang politisi. Dia mau NU berperan dalam politik: bukan “orang NU”-nya, melainkan “NU”-nya. Lha itu kita tidak mau. Kita tidak akan biarkan NU dipakai dia untuk mengamuk. Jadi, soal assalamu’alaikum itu hanya efek samping saja. Masalah saya dengan Kiai As’ad lebih besar dan soal itu. Beliau masih menginginkan NU berperan politik secara organisatoris.
Kalau sama Kiai Idham Chalid, tampaknya Anda musuh bebuyutan?
Saya tidak memusuhi dia kok. Saya selalu bicara apa adanya ‘kan. Kalau Pak Yusuf tidak benar, saya bilang namanya. Kalau Pak Idham yang salah, saya sebut juga nama Pak Idham-nya. Mana pernah saya membungkus-bungkus segala. Misalnya, dalam Muktamar PPP lalu. Coba, siapa yang tidak ngilu di hati. Hanya untuk memenangkan anak buahnya, Hamzah Haz, pada posisi salah seorang ketua di PPP saja, tega-teganya dia menghancurkan kesempatan Matori untuk merebut posisi ketua umum. Dalam Muktamar itu ‘kan sudah jelas ada kongkalikong antara Buya dengan Idham Chalid. Tidak usah diajarin deh, semua orang juga tahu.
Selama ini NU tampaknya tak pemah akur sama kelompok Islam yang lain, khususnya sama Muhammadiyah, ICMI, dan MUI. Kenapa, sih?
NU sih biasa-biasa saja. Kalau orang lain tidak bisa terima pendapat NU, itu terserah mereka. Tapi ‘kan selama ini NU tidak pernah melawan pendapat mereka. Misalnya NU bersikap begini. Penyelesaiannya bagaimana, ya kita serahkan kepada mereka. Diterima alhamdulillah, kalau tidak, ya kita jalan masing-masing saja, deh.
Banyak kritik terhadap sikap Anda yang terus menuduh ICMI sektarian….
Saya punya hak secara undang-undang dasar untuk menyampaikan pendapat, bahwa saya tidak setuju dengan sektarianisme. Itu hak saya. Hal itu bukannya dijawab, tapi ditutup. Saya tidak boleh ngomong. Alangkah pedihnya umat ini. Saya katakan, ICMI mayoritas warganya bagus, saya angkat topi dengan aspirasi mereka. Sayangnya, pada level tertentu, ada warga ICMI yang sektarian. Saya sudah mengatakan itu dari dulu. Apa maksud saya? Supaya warga ICMI mengerti…. (Gus Dur mengucapkan kata ini cukup panjang). Supaya mengambil langkah-langkah untuk melakukan koreksi.
Bukannya selama ini Anda anti sama organisasinya?
Apa urusannya saya? Ngapain saya mau berbenci-benci sama organisasi Islam? Bagaimana saya mau anti-ICMI? Pak Yusuf Hasyim, paman saya sendiri, orang ICMI kok. Kiai Sahal itu orang ICMI, Wakil Ketua ICMI Jawa Tengah. Ini yang saya jadi tidak mengerti. Saya tidak pernah anti-ICMI. Cuma, di dalam ICMI itu terjadi pencaplokkan kekuatan oleh orang-orang yang sektarian. Tandanya? Menuduh orang Kristen macam-macam. Dengan isu RMS, iya tidak?
Tapi dalam soal Israel itu yang menyerang Anda duluan orang Muhammadiyah?
Anda jangan mengatakan Muhammadiyah memusuhi saya. Lha, buktinya Muhammadiyah sekarang sudah bersikap lain. Habib Chirzin (tokoh Muhammadiyah yang ikut ke Israel-red), setelah minta maaf, sudah dimaafkan. Ya, mungkin di Muhammadiyah proses penyelesaian masalah lebih sulit dari NU. Tapi ‘kan ujungnya bisa diterima.
Orang MUI sampai sekarang belum bisa menerima, tuh….
Oh, kalau MUI tidak saya pikirkanlah. Kiai Hasan Basri itu sudah terlalu lambat belajar, terlanjur ketuaan ha ha ha… Nanti kalau beliau diganti, MUI juga akan maju dengan sendirinya.
Permasalahan di antara umat Islam Indonesia itu, apa tidak sebaiknya didialogkan?
Ya, biar sajalah. Ada hal-hal yang tidak usah didialogkan. Kalau dibiarkan nanti akan selesai dengan sendirinya. Ya, toh?
Walaupun itu untuk peningkatan derajat umat Islam?
Kita jalan masing-masing sajalah. Saya punya anggapan bahwa perbedaan itu wajar: di dalam NU wajar, di luar NU wajar, sesama umat Islam juga wajar. Karena setiap orang punya perbedaan kepentingan Lagi pula, di Indonesia sekarang ini ‘kan ada dua pandangan yang sama sekali tidak bisa dipertemukan. Pertama, ada pandangan bahwa Islam harus dikembangkan melalui sistem kekuasaan. Pandangan ini terutama diikuti oleh orang ICMI, Muhammadiyah, MUI, dan yang lainnya itu. Pandangan kedua dari NU. Berbeda dengan mereka, menurut NU, kita tidak perlu mengembangkan diri melalui sistem kekuasaan. NU ‘kan secara tradisi sudah berkiprah melalui pesantren, melalui lembaga-lembaga swadaya masyarakat, dan sebagainya.
Memangnya NU tidak punya keinginan untuk berkuasa?
Ya, tentu kita menginginkan agar orang-orang NU bisa ikut dalam lembaga pemerintahan, lembaga perwakilan rakyat, dan sega bidanglah. Tapi tujuan NU bukan untuk berkuasa an sich.
Kalau misalnya orang NU ikut dalam kekuasaan, itu adalah semata karena pengabdian untuk kepentingan bangsa. Keberadaan orang NU di pemerintahan atau legislatif tidak mewakili kepentingan NU, melainkan mewakili seluruh rakyat.
Beberapa saat setelah Front Islamique du Salut (FIS) memenangkan pemilu di Aljazair, kemudian dibatalkan oleh pihak militer, Anda meminta Pak Harto waspada karena kemenangan FIS itu bisa merembet ke Indonesia. Betul itu?
Bukan begitu. Waktu itu saya cuma buat surat ke Pak Harto mengenai beberapa hal, jadi bukan khusus mengenai masalah di Aljazair saja. Yang saya kemukakan, intinya bagaimana arti pentingnya kita kembali memperkuat wawasan kebangsaan. Saya melihat sudah waktunya diadakan upaya itu. Karena sekarang ini sudah muncul paham ekslusivisme Islam yang tinggi, pandangan sempit Islam yang macam-macam itulah. Nah, kalau itu dibiarkan berlarut-larut, saya katakan, kita akan sampai pada keadaan seperti di Al-jazair. Itu yang menakutkan.
Tapi beberapa tokoh Islam kita marah, karena Anda menuduh umat Islam Indonesia mau merebut kekuasaan………
Lho, yang saya takutkan itu Islam yang fundamentalis itu. Ya kalau mereka menganggap saya musuh, terserah.
Tanggapan Pak Harto waktu itu apa?
Tidak ditanggapi, cuma surat kok. Dia ‘kan sebagai presiden tiap hari terima surat banyak sekali. Atau mungkin dia tidak ambil pusing.
Mengapa dalam sebuah seminar di Australia dulu Anda menyatakan orang Katolik bisa jadi presiden di Indonesia?
Saya tidak bicara mengenai orang Katolik. Waktu itu saya ditanya oleh salah seorang peserta seminar: Apakah non-Muslim bisa jadi presiden Indonesia? Saya bilang, menurut konstitusi ya bisa-bisa saja. Konstitusi kita ‘kan mensyaratkan pribumi asli, tidak ada masalah agama di situ. Lalu saya bilang, hanya dalam prakteknya, itu tidak akan terjadi, setidak-tidaknya sampai satu generasi lagi, itu tidak akan tercapai. Nah, yang bagian terakhir itu ternyata tidak dimuat oleh wartawan. Seolah-olah saya hanya bicara bahwa seorang non-Muslim bisa jadi presiden di Indonesia.
Kalau soal Anda mencalonkan Jendral Benny sebagai presiden?
Ah, saya tahu itu, yang ngomong begitukan Lukman Harun (tokoh Muhammadiyah, red.) Saya bilang sama Lukman, kalau benar begitu, tolong tunjukan kepada saya koran yang mana. Ternyata sampai sekarang dia tak bisa jawab. Artinya, dia bikin-bikin sendiri, ha ha ha… Cak Nur (Nurcholis Madjis, red) kabarnya juga pernah bilang sama orang Kedubes AS, bahwa saya mau mencalonkan Pak Benny dalam pemilihan presiden tahun 1993. Tapi nyatanya tidak ada ‘kan. Lha, itu apa artinya? Saya sih tidak bingung kenapa saya dituduh begitu. Yang penting ‘kan orang tahu kenyataannya tidak benar.
Tapi dukungan itu ada di pikiran Anda?
Begini, ya, yang berhak mencalonkan Pak Benny atau siapa pun calonnya itu hanya MPR. Kenapa sih kita ikut-ikut? Terus terang saja, saya tidak pernah mencalonkan siapa-siapa. Karena memang bukan urusan saya.
Selama dua periode Anda memimpin NU, tidak sekali pun ada kebulatan tekad mendukung Pak Harto. Kan itu bisa diartikan dukungan NU kepada Pak Harto tidak jelas?
Pak Harto sendiri tidak ada masalah apa-apa, kok. Anda kira Pak Harto serendah itu, apa? Apa Anda kira Pak Harto marah sama NU karena tidak menyatakan dukungan kepada dia. Tidak juga.
Dalam Muktamar nanti, NU akan mengeluarkan pernyataan politik?
Tentu yang Anda maksud soal suksesi itu.
Iya, sebab ini ‘kan muktamar menjelang tahun 1998……
Saya pikir tidak ada dan tidak perlu. Apa sih gunanya?
Konstelasi politik sekarang ini diarahkan untuk menghadapi suksesi. Tampaknya NU kali ini perlu membuat pernyataan seperti itu.
Itu terserah Muktamar, apakah mereka mau mengeluarkan pernyataan seperti itu. Menurut saya, mudah-mudahan tidaklah. Dan kalau Muktamar tidak mengeluarkan pernyataan itu, mudah- mudahan keinginan itu dipahami oleh semua pihak. Lagi pula, kenapa kita puyeng-puyeng amat mengurus yang begituan. Dalam tradisi NU tuh tidak ada yang begitu-begituan.
Apa tahun 1998 nanti Pak Harto akan terpilih lagi?
Tidak tahu saya. Itu urusannya MPR kok. Yang bisa menilai Pak Harto terus apa tidak, ‘kan hanya MPR. Hanya, dugaan saya, kalau Pak Harto masih sehat, kalau secara fisik beliau masih kuat, Pak Harto akan dipilih lagi.
Alasannya?
Ya habis bagaimana. Orang kita tidak biasa dengan budaya mencari alternatif presiden kok….
Hubungan Anda sama Pak Harto sekarang bagaimana?
Tidak ada apa-apa. Tidak ada masalah yang fundamentallah. Dibilang dekat, ya tidak begitu dekat. Dibilang tidak dekat, ya tidak juga. Karena kita sama-sama sepaham dalam semua hal.
Rumah Anda sekarang ini pemberian dari Pak Harto?
Cuma pinjam, secara pribadi. Dia kasihan melihat saya tidak punya rumah. Tadinya Pak Harto mau ngasih. Tapi saya tidak mau. Di Indonesia ‘kan banyak yang belum punya rumah. Kok saya doang yang dikasih. Kalau saya ‘kan bisa mencari sendiri.
Pak Harto juga membantu Anda ketika, misalnya, waktu Ibu Anda sakit, istri Anda sakit?
Ya. Waktu saya sakit juga dibantu. Pak Harto kalau yang soal begitu harus dipuji. Beliau itu menghargai sekali saya, walaupun saya sering kritis dengan dia. Sebagai seorang pemimpin Pak Harto itu bersifat correct dalam hubungannya dengan orang. Itu yang harus kita hargai.
Yang tidak cocok antara Anda dengan Pak Harto apa saja?
Ah cocok semuanya. Misalnya, dalam soal wawasan kebangsaan. Pokoknya macam-macam lah. Kan tadi saya bilang, kita sepaham dalam semua hal.
Termasuk pendapat Anda bahwa tidak ada konsep negara Islam itu?
Itu harus dibetulkan. Yang saya katakan dulu, di dunia Islam itu tidak mengenal konsep negara yang baku. Ya, kita sepaham dalam hal itu. Artinya, tiap bangsa bisa membentuk konsep negaranya sendiri-sendiri. Jadi, dalam pandangan Islam, Republik Islam Iran sama sahnya dengan Republik Indonesia.
Sikap Anda itu oleh beberapa kalangan dianggap sangat sekular?
Ah, sudah biarin saja, ha ha ha………