Politik Sebagai Moral, Bukan Institusi (Wawancara)
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Anda termasuk salah seorang perintis gerakan pembaruan pemikiran Islam di Indonesia. Bagaimana Anda melihat gerakan itu dalam kacamata sekarang?
Gerakan pembaruan pemikiran Islam 25 tahun yang lalu merupakan respons terhadap perubahan sosial, sedangkan gerakan itu sekarang adalah respons terhadap perubahan politik. Respons itu berbentuk pemunculan gerakan politik Islam. Organisasi sosial politik dan kemasyarakatan yang secara tegas menyebutkan dirinya Islam kini makin menjadi politis. Warna partai Persatuan Pembangunan (PPP) semakin berkembang ke arah politik Islam. ICMI dan MUI kini lebih politis. Sedangkan NU ingin tetap seperti masa lalu yaitu merespons perubahan sosial. NU tidak melibatkan diri dalam urusan politik praktis. Biarlah soal politik menjadi milik dan tugas kelompok lain.
Mengapa NU bersifat begitu? Saya berpendapat sebaiknya tidak ada politik Islam. Karena itu lembaga-lembaga politik Islam juga tidak perlu ada. Sikap ini adalah konsekuensi logis dari Khittah. Kami sengaja menegaskan pentingnya organisasi politik Islam. Hal ini tentu saja berbeda dengan pendapat kawan-kawan saya yang dulu berangkat dari sudut pandangan yang sama, namun kini berpikiran lain. Perbedaan pilihan itu adalah hal lumrah.
Dahulu saya, Dawam Rahardjo, Adi Sasono, dan lain-lain berangkat dari gerakan swadaya masyarakat. Kita tampil bersama-sama. Lalu sekarang kita pilih jalan sendiri-sendiri. Masing-masing punya pengikut. Secara sederhana kita punya keturunan. Masing-masing keturunan kita tersebut sekarang mulai tampil. Selang 25 tahun itu boleh dikatakan adalah alih generasi dari dua cara pandang. Pendekatan pertama tetap sosial-kultural, sedangkan pendekatan kedua lebih politis.
Dulu, para aktivis pembaruan pemikiran Islam berangkat dan berjalan beriringan, lalu bersimpang jalan. Apakah di antara teman-teman Anda tidak terjalin kontak kembali? Misalnya, Anda dan teman-teman bertemu, berdialog, merefleksikan pemikiran yang pernah dikembangkan dulu?
Sejauh ini belum pernah terjalin dialog yang substansial, karena memang masing-masing kelompok pemikiran punya cara pandang dan pendekatannya sendiri. Namun sebagai sesama teman kita tetap menghormati.
Pihak yang mengutamakan institusionalisasi gerakan politik Islam mungkin terlalu “malas” dan tidak menganggap perlu untuk mengakui keabsahan pola-pola lama. Bahkan ada klaim bahwa mereka adalah pemimpin dan representasi umat. Kelompok sosio-kultural seperti di kalangan NU dianggap sebagai “anak hilang” Kelompok ini tidak diberi peluang untuk berbicara di dalam forum mereka.
Di pihak lain kelompok atau gerakan sosio-kultural yang merespon perubahan sosial-bukan perubahan politik-juga enggan berdialog dengan kelompok institusionalisasi politik karena beranggapan bahwa dialog dengan kelompok lain akan berkembang menjadi politis. Ini di nilai sebagi sesuatu yang tidak ada gunanya. Kelompok ini sudah malas berdialog, apalagi dicap “Anda sudah mengkhianati Islam”.
Dilihat dalam kacamata yang lebih besar, apakah tiadanya dialog antar kedua kelompok pendekatan itu akan merugikan umat Islam dan bangsa Indonesia?
Saya kira tidak perlu ditarik sampai ke sana. Tidak ada yang rugi atau dirugikan. Entitas Islam dalam konteks sesuatu yang unik bagi orang Islam saja, saya kira, sudah kehilangan relevansinya. Kami di kalangan NU tidak lagi berbicara dalam konteks Islam, tetapi sudah berbicara dalam konteks Indonesia. Kalau masih berbicara dalam konteks Islam, rasanya agak memusingkan Karena bikin pusing, lebih baik tidak usah berdialog.
Sebaliknya pihak lain juga berpendapat bahwa upaya untuk memberi tekanan berlebih pada keindonesiaan dinilai akan mengurangi keislaman. Akibatnya, mereka juga enggan untuk berdialog dan membicarakan masalah keindonesiaan. Mereka bilang “sudah capek-capek berusaha menjadi muslim yang baik, kok sekarang mau diajak kembali menjadi abangan seperti dulu.” Jadi, antara kedua kelompok ini sekarang ada kepentingan dan kebutuhan yang saling berkebalikan.
Jadi, menyedihkan sekali sampai terjadi antara teman-teman yang dahulu berangkat bersama-sama sekarang harus berselisih jalan.
Ya, tapi dalam konteks sejarah, itulah proses seleksi alami. Biarlah, yang sudah terjadi tak perlu disesali. Keturunannya pun harus mengalami pertentangan yang sama. Kita tak mungkin menghindari konflik. Justru menghindari konflik itu adalah naif dan berbahaya. Siapa yang akan survive nanti? Dialah yang kuat. Perlu diingat Islam menjadi besar karena telah mengalami konflik yang panjang.
Apakah gerakan kultural sebagai alternatif dari gerakan politik dapat dipakai sebagai instrumen bagi pencapaian tujuan? Bagaimana NU menempatkan diri?
NU memakai instrumen moral untuk menciptakan orientasi politik yang benar. Ini bukan berpolitik an sich. Marilah kita merumuskan orientasi politik yang benar. Bagi saya, orientasi politik itu harus menegakkan keadilan, baik sosial, politik, ekonomi maupun hukum dalam bentuknya yang paling konkret.
Andai kata posisi gerakan kultural nanti leading, lantas NU ditawari untuk ikut dalam struktur kekuasaan sekarang, bagaimana sikap Anda sebagai pemimpin NU?
Bisa saja hal itu menimbulkan perpecahan. Namun perpecahan itu pun merupakan sesuatu yang human. Dalam perpolitikan sekarang, bisa saja hal itu terjadi, apa lagi kita diajak masuk kekuasaan karena terlihat adanya kemungkinan perubahan politik. Tetapi apa akan begitu kemungkinannya? Bisa saja kita “tertipu” oleh keadaan.
NU tidak usah mencari peluang bermain di dalam ruang-ruang politik dan kekuasaan negara. NU memegang kartu truf terbesar dalam perpolitikan sekarang. Rakyat!
Di dalam politik, instrumen apa yang dipakai untuk memberdayakan masyarakat? Apa yang bisa dilakukan pada saat sekarang?
Kalau Anda mau memberdayakan masyarakat tetapi Anda menghamba pada status quo lalu bagaimana caranya? Ini sudah contradicton in terminis. Misalnya kita berkeinginan menggerakkan koperasi. Tokoh-tokoh pembaruan dulu ikut merumuskan konsepnya dalam GBHN 1983. Tetapi dalam kenyataannya sekarang terjadi birokratisasi koperasi di dalam institusionalisasi Departemen Koperasi. Akibatnya, koperasi tetap lemah tanpa daya untuk bersaing dalam perekonomian.
Saya lebih senang berpidato di kampung-kampung daripada berseminar di hotel-hotel untuk memberdayakan masyarakat.
Apakah sikap Anda tidak bertentangan dengan doktrin Islam yang tidak memisahkan politik dari Islam sendiri?
Saya rasa tidak. Memang Islam tidak pernah akan bisa terlepas dari politik. Apa yang dinamakan politik menurut Islam? Politik dalam Islam haruslah transformatif: Islam harus mampu melakukan diferensiasi; Islam harus mengubah masyarakat. Risalah Nabi Muhammad merupakan risalah transformatif dan emansipatif. Bagi saya politik adalah penting sekali, namun dalam konteks memberdayakan masyarakat. Penting dalam arti memberi peluang kepada rakyat untuk menyatakan pendapat dan pikirannya secara jujur.
Gerakan-gerakan yang memberi respons terhadap perubahan sosial sejak awal harus mengacu pada struktur sosial yang lebih adil dan lebih menjawab kebutuhan masyarakat. Gerakan itu tidak ikut dalam percaturan politik yang hanya memperkuat status quo. Banyak kawan saya, yang dulu berangkat dan sumber yang sama, kini melakukan kegiatan dan kerja institusionalisasi politik Islam yang mempertahankan status quo.
Apakah ada doktrin Islam tentang negara Islam dan tentang masyarakat Islam?
Islam tidak mengenal doktrin tentang negara an sich. Doktrin Islam tentang negara adalah doktrin tentang keadilan dan kemakmuran. Dalam pembukaan UUD 45 terdapat doktrin tentang keadilan dan kemakmuran. Saya yakin doktrin itu berasal dari pemimpin-pemimpin Islam yang ikut menyusun Muqaddimah konstitusi negara kita.
Selama pemerintah bisa mencapai dan mewujudkan keadilan dan kemakmuran, hal itu sudah merupakan kemauan Islam. Saya kira tidak diperlukan doktrin Islam tentang negara harus berbentuk formalisasi negara Islam. Pendapat ini tentu saja berbeda dengan pendapat kelompok lain yang menginginkan orang-orang Islam harus menguasai atau mendominasi pemerintah sekarang.
Memang tetap ada dua pendapat yang berlainan. Pendekatan pertama menganggap doktrin Islam tentang politik adalah pengakuan formal atas peranan Islam: pendekatan kedua menganggap pemberlakuan Islam dalam konteks nasional, bukan universal.
Islam tidak punya wujud doktrin yang pasti tentang bagaimana melaksanakan hal-hal kenegaraan. Karena itu, banyak pemimpin kita pada masa lalu sulit merumuskan apa dan bagaimana negara Indonesia yang sesuai dengan paham Islam. Karena mereka tidak mampu mengajukan tawaran maka akhirnya mereka harus merespons tawaran Bung Karno menyangkut Pancasila.
Apakah memang begitu? Bagaimana kalau doktrin Islam tentang negara dan masyarakat digali dalam perspektif historis zaman Nabi dulu?
Nabi Muhammad ditunjuk oleh Tuhan untuk menjadi kepala dan pemimpin umat atau komunitas melalui wahyu. Setelah itu Nabi tidak merumuskan apa-apa. Terjadi konflik untuk menyelesaikan masalah kepemimpinan. Akhirnya, Sayidina Abu Bakar dibaiat menjadi pemimpin. Tatkala Abu Bakar sakit hendak meninggal, dia menitipkan pesan agar Umar yang menggantikan kepemimpinannya. Ketika dia akan mati Saiyidina Umar berpesan agar menunjuk 7 orang Dewan Pemilih termasuk Abdullah, anaknya, namun dengan catatan Abdullah tidak boleh dipilih. Akhirnya yang menjadi khalifah adalah Usman bin Affan. Kemudian dia di bunuh dan tidak jelas pesannya. Begitulah nasib para penggantinya. Dari proses tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa pada masa awal itu hanya ada dinasti. Lalu bentuk negara yang Islami awal itu yang bagaimana? Karena berbentuk dinasti maka institusionalisasi politiknya cenderung mempertahankan status quo.
Apakah ada format negara yang diidealkan menurut doktrin Islam?
Kita tidak usah mencari-cari karena memang tidak ada yang ideal. Islam tidak menyebutkan soal negara ideal, dan juga tidak mengharuskan. Allah meridai Islam sebagai agamamu, bukan sebagai sistem pemerintahan.
Islam menjadi besar kalau ia tidak menampilkan wajah politik melainkan mengutamakan wajah moralnya. Atau dengan kata lain Islam mengutamakan politik sebagai institusi.
Apa rumusan simbol-simbol kebangkitan Islam dalam pandangan Anda?
Kebangkitan Islam adalah kebangkitan untuk menegakkan masyarakat baru yang lebih adil, lebih demokratis dan lebih berkedaulatan hukum serta lebih santun pada pluralitas. Menurut saya hal itu sudah menunjukkan kebangkitan Islam, sebab di dalamnya. Kaum muslimin mengalami emansipasi. Mereka tidak lagi melihat kebangkitan Islam dari sudut label dan simbol-simbol keislaman yang muncul secara vulgar. Saya lebih melihat kepada pencapaian cita-cita Islam yang sebenarnya, yakni keadilan dan kemakmuran; kesamaan di antara semua umat manusia. Kalau kita masih berpikir bahwa Islam harus lebih dari yang lain, itu tidaklah Islami. Justru bertentangan dengan Islam.
Penilaian sementara orang selama 25 tahun Islam politik termarjinalisasi dan sekarang sudah naik ke pentas. Apakah betul demikian?
Kalau acuannya masih acuan partai Islam atau kelompok Islam yang diwakili secara formal, memang betul begitu. Tapi saya sudah mengatakan berulangkali bahwa itu meredusir Islam. Bagi saya, munculnya para birokrat muslim dalam jumlah besar di pemerintahan, menguasai lembaga, sama sekali tidak ada content kebangkitan Islam di dalamnya. Kenapa orang sibuk memelihara status quo, orang sibuk bercatur kekuasaan. Lalu Islam di sini mau ditaruh di mana?
Demokratisasi bukanlah masalah sederhana, tetapi masalah yang rumit. Orang berlatih di LSM untuk merintis institusi kecil-kecil yang demokratis dengan naik turun gunung dan memakan korban, dengan kepedihan dan kegagalan, trial and error, semuanya punya sumbangan terhadap demokratisasi. Kalau dijumlahkan pasti sumbangannya cukup besar. Pengembangan masyarakat melalui pesantren, penanganan masyarakat kumuh di perkotaan oleh kelompok-kelompok LSM dari gerakan Islam selama ini cukup banyak.
Mencerdaskan bangsa, melalui sekolah-sekolah Muhammadiyah, NU dan sebagainya. Itu juga akan membawa kepada pemekaran wawasan yang nantinya berujung pada demokrasi. Memang itu sangat kompleks dan tidak bisa diklaim oleh satu pihak. Bisa saja sekarang teman-teman di ICMI juga mempunyai peranan terhadap pencerdasan dan demokratisasi di Indonesia.