Membaca Sejarah Lama (18)
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Dalam bukunya Heretical Imperative, Peter Burger, dari Boston University, mengemukakan sesuatu yang sangat menarik. Ia menggambarkan seorang petani Jawa, yang sedang mencangkul di sawah yang kemudian menghentikan ayunan cangkulnya, untuk sekadar memandang pesawat terbang Garuda yang sedang menderu 25 ribu kaki di atas kepalanya. Boleh jadi, ia kagum pada teknologi modern yang dapat menciptakan pesawat seperti itu, dengan lebih dari seratus penumpang di dalamnya. Tetapi, mungkin juga ia justru teringat, kepada mitos mengenai burung Garuda, yang menjadi kendaraan Dewa Wisnu nun-jauh di atas. Dalam hal ini, terjadi mistifikasi suatu hal yang dalam pandangan sejarah tidak pernah ada.
Mistifikasi atas hal-hal yang bersifat historis, adalah sesuatu yang sangat lazim dalam kehidupan kita. Penulis sendiri, sewaktu berumur lima tahun sering membukakan pintu di rumah, Jl. Diponegoro, Jakarta, bagi seorang tamu yang mengatakan; adakah ayah penulis di rumah? Kalau penulis menjawab positif, orang itu lalu menyatakan agar penulis memberitahu sang ayah, bahwa ada Pak Husein ingin ketemu. Lelaki berbaju biru, dengan kulit hitam yang datang setelah maghrib itu, kemudian di rangkul oleh ayah penulis dan mereka berciuman sangat hangat, seperti laiknya dua orang bersaudara yang sudah lama tidak bertemu. Baru menjelang 40 tahun kemudian, sebelum wafat, ibu penulis mengatakan bahwa Pak Husein itu adalah Tan Malaka.
Padahal dalam benak kita, terjadi mistifikasi atas diri seorang komunis, apalagi ia menjadi anggota komintern pada waktu itu, di bawah pimpinan Yosef Stalin. Menurut mistifikasi tersebut, seorang komunis tentunya digambarkan tegap dan besar, dan menggunakan nama samaran yang membedakannya dari orang biasa. Bukankah ia adalah tokoh misterius yang selalu hidup di bawah tanah dan harus mampu menyembunyikan idenditas dirinya? Dengan mistifikasi seperti itu, ia tampak menjadi lebih pandai dari orang biasa dan lebih mampu menyembunyikan diri. Padahal dalam kenyataan fisik, ia tidak demikian, seperti Tan Malaka.
*****
Sekali lagi, salah satu mistifikasi yang terjadi adalah tokoh-tokoh NU. Para Kiai yang mendirikan dan–yang, kemudian memimpin organisasi tersebut, adalah orang-orang tradisional yang sering dianggap konservatif. Karena penampilan mereka, baik dalam berpakaian maupun mengatur rumah, sepintas lalu mereka tampak konservatif. Apalagi mereka tidak mampu berbahasa Barat (Inggris dan Belanda), dan tidak pernah berpendidikan formal “sekolah umum”. Mistifikasi seperti itu merupakan kenyataan bahwa mereka belajar logika melalui kitab-kitab ilmu mantiq, dan ketiga perangkat fiqh-ushul figh-qawa’idul fiqh, mengajarkan pada mereka bagaimana harus memperlakukan kehidupan secara praktis.
Apalagi, kalau mereka harus mempelajari sastra Arab dan sejarah Islam, seperti penulis. Dengan mempelajari sastra Arab, seseorang harus mengikuti produk-produk yang menjadi khazanah keindahan sastra dan bahasa Arab. Dari ke tujuh sajak bergantung (al-mu’allaqat as-sab’ah) di dinding Ka’bah saja, orang akan mendapatkan keindahan bahasa, pengalaman dan visi kehidupan berbeda-beda dari orang Arab selama lebih dari 1500 tahun. Ungkapan-ungkapan dan susunan kalimat yang sangat menarik dari para penyair, dibentuk oleh penggunaan kata-kata indah akan menghanyutkannya ke alam khayal yang bersifat kepahlawanan, romantisme dan geniusitas manusia Arab, belum lagi realitas kehidupan serba bagai.
Dari sejarah Islam, seseorang akan memperoleh gambaran mengenai keluasan hidup manusia-manusia muslim dari berbagai kawasan di dunia. Tentu manifestasi kehidupan orang-orang Kano di sebelah utara Nigeria, tidak sama dengan cara hidup tropis yang membentuk manusia Asia Tenggara. Para ahli fiqh/hukum Islam di jazirah Arabia dua tiga abad yang lalu, tentu tidak akan merumuskan hukum agama yang sama dengan rumusan Kiai Arsyad al-Banjari, yang dikuburkan 200-an tahun lampau di Kelampaian, Martapura (Kalimantan Selatan). Hukum perpantangan dalam soal perwarisan yang dikemukakannya dalam corpus magnum beliau, Sabiila al-Muhtadien (ini menjadi nama Masjid Agung kota Barjarmasin), seluruhnya berpijak pada budaya air dari sungai besar di pulau tersebut, seperti Mahakam dan Barito. Menurut hukum perpantangan ini, harta yang diperoleh suami dan istri adalah hasil usaha bersama. Karena sang istri yang menjaga keamanan perahu dan menanak nasi–ketika berlabuh di tepian sungai, sedangkan sang suami masuk ke hutan untuk mengumpulkan hasil-hasilnya, hingga kalau salah satu meninggal dunia, harta itu diparuh untuk diberikan pada yang masih hidup, dan selebihnya dibagi menurut aturan waris.
*****
Mistifikasi yang sama juga terjadi atas sejarah lama kita. Selalu tergambar di benak kita sikap ramah dan kasih (benevo-lence) dari raja-raja Jawa yang, kalau digabungkan dengan gambaran sebagai raja yang adil, akan memperlihatkan seorang tokoh yang penyabar, cinta pada rakyatnya, berpandangan jauh ke depan dan mampu menyantuni orang lain. Padahal, Sultan Agung Hanyokrokusumo sering kali bercengkerama dengan para dayang di atas panggung/gazebo, di Tamansari yang dikelilingi air dan di beberapa tempat dikelilingi daratan seperti pulau, lengkap dengan pepohonannya. Di situlah Sultan Agung sering memerintahkan dilepaskannya para tahanan politik yang tidak bersenjata, dan dikejar-kejar banyak buaya. Beliau menikmati jeritan orang-orang yang beberapa waktu kemudian di makan sang buaya.
Begitu juga, mistifikasi yang terjadi atas raja Jawa yang menjalani hari penobatan (coronation, jumenengan) mengikuti salah satu paham pra-Islam. Pada malam sebelumnya, ia harus melakukan hubungan seksual dengan Ratu Roro Kidul, guna memperoleh kekuatan untuk memerintah negeri. Untuk keperluan itu, diambillah seorang gadis yang sangat cantik–dari negeri itu, untuk pada malam harinya dimasuki roh beliau dan disetubuhi oleh sang calon raja. Ini semua, dilakukannya di hutan terdekat dengan keraton. Bukankah ini sebuah mistifikasi yang belum pernah terbukti kebenarannya sama sekali? Kalau memang ini benar, bukankah ini sebuah mistifikasi, karena siapa yang dapat menjamin merasuknya sukma Ratu Roro Kidul ke dalam diri wanita cantik yang digunakan untuk itu?
Dengan demikian, jelaslah, bahwa mistifikasi atas fakta-fakta sejarah memang terjadi dalam perjalanan panjang setiap bangsa. Tugas para sejarawan adalah memisahkan fakta sejarah dari mistifikasi, dan dengan demikian, memisahkan kenyataan sejarah dari legenda. Kegagalan seorang sejarawan untuk melakukan pemisahan seperti itu, hanya akan berujung pada penafsiran yang salah atas sejarah. Karena itu, sering kali kita harus berhati-hati terhadap kecenderungan untuk mencari tema-tema besar dalam memahami sejarah masa lampau kita sendiri. Terutama dalam memisahkan mana yang faktual dan mana yang mitos dari “kebesaran” kerajaan-kerajaan masa lampau, seperti Majapahit dan Sriwijaya.