Ketika Santri “Mengikuti” Rekaman Wayang
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Semasa mengikuti pendidikan SMEP di Growongan Lor (Yogyakarta), penulis ‘indekost’ di rumah H. Djunaidi di Kauman Jogyakarta untuk 3 tahun lamanya. Tokoh yang kemudian menjadi anggota Majelis Tarjih Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah itu adalah penjahit terkenal di kotanya. Penulis sendiri yang baru berusia belasan tahun waktu itu, pada pertengahan 1954 hingga pertengahan 1957, sering kali “menimba ilmu” fiqh dari beliau. Juga cara hidup beliau yang penuh dengan kesederhanaan, di samping penghormatan tulus kepada para ulama baik dari lingkungan organisasinya, maupun dari Nahdlatul Ulama (NU), terasa sangat mengesankan bagi penulis pada usia formatif (pembentukan kepribadian) tersebut. Salah satu ‘kegemaran’ beliau adalah memperdengarkan rekaman radio dari pagelaran Ketoprak, yang disiarkan Radio Republik Indonesia (RRI) stasiun Yogyakarta.
Baru-baru ini, saat 2 hari 2 malam penulis mengulangi pengobatan matanya di sebuah tempat, penulis membawa rekaman pagelaran wayang kulit dengan dalang Ki Timbul Hadiprayitno, dengan lakon/cerita “Karno Tanding”. Selama masa pengobatan itu, rekaman pagelaran wayang kulit yang terdiri dari 8 buah kaset itu “diselesaikan” oleh penulis. Kaset terakhir, penulis dengarkan dalam cassette player yang ada dalam sistem suara (sound system) mobil. Terjadi dialog antara diri penulis, sistem nilai yang dianutnya dengan sistem nilai yang digunakan dalam kisah epic karya seorang sarjana India itu, yang penulis baca puluhan tahun yang lalu. Segitiga nilai itulah yang ingin penulis kemukakan dalam artikel ini. Dalam hal ini “perbenturan” nilai-nilai itu menjadi sangat penting bagi penulis, dan ia ingin “berbagi rasa” dalam proses tersebut.
Dahulu, seorang santri (penganut ajaran Islam yang taat pada angamanya), tidak akan “menonton” wayang kulit. Ini dialami KH. Ahmad Mutamakkin (Kajen, Pati), yang memimpin sebuah tarekat, diadili oleh “Menteri Agama” (Khatib Anom) cucu/turunan Sunan Kudus, Ja’far Shadiq. Dalam “proses pengadilan” di jaman Amangkurat IV itu, seperti diceritakan oleh ‘Serat Cebolek’ ditinjau ulang dan dijadikan disertasi doktor oleh R. Subardi pada Monash University di Melbourne (Australia), Khatib Anom membela pendirian para ahli fiqh di paruh kedua abad ke-18 Masehi itu. “Serat Cebolek” itu bercerita tentang “dialog” dalam proses itu, yang mengemukakan bahwa KH. Mutamakkin (disebut sebagai Kyai Mutamakkin), yang menurut “versi keratin/penguasa” akhirnya kalah dan minta ampun.
Dalam versi lain, yaitu Kidung yang beberapa tahun lalu dibacakan dalam Khaul/peringatan kematian beliau tiap tahun di Kajen, dihadiri oleh sekitar 100.000 orang Kyai Mutamakkin justru memenangkan atas Raja Pakubuwono II dari Keraton Surakarta Hadiningrat. Dalam hal ini, Raja tersebut justru mengikuti Suluk (teks doa-doa) dalam tarekat yang dipimpin Kyai kita itu. Salah satu ‘tuduhan’ yang diarahkan kepadanya oleh para ahli Fiqh, adalah kegemarannya untuk menonton wayang kulit, terutama dengan lakon “Bima Sakti/ Dewa Ruci”, seperi penulis yang telah dua kali mengundang dua orang dalang (termasuk Ki Entus dari Tegal) untuk mengelar wayang kulit di dekat rumahnya, di Ciganjur Jakarta-Selatan .
Dalam rekaman “Karno Tanding” itu, dalang mengemukan bagaimana perang tanding menggunakan jemparing (panah) antara Adipati Karno dan Arjuna. Yang menarik “versi Jawa” itu mengemukakan, bagaimana Prabu Salya (mertua Adipati Karno) menghentakan kuda penarik kereta yang dikusirinya, sehingga sang Adipati Karno yang sudah meluncurkan panah Kuntawijayadanu, terpaksa melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana senjata pusaka itu hanya mengenai rambut atau mahkota Arjuna, Raja Amarta. Pada saat itu, Raja Krisna dari negara Dwarwati, menjadi kusir kereta (chariote) yang digunakan Arjuna. Ia pada saat itu meminta Prabu Arjuna, untuk melepaskan anak panahnya, senjata pusaka Pasopati. Anak panah mengenai Adipati Karna, dan ia mati seketika.
Buku mengenai tokoh-tokoh Mahabarata yang ditulis orang India itu, menggambarkan Krisna sebagai “tokoh licik” (master of deceit) yang penuh dengan tipu daya dalam menghadapi lawan. Dalam rekaman lakon yang diceritakan Ki Timbul itu, Prabu Krisna adalah seorang tokoh setia yang “jujur-jujur” saja.
Kalau perbedaan dua versi ini menggambarkan bagaimana obyek dapat di “lihat’ oleh dua pendekatan budaya yang berbeda (dalam hal ini antara India dan Jawa), maka dapat dimengerti jika penulis artikel ini juga mempunyai pandangannya sendiri mengenai Komisi Pemilihan Umum (KPU). Di mata penulis, KPU melakukan kecerobohan dalam persiapan pemilu tahun ini, memihak kepada peserta tertentu dan melakukan manipulasi penghitungan suara. Di mata orang lain, KPU adalah “lembaga formal/resmi” yang tidak dapat diganggu gugat.
Hal lain, yang sangat menarik perhatian penulis, adalah “pesan abadi” yang dibawakan Ki Timbul. Dalang bercerita, Arjuna menolak untuk menjadi senopati/ panglima perang kaum Pandawa. Ini berarti, ia harus bertempur sampai mati melawan kakak lain ayah, yaitu Adipati Karno Raja Muda (viceroy) Awangga, yang menjadi Senopati Agung dari pihak Kurawa. Ada persamaan antara sikapnya itu dengan ucapan Nabi SAW: “Bukan golongan kita, orang yang tidak menyayangi kaum muda dan tidak menghormati kaum tua” (Laissa minna mallam yarham saghiranaa, walaa yuwaqqir kabiirana). Baru setelah ada laporan, bahwa Adipati Karno mempermalukan dirinya dengan melepas senjata pusaka berupa anak panah bukan untuk membunuh Wara Srikandi (istri Arjuna), melainkan hanya untuk membuat terlihat payudaranya, maka Prabu Arjuna pun langsung meminta diangkat menjadi senopati/panglima perang kaum Pandawa.
Episode di atas menunjukkan, bahwa kakuatan saja tidak cukup untuk digunakan menopang sebuah pemerintahan melainkan ada aspek lain yang harus dimiliki juga, yaitu batas-batas moral dalam penyelenggaraan kekuasaan. Tanpa moralitas yang kokoh, kekuasaan hanya akan membawa kesulitan dan keboborokan hidup bersama belaka. Kembali ingatan penulis melayang ke KPU lagi. Pelanggarannya atas 5 buah Undang-Undang menunjukkan tidak adanya kedaulatan hukum di negeri kita saat ini. Apalagi dijalankan dengan sikap sangat arogan/sombong, yang justru ”sepi” dari wawasan moral tersebut. Dalam hal ini, penulis ingat kepada firman Allah Swt “Dan jangan kalian campur adukan kebenaran dengan kebathilan, serta jangan kalian tutup-tutupi kebenaran, jika kalian ketahui” (Wa la talbisu al-haqqa bi al-bathil wa taktumu al-haqqa wa antum ta’lamu).
Demikianlah dua buah pelajaran penting yang penulis ambil dari rekaman pagelaran wayang dengan dalam Ki Timbul Hadiprajitno tersebut. Yaitu bahwa setiap masalah dapat ditinjau dari berbagai sudut pandangan dan bahwa moralitas adalah ‘pesan abadi’ yang harus terus menerus diperjuangkan dalam kehidupan, termasuk kehidupan kita bersama selaku bangsa dan negara. Jika ini kita lupakan, jadilah kita orang-orang yang hanya bersandar pada kekuasaan belaka, sedangkan sebenarnya ia hanyalah ‘alat’ untuk mencapai masyarakat adil dan makmur menurut pembukaan undang-undang dasar kita sebagai sebuah proses jangka panjang, yang “dituangkan” dalam perjuangan menegakkan demokrasi. Mudah dikatakan, namun sulit dilaksanakan bukan?