Arti Sebuah Perbandingan
Oleh: KH. Abdurrahman Wahid
Hari-hari terakhir ini kita dikejutkan oleh demo kaum minoritas India di Malaysia. Kita saksikan dari tayangan televisi internasional seperti CNN dan BBC World Service, mereka menggunakan cara-cara damai seperti mendiang Mahatma Gandhi yang sejak permulaan abad ke-20 melawan berbagai tindak kelaliman di India.
Ini sesuai dengan seruannya untuk melawan tanpa kekerasan (Ahimsa), melakukan perjuangan terus-menerus di jalan yang benar untuk mencapai cita-cita (Satyagraha), dan kemandirian sebuah bangsa (Swadesi). Mahatma Gandhi sendiri mencintai kaum sudra yang demikian melarat dan merupakan kasta terendah dalam tata sosial masyarakat Hindu. Banyak dari mereka yang kemudian menyatakan diri sebagai kelompok tidak berkasta. Dalam hal ini, Gandhi sendiri menamai mereka sebagai anak Tuhan yang dalam bahasa aslinya disebut sebagai harijan.
Dari kelompok ini muncul tokoh-tokoh yang hebat, yaitu para pejuang gigih yang mengikuti perjuangan Gandhi seperti Nayaran dan Zakir Husein. Akan tetapi, baik Perdana Menteri Abdullah Badawi (Pak Lah) maupun para menteri terkait serta Kepolisian Diraja Malaysia justru dengan marah menyatakan perjuangan para demonstran penuh dengan kekerasan. Bagi kita sederhana saja, siapakah yang berbohong dalam hal ini? Jawabnya mudah diterka. Ketika wasit karate kita dipukuli oleh pihak Kepolisian Malaysia, mereka pun menyatakan tidak melakukan pemukulan sama sekali. Selain itu, tidak pernah ada penyelidikan objektif oleh pihak ketiga dalam kasus ini.
Dengan demikian, kita tidak pernah tahu mana yang benar antara dua buah klaim saling bertentangan. Pernyataan yang tidak jelas kebenarannya juga sering keluar dari aparat penegak hukum kita. Ada cerita tentang Mike Tyson yang sedang bertanding. Tyson duduk di pojok ring untuk istirahat. Pada saat itu keringatnya diseka handuk. Handuk itu diperas begitu kering oleh seorang penyeka keringat. Tyson yang keheranan bertanya kepada orang itu, “Dari mana asalmu? Dan mengapa Kamu dapat memeras seluruh keringat saya hingga kering?” Orang itu menjawab dari Indonesia.
Dia juga sudah terbiasa “memeras keringat” orang karena sudah dua puluh lima tahun bekerja di kejaksaan. Ini adalah lelucon yang memalukan, sebagai respons atas kelakuan para petugas di lembaga-lembaga yang bersangkutan. Ketika di Jepang diumumkan tiga orang yang mati digantung karena kejahatan mereka, Menteri Kehakiman Jepang dengan tegas menyatakan ia yang memerintahkan hal itu karena selama ini sama sekali tidak diumumkan. Alasannya, untuk menjaga perasaan keluarga orang-orang bersangkutan. Ketika penulis artikel ini menyatakan kepada media massa bahwa Adelin Lis pergi ke Cikeas, Andi Mallarangeng menyatakan pernyataan itu bohong.
Penulis mempersilakan Andi Mallarangeng untuk mengajukan somasi, namun sampai hari ini (sudah lebih dari dua minggu) hal itu tidak dilakukan. Padahal, yang dikemukakan Susilo Bambang Yudhoyono kepada sidang kabinet setelah kejadian itu memang benar. Dia tidak pernah bertemu dengan Adelin Lis, karena yang bertemu adalah Suko Sudarso. Jadi yang berbohong adalah Andi Mallarangeng. Kasusnya hampir sama dilakukan oleh Menko Kesra Aburizal Bakrie melalui PT Lapindo Brantas.
Dia menjanjikan seperlima harga tanah di Porong akan dibayarkan kepada penduduk setempat karena dia sendiri tahu bahwa empat perlima harga tanah itu tidak mungkin dibayar oleh PT Lapindo Brantas. Sebuah bank besar di Jakarta menolak memberikan pinjaman kepadanya untuk itu. Ada suatu hal yang sama dalam kedua hal itu, yaitu kebohongan dipakai sebagai alat untuk menipu rakyat. Ini sudah tentu merupakan hal yang sangat menyedihkan bagi mereka yang mengikuti kedua perkembangan tersebut dengan saksama dan berhati-hati.
Nah, sebuah pemerintahan yang aparatnya suka berbohong, dapatkah diserahi tugas melaksanakan hukum dengan adil dan jujur? Inilah jawaban atas pertanyaan tersebut: tidak dapat. Karena itu penulis artikel ini memang sengaja meminta agar demokrasi penuh ditegakkan di negeri ini karena minimal penegakan demokrasi akan memerlukan kedaulatan hukum dan pelaksanaan peraturan-peraturan dalam segala bentuk, akan menjadi tuntutan terbuka yang tidak dapat diabaikan. Kita memiliki negeri yang besar dan bangsa yang kuat.
Dengan penduduk berjumlah 210 juta lebih dan bentang areal sekitar 5.000 kilometer dari Merauke ke Sabang, Indonesia dapat dianggap sebagai sebuah negara dan bangsa yang besar. Tapi kini, mengapa negara-negara tetangga kita tidak menganggap demikian? Karena kita memang saat ini memiliki pemimpin-pemimpin “berukuran” kecil dan hanya pantas menjadi bangsa yang kecil dan melarat. Kita memerlukan gagasan besar dan para pemimpin besar bagi sebuah bangsa besar dan negara yang kuat. Sudah seharusnya kita mempunyai orientasi pembangunan nasional yang bersifat merakyat dan tidak hanya mengurusi orang kaya saja. Kalau demikian, kita tentu memerlukan sebuah arah atau orientasi baru sama sekali bagi pembangunan nasional kita di masa depan, bukan?
(Artikel ini dimuat pertama kali di Koran Sindo, 15 Desember 2007)