Hasil dan Biaya Tak Sepadan
Oleh: KH. Abdurrahman Wahid
Saya gunakan cara yang tidak biasa dalam tulisan ini, yaitu cara tanya jawab yang jarang digunakan dalam penulisan kolom. Bagaimana Anda memandang hasil-hasil tidak resmi dalam pemilihan gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta?
Tidak sepadan hasil dan biayanya. Mengapa demikian? Karena pemilihan gubernur dilakukan secara curang. Mengapa Anda berpandangan demikian? Karena tiga hari sebelum hari pemilihan, Kapolda Metro Jaya memanggil semua kapolres. Dari sini kita tahu bahwa pihak Polri akan melakukan kecurangan dalam pilkada.
Mengapa? Karena pihak Polri tentu ingin ‘menjaga’ agar mantan Wakapolri mereka tidak kalah atau dipermalukan dalam pilkada itu. Lalu, mengapa tidak terjadi demikian? Dalam kenyataan, Fauzi Bowo dan calon wakilnya yang menang. Karena ada serangan fajar dari pihak TNI pada hari pemilihan. Presidennya juga curang karena sebelum itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengeluarkan peringatan hanya kepada Polri agar bersikap netral dalam pilkada.
Alangkah memalukan. Di sini seperti ada hubungan buruh dan juragan yang mempunyai hukum-hukumnya sendiri. Menurut hitungan sebuah harian terbitan ibu kota (9/8/2007), ada sekitar 33% suara golput alias golongan putih, yaitu mereka yang tidak memberikan suara sama sekali seperti Anda. Apa artinya? Percuma saja. Toh, diapa-apakan semuanya ditentukan ‘dari atas’. Dari percakapan di atas, jelas bahwa telah terjadi sesuatu yang dianggap biasa saja sekarang. Padahal, hal seperti itu akan mematikan pertumbuhan demokrasi di negeri ini. Kebiasaan berbohong pada bangsa ini secara kolektif belum hilang sama sekali pada saat ini.
Lalu, kapankah hal itu hilang? Apakah tandanya? Yaitu, kalau kebohongan-kebohongan politik sudah tidak ada lagi. Bagaimana menghilangkannya? Jangan tanya penulis artikel ini, kita memang sudah ditakdirkan untuk menonton lakon yang tidak sedap ini. Penulis sebenarnya berharap meninggal pada umur 75 tahun atau sekitar 8 tahun lagi. Namun, tampaknya tidak akan terwujud karena semua proyeksi menunjukkan penulis akan berumur panjang. Paling tidak, dalam waktu dekat ini penulis akan menyaksikan bagaimana Presiden SBY dipanggil Polda Metro Jaya, sehubungan pengaduannya dan istrinya tentang apa yang diucapkan Zaenal Ma’arif tentang SBY.
Ketika Zainal Ma’arif meminta maaf, itu hanya meliputi kata-katanya yang dirasa menyinggung Ibu Negara, alias Ibu Ani. Di luar itu, Zaenal tetap saja pada pendirian semula. Hal inilah yang mendorong penulis untuk bersikap murung pada saat-saat ini. Bahkan, penulis harus mengorbankan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dengan cara tidak memasukkan calonnya dalam Pilkada DKI Jakarta karena ‘dikehendaki’ SBY. Toh, ‘pengorbanan’ itu tampaknya sia-sia saja.
Memang, penulis mendapati bahwa bangsa kita belum mau diajak bersikap lugas. Tetapi, ini tentu saja juga ada rakyat yang marah karena merasa ditipu. Kalau sampai hal ini terjadi, penyebabnya tentu sistem pilkada itu sendiri. Semua yang diceritakan di atas adalah kenyataan sebagaimana dilihat penulis artikel ini. Tentu saja, orang lain akan melihatnya sebagai sesuatu yang lain lagi. Sejarahlah yang nantinya akan menentukan versi langgeng yang sebenarnya. Memang sulit untuk mencari kebenaran yang objektif pada saat ini. Kita baru sampai pada kebenaran subjektif.
Cepat atau lambatnya periode ini dilalui, tergantung kepada kita semua. Akankah kita segera mencapai kebenaran objektif itu, ataukah memang kita masih harus berlama-lama dalam hal ini? Ini adalah pertanyaan besar yang kita miliki pada saat ini dan belum dapat ditentukan sampai kapan ditemukan kebenaran objektif yang kita ingini. Apakah ini berarti perjuangan kita saat ini belum ada tanda-tanda akan berakhir? Atau dapat diselesaikan dalam waktu tidak lama lagi? Ini jelas tantangan bagi kita semua. Dapat saja ia berlangsung lama, tetapi dapat juga cepat.
Semuanya tergantung pada kemampuan kita untuk mencari jawaban. Ia merupakan tonggak-tonggak sejarah yang harus dilalui dengan baik dan dengan daya tahan yang memungkinkan, perjuangan itu sendiri selesai dengan baik. Barang biasa dalam sejarah umat manusia, bukan?