Kaum Syi’i di Irak: Persoalan Minoritas?
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Banyak analisa mencoba melihat, salah satu segi persoalan yang dihadapi Irak kini — di tengah peperangan dengan Iran — adalah persoalannya dengan kaum Syi’i, salah satu paham dalam agama Islam yang di Iran dianut oleh Ayatullah Khomeini, Analisa itu belum tentu benar, tapi baik juga dilihat latar belakangnya. Untuk itu TEMPO telah meminta Abdurrahman Wahid menuliskan catatannya. Abdurrahman, yang tulisannya sering kita ikuti di majalah ini, pernah tinggal di Irak antara 1966-1970.
BERAPA kuat sebenarnya kaum Syi’i di Irak? Jawabannya: tak diketahui persis — hingga tak diketahui benarkah mereka merupakan “minoritas”. Sensus nasional dengan sengaja hanya mencantumkan kolom agama, bukan paham. Dengan sendirinya tidak diketahui berapa yang muslimin Syi’i dan berapa yang muslimin Sunni. Kecuali dengan cara kira-kira saja.
Bermacam-macam faktor mendorong sikap yang menghindari penghitungan ini. Faktor utama tentu saja perkembangan historis. Irak lama berada di bawah ‘pengayoman’ dinasti Utsmaniyyah (Ottoman), yang mengikuti paham Sunni. Iran, negeri tetangganya, sebenarnya juga berpaham sama — hingga abad ketujuh belas. Ketika itu dinasti Safawi yang berpaham Syi’i berhasil ‘membebaskan’ Iran dari paham Sunni. Nah, sejak itu terjadi perembesan paham Syi’i ke negeri sekitar. Mula-mula sedikit demi sedikit, lama-kelamaan menjadi lebih banyak. Kaum Syi’i masuk ke Irak, ke Kuwait, dan negara-negara Teluk lainnya. Juga Arab Saudi mereka masuki.
Tapi pemerintahan yang cenderung Sunni tetap bertahan, walaupun kekuasaan dinasti Utsmaniyyah diakhiri secara formal di tahun 1924, ketika Kemal Artaturk dari Turki menumbangkannya. Irak pun menjadi daerah protektorat Inggris. Hanya, ia sering main mata dengan musuh bebuyutan Inggris, yaitu Jerman. Mula-mula dengan Republik Weimar, kemudian juga dengan rezimnya Adolf Hitler. Karena itu, Inggris memainkan musik kursi dengan menaikkan dan kemudian menurunkan raja-raja Irak silih berganti. Ini mengundang kemarahan gerakan-gerakan nasional, yang melihat bahwa kedaulatan politik formal di tangan raja tidak lain hanyalah tipuan belaka: kedaulatan itu tidak memiliki kekuasaan nyata.
Akhirnya monarki jatuh. Republik menjadi pola pemerintahan. Ideologi politisnya silih berganti, dengan warna antara nasionalisme dan sosialisme. Tapi sementara itu ‘ideologi agama’ pemerintah di Irak tetap saja: bercorak Sunni. Sudah tentu, dengan konsesi yang semakin bertambah terhadap tuntutan demi tuntutan kaum Syi’i Irak.
Mula-mula mereka mendapat izin mengatur sendiri kehidupan mereka secara bebas. Artinya, pengakuan diberikan kepada otoritas ‘sumber keputusan agama’ (maraji’ al-din) itu kelompok dua belas ulama tertinggi mereka yang kebanyakan bercokol di Kota Najt. Di bawah pimpinan kiai’ Kasyif al-Ghita di tahun-tahun enam dan tujuh puluhan, kelompok penekan ini berhasil memperoleh konsesi demi konsesi dari pemerintah.
Salah satu alat penekan adalah kenyataan, bahwa banyak penduduk berpaham Syi’ah praktis ‘menguasai wilayah sebelah selatan Irak, dari Kota Baghdad ke Basrah. Daerah tengah dan utara, dari Baghdad sampai Mosul (sekarang bernama Ninawa) mayoritas penduduk memang berpaham Sunni. Tetapi ada sebuah daerah kantung di tengah yang mutlak berada di tangan kaum Syi’i, yaitu Kota Samarra, tempat kelahiran (dan kemudian ‘kenaikan kelangit’) imam penghabisan Syi’ah Imamiyah, Imam Muhammad Al-Mahdi di tahun 260 Hijri.
Diandaikan kaum Sunni masih menjadi mayoritas sekalipun, dengan pembagian wilayah seperti itu pemerintah tidak dapat tidak haruslah menjadikan diri ‘pemerintahnya orang Syi’i’ juga. Apalagi kalau klaim pihak Sunni, bahwa mereka menjadi mayoritas penduduk Irak, ternyata tidak benar.
Dan inilah yang diam-diam diusahakan oleh pihak Syi’i: supaya kaum Syi’i sendiri menyadari pihaknya adalah yang justru menjadi mayoritas di Irak.
Sudah tentu hal ini tidak boleh dibiarkan, dan karena itulah sensus nasional tidak mau tahu dengan perbedaan paham dalam kesatuan iman kaum muslimin di Irak itu. Tetapi kenyataan tidak dapat lama-lama dibendung. Harus segera ada kejelasan, karena kalau tidak, akan terdapat kesenjangan sangat besar dalam kehidupan politik.
Kaum Syi’i tidak pernah diwakili dalam kepresidenan, juga dalam jabatan ketentaraan tertinggi dan dalam banyak kedudukan utama lainnya, Bahkan di posisi yang termasuk paling strategis bagi mereka: Menteri Urusan Wakaf.
Pemerintahan kaum Sunni tentu tidak dapat melepaskan kesemua jabatan itu, karena bertentangan dengan klaim mereka akan status mayoritas bangsa. Dan klaim itu didukung dengan menghindari cacah jiwa yang sebenarnya.
Suasana lingkaran setan, bukan? Ini ironis, karena di saat Irak diserang Iran, pemerintahnya tidak tahu setepat-tepatnya, berapa besar persentasi penduduknya yang mungkin bersimpati kepada musuh, berdasarkan kesamaan paham dalam menghayati kebenaran iman yang satu.
Inilah susahnya kalau tidak ada yang tahu sebenarnya, apakah kaum Syi’i Irak memiliki status faktual sebagai mayoritas atau minoritas bangsa.