Jilbab dan Demokrasi Prancis
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Beberapa waktu yang lalu, Parlemen Prancis mengesahkan sebuah undang-undang yang melarang pemakaian jilbab (hijab) di lembaga pendidikan dan lembaga milik pemerintah negara anggur itu. Dengan suara mendukung 494 melawan 36, parlemen menerima rancangan undang-undang tersebut, yang lebih dulu disetujui oleh pemerintahan Prancis. Karuan saja hal itu menimbulkan reaksi cukup hebat di kalangan kaum muslimin seluruh dunia. Padahal, undang-undang yang disahkan parlemen itu tidak dikhususkan bagi orang-orang Islam saja, yang sekarang merupakan kelompok kedua terbesar di negeri tersebut. Undang-undang yang ditujukan kepada semua pihak, menyatakan bahwa sekolah-sekolah negeri dan semua lembaga milik negara tidak memperkenankan penggunaan “simbol” yang berhubungan dengan agama tertentu. Berarti ia juga berlaku bagi penganut Katolik dan Yahudi Orthodok yang menggunakan tutup kepala kecil (kippa) untuk menyatakan keyakinan mereka. Lain halnya, jika pemakaian jilbab/hijab itu dilakukan oleh sekolah-sekolah dan lembaga swasta itu.
Besarnya reaksi kaum muslimin atas undang-undang tersebut, karena ada salah informasi yang mereka terima. Seolah-olah peraturan tersebut ditujukan hanya terhadap kaum muslimin saja. Distorsi itu berakibat cukup fatal karena dihembus-hembuskan oleh media internasional yang tidak menggunakan informasi yang benar tentang hakikat undang-undang itu sendiri. Padahal untuk memahami adanya peraturan tersebut, diperlukan pengetahuan cukup tentang latar belakang permasalahannya. Informasi keliru ditambah langkanya pengetahuan akan latar belakang diberlakukannya peraturan tersebut, mengakibatkan reaksi yang sangat besar di dunia Islam. Di samping sikap acuh tidak acuh yang diperlihatkan dunia politik Prancis termasuk birokrasinya, mengakibatkan sangat sedikitnya informasi yang tersebar di kalangan kaum muslimin sedunia.
Ini berbeda dengan kalangan Yahudi, yang cukup dewasa menanggapinya, sehingga tidak terdengar hingar-bingar reaksi di kalangan mereka. Reaksi kaum muslimin tersebut juga diperparah oleh kenyataan bahwa ada “pertentangan sengit” antara mereka yang menghendaki dan mereka yang menolak gagasan “negara Islam”. Hal itu terjadi juga, ketika Nahdlatul Ulama (NU) bekerjasama dengan pihak Departemen Luar Negeri menyelenggarakan Konferensi Cendikiawan Islam Internasional di Jakarta baru-baru ini. Dalam kesempatan itu, minimal di luar sidang-sidang konferensi itu, terdapat reaksi cukup besar yang menggambarkan ketidakmengertian sangat luas atas undang-undang tersebut. Reaksi itu antara lain diperlihatkan oleh sementara peserta yang tidak memperoleh pengetahuan yang cukup akan hal itu. Sementara pihak kaum muslimin “garis keras” di Prancis sendiri, yang demi kepentingan tertentu, rela menggalang reaksi atau mendorong reaksi keras tersebut.
Padahal, penulis tahu persis, bahwa terdapat peluang sangat besar melalui “diskusi-diskusi bertanggung jawab” antara pihak kaum muslim dengan pemerintah Prancis untuk merubah undang-undang tersebut. Persolannya terletak pada cukup besarkah pengaruh undang-undang itu menutup kebebasan” bagi pemakai jilbab/hijab di negeri itu. Kalau cukup besar, dengan sendirinya akan diamandemen oleh Parlemen di Prancis, kalau tidak, maka undang-undang itu akan terus berlaku sebagai “aturan permainan” bagi semua pihak. Ini tentu saja tidak hanya bagi kaum muslim belaka melainkan juga bagi orang-orang Yahudi di negeri tersebut.
*****
Tentu saja, undang-undang itu ada latar belakang historisnya, sehingga tidak adil kalau kita mengemukakan penilaian atasnya tanpa mengetahui sejarahnya. Latar belakang itu dimulai 4 abad yang lalu, ketika bangsa Prancis harus mengambil keputusan atas pertentangan tajam antara berbagai kalangan agama, sehingga dibutuhkan “netralitas” negara untuk mengatasi pertentangan yang sudah cenderung menjadi sesuatu yang bersifat fisik itu.
Netralitas itu disepakati haruslah berupa kebiasaan-kebiasaan dan peraturan-peraturan yang tidak membela agama mana pun dan negara harus mengupayakan agar peraturan-peraturan yang ada tidak “berbau” agama. Ini adalah jenis “sekularisasi aktif” yang mencerminkan sikap pemerintahan untuk menolak pemberian dukungan dalam bentuk apa pun kepada agama mana pun. Sikap ini dalam bahasa Prancis disebut sebagai “laicite” (sikap membela orang awam secara umum bukanya kelompok keyakinan tertentu). Nah, pandangan bangsa Prancis yang tidak menganggap penting kelompok tertentu ini, sering kali dipahami orang sebagai pandangan “menentang agama”. Ini merupakan sebuah “keadaan khusus” yang berbeda dari pandangan yang umum berlaku di negeri-negeri lain. Ditambah pula oleh begitu banyak karya-karya para penulis dan para sineas/pembuat film Prancis, yang seperti dibiasakan mengkritik dan mengejek agama, ditambah pula, sikap orang awam di negeri itu yang “menjauhi” agama.
Dengan mengetahui latar belakang historis dari pembuatan undang-undang yang melarang jilbab/hijab itu, dengan sendirinya kita lalu tahu, bahwa “perasaan” keagamaan orang Prancis, sebenarnya tidak terlalu jauh, atau bahkan sama dengan pandangan banyak bangsa-bangsa lain. Sikap untuk secara aktif menjaga pemisahan agama dari negara, sebenarnya bukanlah sikap yang harus ditentang atau minimal diragukan komitmennya kepada agama. Karena itulah, tidak mengherankan jika justru di Prancis ada pusat kegiatan yang dinamai “Dunia Islam” (Le Monde Musulman), yang memiliki kegiatan bermacam-macam untuk mempromosikan agama Islam. Namun, pemerintah Prancis tidak memiliki sangkut paut dengan pusat tersebut. Di beberapa universitas di negeri itu didirikan pusat-pusat kajian tentang Islam dan kaum muslimin. Bahkan negara sangat menghargai langkah-langkah untuk mengembangkan agama di negeri itu, seperti dikatakan Presiden Jacques Chirac ketika ditemui penulis dan Imam Besar Masjid Paris di Istana Elysee beberapa bulan yang lalu.
Karena beberapa hal yang diuraikan di atas, penulis beranggapan tidak ada yang aneh dengan undang-undang yang melarang pemakaian jilbab/hijab serta topi Yahudi atau simbol agama lainnya di lembaga-lembaga yang dinaungi oleh pemerintah Prancis. Adalah sesuatu yang janggal kalau kita lalu marah dan menganggap bangsa Prancis “membenci” Islam karena undang-undang tersebut. Banyak yang tidak dilihat orang, adalah peluang cukup besar dalam konstitusi Prancis saat ini, untuk upaya melalui pengadilan guna menghapuskan larangan berdasarkan undang-undang itu. Dengan kata lain secara dewasa kita harus memahaminya sebagai sebuah proses berjangka panjang. Ini adalah sesuatu yang biasa dan normal-normal saja dalam perjalanan hidup sebuah bangsa.
Di sinilah kita melihat arti demokratisasi yang sesungguhnya, yaitu segala sesuatu harus diputuskan melalui pemungutan suara, jika terdapat perbedaan paham mengenai soal yang diperdebatkan, tanpa harus emosi dan berpikir untuk memecahkan masalah di luar undang-undang.
Dari uraian di atas dapat kita simpulkan, bahwa menilai sebuah perkembangan suatu negeri, bukanlah hal yang mudah dilakukan. Kalau kita ceroboh kita justru dapat berbuat sebaliknya dari yang kita ingini: kita lalu menghentikan sebuah proses yang secara historis dapat membawa kepada apa yang tidak kita ingini. Ketika konstitusi kelima (cinquieme constitution) lahir puluhan tahun yang lalu, ketika itu para migran muslim dari luar belum banyak yang datang ke Prancis. Kini kaum migran dari Maroko, Aljazair, dan negeri-negeri Afrika yang mayoritas penduduknya beragama Islam, telah banyak yang menjadi warga negara Prancis dan menjadikan pemeluk agama tersebut kelompok terbesar kedua di Prancis. Sudah tentu ini membawakan akibat-akibatnya sendiri dalam tata hubungan sosial Prancis, sehingga logis saja kalau lalu lahir tuntutan-tuntutan yang saling bertentangan di dalamnya.
Dalam menghadapi tuntutan demi tuntutan yang saling bertentangan itu, mereka menggunakan kebijakan yang luwes tentang persoalan yang harus dihadapi. Fasilitas umum kini juga merupakan hal-hal yang harus diselenggarakan pemerintah untuk kelompok-kelompok khusus, seperti kaum muslimin itu, menjadi kebutuhan sehari-hari yang dianggap “biasa“ di negeri itu, termasuk fasilitas olahraga yang khusus dirancang untuk mereka. Ini tentu akan membawakan tuntutan-tuntutannya sendiri, dan dengan demikian menyembulkan “wajah baru” di negeri itu. Para politisi tentu tidak akan mudah begitu saja memutuskan pemberlakuan hal-hal yang dianggap merugikan Islam. Dengan demikian, sikap yang arif adalah membiarkan semua proses itu berjalan secara alami dan “wajar”. Karenanya kita memang harus banyak bersabar. Hal ini mudah dikatakan, namun sulit dilakukan, bukan?