Syariatisasi Hukum Nasional
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Dalam sebuah dialog antaragama di Tana Toraja pada Senin kemarin, oleh seorang mahasiswi Sekolah Tinggi Teologi di Rante Pao penulis ditanya pandangannya tentang beberapa keputusan syariatisasi hukum oleh beberapa Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Penulis menjawab bahwa dalam sebuah sidang kabinet sebelum ia lengser, diputuskan bahwa proses itu tidak boleh bertentangan dengan konstitusi/Undang-Undang Dasar yang kita miliki, dengan kata lain yang terjadi adalah proses menasionalisasikan sebagian dari hukum syariah. Dan proses syariatisasi hukum nasional itu berarti tetap adanya pemihakan kepada konstitusi, walaupun nama syariah masih dipakai. Penulis mengatakan, William Shakespeare pernah menyatakan: apa artinya sebuah nama (what is name)?
Pernyataan ini sangat menggoda karena penulis menyadari bahwa pemberian nama “syariatisasi” atas hukum nasional kita memang sangat menakutkan bagi banyak saudara-saudara kita sebangsa dan setanah air. Apa yang diperjuangkan dahulu dengan kesepakatan para pemimpin Islam dengan menghilangkan Piagam Jakarta dari konstitusi kita, yang secara efektif menghalangi upaya mendirikan Negara Islam di negeri kita, sekarang perlahan-lahan merayap kembali. Kapankah upaya ini akan berakhir, dan apakah secara perlahan-lahan negara Islam akan didirikan oleh mereka di Tanah Air kita tercinta? Kekhawatiran seperti inilah yang sebenarnya ada di balik pertanyaan mahasiswi STT Rante Pao itu, yang memerlukan jawaban jujur dan terbuka.
Sudah tentu hal ini sangat mengkhawatirkan mereka yang menginginkan negara sekuler, dalam artian pemisahan agama dari negara (separation of the state from church). Selama hal ini tidak menjadi kemungkinan, selama itu pula tidak terasa kekhawatiran kepada pemberlakuan syariah. Padahal, kata syariah tidaklah demikian menakutkan dalam pelaksanaan sehari-hari, karena adanya proses penafsiran ulang (reinterprestasi hukum) dalam kehidupan sehari-hari kaum muslimin moderat di mana saja. Hal ini berbeda dengan kaum fundamentalis Islam yang memahami syariah secara mengerikan.
Proses seperti inilah yang tidak dimengerti oleh ”orang luar”, seperti kaum non-muslim. Akibatnya Islam secara keseluruhan memperoleh nama buruk dari hal itu. Demikian juga kaum fundamentalis yang masih belum mengakui –tentu saja karena tidak memahami- penafsiran ulang (reinterpretasi) itu sebagai sebuah proses yang sah. Salah pengertian itu telah membuat mereka merasa Islam sebagai sesuatu yang terancam oleh modernisasi penduduk dunia. Salah satu argumentasi yang mereka ajukan adalah sikap menolak hukum apa pun selain hukum Islam, sikap itu diambilnya dari “Barangsiapa tidak menghukumi sesuai dengan apa yang diturunkan oleh Allah maka ia akan berbuat aniaya” (Man lam yahkum bima anzala Allahu fa ula-ikahum al-zalimun). Dalam kenyataan, kata “apa yang diturunkan Allah” telah dipahami oleh umumnya ulama sebagai wahyu/revelasi yang belum tentu dalam rumusan hukumnya berlaku secara harafiah/letter lijk.
Sebuah adagium teori hukum Islam (ushul fiqh) menyebutkan “hukum agama ada atau tidak berdasarkan alasannya” (Al-Hukmu yaduru ma’a ‘illatihi wujudan wa-‘adaman). Dalam kitab suci Al-Qur’an terdapat banyak sekali firman-firman Allah tentang perbudakan. Namun sekarang secara formal di dunia Islam tidak ada lagi perbudakan. Begitu juga harta warisan dibagikan kepada anak lelaki dua kali lipat dari apa yang dibagikan kepada anak perempuan. Dalam kenyataan, banyak terjadi para lelaki “melepaskan” haknya itu sehingga anak perempuan pun mendapat pembagian yang sama dengan anak lelaki. Perubahan ini terjadi karena adanya proses penafsiran ulang (re-interprestasi) ini adalah kenyataan hidup yang terjadi yang tidak dapat dipungkiri oleh siapa pun dan harus diperhitungkan oleh para pengamat dunia Islam.
Kalau ada dua orang mengatakan Allah berfirman “Hari ini telah kusempurnakan bagi kalian agama kalian, kusempurnakan Nikmat-Ku bagi kalian dan Ku-relakan bagi kalian Islam sebagai agama kalian“ (Al yauma akmaltu lakum diinakum wa atmamu a’alaikum nikmati wa-radhitu lakum al-Islamadinan), maka hendaknya dipahami bahwa yang dimaksud di sini adalah prinsip-prinsip saja. Hukum-hukum rincian bukanlah yang dimaksud oleh firman Allah tersebut. Dengan demikian memang Islam adalah agama yang sempurna dalam prinsip-prinsipnya, tetapi hukum-hukum rincian di dalamnya akan terus berkembang sesuai dengan tuntutan jaman. Inilah yang dimaksudkan dengan ungkapan: Islam sesuai dengan tuntutan jaman dan tempat (Al-Islam yashluhu kulla zamanin wal makanin).
Dengan demikian syariah sebagai kompendium hukum Islam (fiqh) dapat mengalami perubahan-perubahan, tanpa kehilangan keasliannya. Karena itu kita lihat dalam literatur fiqh, para sarjana Islam masa lampau selalu “bertengkar” dan berbeda pendapat tentang hukum agamanya tanpa “sungkan-sungkan”. Sebagai contoh, dapat penulis kemukakan di sini kitab Al-Umm karya Muhammad Idris Al-Syafi’i, yang ditulis pada permulaan abad ke 3 Hijriyah/9 Masehi. Dalam karya itu beliau membuat/menyusun beberapa buah traktat yang berjudul kitab Al-raddi a’la al-Syaibani, kitab Al-Raddi a’la al-Nakha’I. Muhammad al-Syaibani dan Ibrahim al-Nakha’i adalah guru beliau yang “dikonfrontir” oleh beliau dengan ungkapan “kau katakan begini-begini, menurut pendapatku begitu-begitu” (Qultu kadza wa kadza, qultu ha kadza wa kadza).
Sekarang ini dunia pemikiran keislaman telah mengalami perubahan sangat besar. Ia tidak lagi hanya bersandar kepada syariah, melainkan juga pada sendi-sendi lain, seperti tauhid (ilmu ketuhanan) dan tasawwuf (spiritualitas). Karenanya, kita melihat adanya perubahan fundamental dalam pemikiran kaum muslimin mengenai kehidupan. Pertama, kehidupan tidak lagi dilihat sebagai masalah pribadi melainkan sebagai bagian dari perubahan susunan masyarakat (social change), sehingga wawasan keadilan pun turut berubah. Seperti firman Allah SWT ”Wahai orang-orang beriman tegakkanlah keadilan dan jadilah kalian sebagai saksi Allah walau yang terkena adalah ‘sebagian’ diri kalian sendiri (Ya ayyuha al-ladzina aamanu Quwamina bi al-Qisthi syuhada lillah walau ‘ala anfusikum).”
Al-Zaribi seorang profesor ahli kajian Islam di Universitas Yarmuk (Jordan), mengemukakan sebuah gagasan yang sangat menarik. Kalau selama ini kita menerima dua macam addilah/pembuktian dalam bentuk addilah naqliyyah (dalil-dalil berupa sumber tertulis/formal) dari kitab suci Al-Qur’an Hadist dan addilah al-‘aqliyyah (pembuktian akal), maka ia mengusulkan adanya sebuah pembuktian yang lainnya, yaitu pembuktian intuitif (addilah dzauqiyyah). Pembuktian terakhir ini yang sangat banyak digunakan oleh Al-Ghazali dalam magnum opus (karya besar), Ihya’ulum al-din”. Namun dapatkah “pembuktian ini diterima kaum muslimin? Entahlah, sejarah yang akan membuktikan. Karenanya, jelaslah syariatiasi hukum nasional memang mudah dikatakan, namun sulit dilaksanakan bukan?