Tak Cukup dengan Sebuah Festival (Wawancara)
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
“TAHUN 1991 ini adalah tahun ketidakpastian dalam banyak hal.” kata Abdurrahman Wahid. Lebih jauh, Ketua Umum PBNU dan Ketua Kelompok Kerja Forum Demokrasi ini menguraikan sejumlah pandangannya kepada Amran Nasution dan Wahyu Muryadi dari TEMPO, di markas PBNU Kramat Raya. Berikut petikannya:
Bagaimana Anda mengevaluasi tahun 1991 ini, dalam konteks umat Islam. Apakah masih saja “suram” seperti kata Anda dulu?
Sebenarnya, tahun 1991 ini tahun ketidakpastian. Artinya, dalam banyak hal, timbul perkembangan baru, dan belum kelihatan tanda-tandanya akan ke mana berakhir. Munculnya fenomena kayak ICMI itu yang menampilkan semangat tinggi kaum muslimin, untuk menampilkan citra keislaman di berbagai bidang sekaligus, tapi juga nggak jelas maunya apa. Di satu pihak ngomong alternatif kerakyatan, tapi di pihak lain perilakunya seluruhnya elitis. Ini kan nggak jelas, mau ke mana. Ini yang saya katakan ketidakpastian. Nah, ketidakpastian ini bagian dari kesuraman itu.
Tapi bukankah ide keterbukaan terus bergulir?
Keterbukaan yang terjadi begitu luas cakupannya. Tapi, jangkauan ke depannya sampai di mana, nggak begitu jelas batasnya. Setiap kali dites, mundur lagi. Berhadapan dengan tembok lagi.
Saya rasa, ini juga terkait dengan suatu hal lain, yakni tidak jelasnya proses penetapan kepemimpinan nasional pada SU MPR yang akan datang. Bukan siapanya. Tapi prosesnya bagaimana. Kalau siapanya, kayaknya kok Pak Harto lagi.
Lo, bukankah prosesnya seperti biasa, melalui Sidang Umum MPR?
Ya, tapi sampai sekarang kan nggak jelas. Kita belum tahu mau bagaimana prosesnya. Nggak ada kejelasan. Katakanlah diperkenankan adanya calon lain, atau memang sudah baku dari sono-nya satu orang saja. Karena kalau dilihat dari sudut ini, tahun 1988, ketika muncul dua calon wapres, orang lalu bertanya-tanya: apakah pada tahap berikut akan ada dua calon presiden? Ini tak terjawab sampai hari ini. Sebenarnya, kalau terjawab dengan baik, “tidak”, umpamanya, kan enak, ada kepastian. Sulitnya, mengatakan “tidak” juga nggak bisa. Dengan kata lain, kepastian tentang tidak adanya dua calon nggak ada. Tapi kepastian hanya satu calon juga nggak ada.
Mengapa ketiga OPP tidak berani melempar calon lain?
Masalahnya bukan berani atau tidak berani. Tapi siapa yang mencalonkan, dan siapa yang mau dicalonkan. Itu kan interaksi politik.
Anda bersedia mengisi bursa pencalonan ini?
Ngapain saya. Saya harus berpikir tentang posisi saya sendiri di NU, kan NU bukan organisasi politik. Tahu-tahu, nggak ada hujan, nggak ada angin, terus saya maju. Lha, bagaimana posisi NU.
Kalau PDI mencalonkan Anda, misalnya?
Saya itu mengikuti realitas politik yang ada. Bahwa politik tetap the art of the possible. Bahwa demokrasi juga tidak boleh melepaskan proses politik, karena politik pada dasarnya, seni mencapai hal yang paling mungkin. Saya melihat pencalonan presiden dengan calon lain suatu hal yang belum tentu dimungkinkan. Saya kira, toh percuma saja kalau belum dimungkinkan.
PDI juga nggak akan begitu, saya nggak percaya. Saya juga tidak melihat PDI punya kaitan dengan saya. Dalam arti, mereka punya kecenderungan untuk memilih orang di luar, yang sudah tampil di pemerintahan sekarang. Di situ kan banyak orang, apakah Pak Rudini, Pak Benny, Pak Try, juga Pak Moerdiono.
Tapi mengapa kok sampai tak ada tokoh yang berani tampil?
Ini kayak telur sama ayam. Karena tokoh-tokoh itu juga pada mikir. Apa gunanya kalau nggak akan menang. Jadi, berputar. Itu jangan disalahkan. Kayak di Amerika. Tokoh demokrat yang kelas berat nggak mau maju. Sekali nggak menang lawan Bush, dia sulit pada tahap berikutnya, sebab kalau kalah, kalahnya telak. Kalau kalah telak, pada 1996 nanti nggak bisa bangun dia. Makanya, dia tunggu saja 1996, toh Bush habis. Masalahnya, kan orang punya hitungan sendiri-sendiri. Di sini juga begitu, orang kan mikir. Buat apa saya maju sekarang. melawan Pak Harto, nggak mungkin menang. Begitu kuatnya, kok. Petani setiap malam diwawancarai juga kelihatan gembiranya sama Pak Harto. Mana, sih, yang nggak ndukung Pak Harto? Dilihat dari hitungan itu semua, ngapain maju sekarang. membentur tembok.
Masihkah Anda lihat ada pihak yang memaksa Pemerintah bertindak tidak manis kepada kelompok lain?
Usaha ke situ ada. Contohnya, tolong ini dimuat, isu tentang penolakan terhadap proses Kristenisasi. Tapi mungkin nggak jadi ramai, kayak granat yang nggak bisa meledak, kembang api yang nggak bisa naik, pesss …. Ini tandanya bangsa kita semakin dewasa, tidak gampang lagi dipengaruhi isu sektarian kayak begitu.
Apakah isu itu termasuk pemaksaan kehendak kepada Pemerintah?
Ya, dong Karena itu intinya permintaan perlindungan kepada Pemerintah, terhadap umat Islam, yang katanya dikuasai orang lain.
Pada 1992 esok, bagaimana Anda melihat hubungan Islam–Kristen dalam menjaga keutuhan berbangsa?
Kalau kita tidak memakai ukuran dalam melakukan reaksi, ya repot. Baik Islam maupun Kristen, kalau pemuka masyarakatnya tidak bisa mengendalikan umatnya secara arif, tapi setiap kali meneriakkan slogan anti-agama lain, ya, bisa pecah Jadi, pecahnya bukan karena pemindahan agama, melainkan reaksinya itu. Tapi, begini ya, kehebatan bangsa Indonesia, apalagi kaum muslimin, sudah bisa membedakan omongan para mubalig, mana yang perlu diambil, mana yang nggak. Khususnya menuju pada sikap rasional. Mereka nggak mau ambil yang bangsanya gitu-gituan Didengar saja, tapi nggak dipakai Buktinya, kan nggak ada apa-apa.
Kini tentang SDSB, bagaimana Anda melihat reaksi dan demonstrasi di mana-mana? Akankah ini berkepanjangan?
Susah menerkanya. Sebab, SDSB sudah menjadi kasus yang menangkap imajinasi orang banyak. Sudah keluar dari masalah, apakah itu sesuatu yang baik atau tidak, berguna atau tidak, menguntungkan atau tidak. Itu sudah menjadi simbol bermacam hal Pertama, identitas agama yang terusik. Sebenarnya, nggak perlu begitu, kalau orang kayak Pak Domo lalu nggak ngomong begitu tentang SDSB. Cara me nanganinya sepihak, sama sekali nggak memperhatikan perasaan orang yang terusik SDSB Bolak-balik Pak Domo ngomong SDSB jalan terus, woauuw Akibatnya, yang merasa tertuju bangkit. Kan gitu Kedua, ada komplain sosial. Apa pun alasannya, SDSB itu menyedot uang dari kampung ke pusat. Nah, orang nggak ngerti kalau uang itu akan dikembalikan ke kampung lagi. Cuma orang melihat gebyarnya itu untuk olahraga Lha, celakanya, rakyat melihat itu semua kan urusan orang pusat, ini bagian lain dari simbol pusat-daerah. Rasa kelokalan orang terusik. Jangan dilupakan masyarakat itu komplain tentang banyak hal. Nah, yang paling gampang disalurkan lewat SDSB, deh, paling aman Nggak ada yang bilang SDSB itu urusan politik, he… he . . . Nggak bisa ditindas disuruh berhenti.
Mungkin aksi ini karena didorong elite politik juga?
Bukan begitu. Ramainya SDSB ini kan juga karena peristiwa di NU itu (pengurus NU menerima Rp 50 juta sumbangan SDSB), dan soal intern umat Islam lainnya. Ada pro dan kontra Juga karena tindakan YDBKS, pengelola SDSB, yang menyerahkan sumbangan SDSB untuk sejumlah ormas Islam di Bina Graha. Nah, proses ramainya di situ walau perasaan tidak setuju SDSB itu sudah lama Tapi, menggelembung jadi masalah nasional baru dua bulan ini. Nah, itu jangan dianggap karena didorong elite politik.
Tapi proses internalnya memang begitu ada mismanajemen dari pihak pengelola SDSB. Mereka menampilkan model yang vulgarnya kayak begitu (soal penyerahan bantuan di Bina Graha dan diliput pers). Itu kan tidak mempertimbangkan akibatnya yang parah. NU saja parah kok kasus ributnya kendati sebenarnya yang ribut cuma satu orang.
Kemudian ormas Islam seperti NU, kemudian MUI, terpaksa menyatakan sikapnya. Kalau dulunya sih diam-diam saja, sambil menulis surat menyatakan tak setuju SDSB kepada Pemerintah, tapi sekarang terpaksa dibeberkan di muka umum. Walau tetap dipakai cara sebijaksana mungkin, supaya jangan tabrakan dengan Pemerintah.
Apakah kasus SDSB ini akan berbuntut merenggangkan kemesraan Pemerintah dengan umat Islam?
Saya nggak pernah tahu mesra nggaknya. Begini, orang mengatakan Pak Harto mesra dengan umat Islam, menandakan proses ini baru terjadi sekarang Saya melihatnya Pak Harto mulai MTQ, Amal Bhakti, sudah lama bergerak ke arah Islam. Sudah sejak tahun 1970-an.
Tahun ini juga ditandai dengan gebyarnya umat Islam lewat pendirian Bank Muamalat Indonesia, Festival Istiqlal, dan Iainnya. Bagaimana kelanjutannya kira-kira?
Oh, ya. Ada gebyar Islam, dan akan terus berlangsung. Tapi, nggak banyak efeknya, Asal orang Islam tetap melarat dan bodoh ya, nggak bisa Jadi, penyelesaiannya bukan dengan obat-obat kuat kayak ginseng, langsung kuat. Ini proses jangka panjang. Transformasi ekonomi, menuju kepada kekuatan kaum muslimin yang sebenarnya BMI berjalan harus tunduk pada perkembangan zaman, apakah menguat atau melemah, dalam jangka panjang. Karena itu, hasilnya kalau setahun dua tahun nggak bisa dirasakan. Gebyar yang tidak mengubah keadaan Kayak BPR NU, ribut-ribut, nanti diuji 20 tahun BMI nanti 10 tahun lagi. Gimana, sih, kesulitlan umat yang begitu besar, mau diselesaikan dengan sebuah bank, sebuah festival. Itu semua hanya menciptakan suasana. kalau bisa, menggelindingkan bola.
Apakah seperti bola salju, menggelinding kian besar?
Bisa jadi bola salju yang gede, perlu waktu. Saya yakin menggelinding karena banyak orang Islam yang waras. Artinya, bola yang diluncurkan kan bola yang kecil Sadar . . . Nanti akan membesar. Tapi, juga perlu disiapkan lahan. Lahan harus dibuldoser dulu, supaya turun melandai sedikit, biar bola itu berputarnya cepat. Kayak saya kerjanya begitu, juga cendekiawan. Tuntutan terhadap ICMI juga begitu. Berperan meletakkan landasan, menciptakan penggelindingan bola Islam, nggak terlalu formal, Kalau sudah landai, tapi lalu ada tembok, ada tonggak yang kuat, bagaimana menggelinding?