Agama sebagai Motif

Oleh: KH. Abdurrahman Wahid

Namun, dalam tahun-tahun enam dan tujuh puluhan mulai terjadi pergeseran dalam pandangan yang dimiliki ideologi-ideologi revolusioner dan motif keagamaan gerakan masyarakat. Apa yang terjadi di Mesir, setelah Nasser berhasil mengkonsolidasi kekuatan revolusioer (yang ironisnya tercapai ketika ia membabat kekuatan inti gerakan yang semula memberikan inspirasi revolusioner kepada dirinya, yaitu gerakan persaudaraan muslim) merupakan salah satu titik balik pandangan ideologi-ideologi revolusioner terhadap motif keagamaaan dari masyarakat. Demikian pula tersingkirnya Ben Bella dari kekuasaan dan digantikan oleh Houari Boumédienne, membawa pada perubahan sikap sebuah ideologi revolusioner terhadap aspirasi keagamaan (yang ironisnya ditutup dengan munculnya Ben Bella saat ini justru sebagai ‘pembelan Islam’ di hadapan ideologi-ideologi sekuler).

Di Amerika Latin, sejak awal tahun-tahun enam puluhan, Uskup Agung Rio de Jaeneiro (waktu kini Uskup Agung Olinda-Recife) Helder Passeo Camara telah mencanangkan perjuangan menolong kaum miskin untuk mengatasi keadaan dan memperbaiki nasib mereka sendiri, sebuah lompatan sangat jauh dari karitas konvensional yang umum yang dianut hingga saat itu. Tahun 1955, Dom Helder telah mengikuti persiapan pembentukan Konferensi Uskup-Uskup Amerika Latin (CALEM), yang nantinya akan memainkan peranan sangat penting dalam merumuskan teologi Katolik yang berwatak revolusioner dan memberikan dukungan kepada gerakan-gerakan masyarakat yang memiliki ideologi revolusioner. Tahun 1959, mendirikan Bank of Profidence yang didirikan khusus untuk melayani kaum miskin, dan ada 1968 melancarkan gerakan acao esperanza (operasi harapan) dan dewan keadilan dan perdamaian. Untuk pertama kalinya dalam sejarah umat Katolik di Amerika Latin, perdamaian dikaitkan secara institusional dengan konsep keadilan yang berlingkup makro, sebuah pendekatan yang jargon ideologi-ideologi revolusioner dikenal dengan sebutan ‘wawasan struktral’.

Langkah-langkah seperti itu dengan cepat mendorong perkembangan baru di kalangan gerakan masyarakat yang bermotifkan aspirasi keagamaan di Amerika Latin. Tahun 1972 muncullah sebuah rumusan baru, yaitu teologi pembebasan, yang diajukan oleh Gustavo Marino Guitierrez di Peru. Oleh teologi ini dipersoalkan kebenaran sikap untuk membatasi lingkup pelayanan oleh Gereja terhadap perorangan warga masyarakat, tanpa dikaitkan dengan struktur masyarakat. Spiritual bukanlah hanya milik individu saja, melainkan juga sesuatu yang imperatif bagi masyarakat. Sebuah masyarakat tanpa spiritual hanyalah akan berujung pada penindasan, ketidakadilan, pemerasan, dan perkosaan atas hak-hak asasi warganya. Kasih kristiani hanyalah akan terwujud kalau masyarakat digarap untuk melestarikan kasih itu sendiri, bukan menghilangkannya. Gereja, untuk menegakkan kebenaran, haruslah bersedia memberikan dukungan penuh kepada gerakan-gerakan revolusioner yang berupa memperjuangkan masyarakat yang adil dan benar-benar demokratis. Ini adalah keharusan mutlak, walaupun gerakan-gerakan itu menggunakan kekerasan dalam perjuangan mereka, sedangkan Gereja sendiri tidak turut terlibat dalam tindakan kekerasan itu. Kekerasan yang dilakukan gerakan-gerakan masyarakat hanyalah refleksi belaka dari tindak kekerasan yang dilakukan sistem kekuasaan dalam struktur yang pincang. Implikasi terjauh dari gejolak revolusioner itu adalah akibat logis belaka dari perkembangan kesejahteraan yang telah terjadi sebelumnya. Walaupun butir-butir di atas bukanlah rumusan yang secara harfiah dituliskan oleh Marino sendiri, ia adalah kesadaran umum yang terdapat di kalangan para teolog pembebasan sendiri, terbukti dari keterlibatan aktivis semacam Pastor D’Escoo, salah seorang tokoh utama gerakan masyarakat revolusioner Sandinista yang akhirnya berhasil menggulingkaan rezim diktaktor Somoza dan kini menjadi menteri luar negeri Nikaragua.

Perkembangan seperti itu tidak hanya dapat dibatasi pada perkembangan di kalangan kaum Katolik Amerika Latin saja, tetapi juga terjadi di kalangan kaum Katolik di luar kawasan tersebut dan di kalangan non-Katolik di seluruh dunia. Gema dari kecenderungan revolusioner gerakan masyarakat yang bermotif keagamaaan ternyata tidak bersumber hanya pada teologi pembebasan saja tetapi juga pada semangat oikumene gereja-gereja Kristen dan paham-paham Pan-Islamik di Timur Tengah dan Asia Selatan. Perjuangan oikumene untuk melawan dominasi perusahaan-perusahaan transnasional (NTE, trans-national enterprise) di negara-negara berkembang, mengharuskan gerakan masyarakat di kalangan kaum Kristen untuk mempertanyakan kebenaran ‘etik Kristen yang kapitalistik’, yang pernah didengung-dengungkan Max Weber. Demkian pula wawasan egalitarian dari paham Pan-Islamik yang revolusioner, seperti intelektual ‘santri’ semisal Ali Shariati di masa kekuasaan rezim Syah Reza Pahlevi, bahkan mempersoalkan kelayakan konsep pembangunan yang bersifat teknokratik dan pandangan politik yang berwatak kompromistis terhadap konsep tersebut. Demikian pula, di India muncul tahap terakhir dari perkembangan sekte reformasi Hindu Arya Samaj, yang mencanangkan keimanan dalam land reform, atau tidak diselenggarakan pemerintah, haruslah diwujudkan sendiri oleh masyarakat untuk kredo semacam ini, salah seorang pemukanya, Swami Agnesi harus berkali-kali masuk penjara di masa undang-undang keadaan darurat diproklamirkan oleh Indira Gandhi dalam pemerintahan periode pertamanya.

Di kawasan-kawasan lain, gerakan masyarakat yang bermotifkan aspirasi keagamaan di kalangan kaum Katolik juga muncul, seperti di Filipina, Korea Selatan, dan Hongkong (yang merupakan pusat jaringan komunikasi regional untuk kawasan Asia-Pasifik). Di Filipina, gerakan masyarakat dengan aspirasi keagamaan Katolik itu mengajukan sebuah strategi yang unik di hadapan sistem kekuasaan yang sudah begitu absolut penguasaanya atas kehidupan politik formal, yang oleh kalangan mereka sendiri dinamai ‘kolaborasi kritis’, dirumuskan oleh Kardinal Jaime Sin. Menurut strategi ini, gerakan masyarakat akan mendukung sepenuhnya langkah-langkah konstruktif yang diambil pemerintah, tetapi akan mengajukan koreksi tuntas atas keadaan serba timpang. Hak melakukan kritik itu tidak dibatasi hanya pada sikap reaktif belaka, tetapi diletakkan dalam sebuah kerangka aktif mengambil inisiatif untuk memperbaiki keadaan dan mengajukan usul-usul perubahan. Langkah mengajukan kritik ini, menurut tuduhan pemerintah Presiden Marcos, justru disalahgunakan oleh kalangan gerakan masyarakat yang dipimpin oleh kaum pendeta, untuk menghasut rakyat melakukan pemberontakan militer. Mereka dituduh oleh pemimpin militer sebagai penunjang dan pendukung pemberontakan komunis yang diprakarsai tentara baru rakyat (New Peoples Army). Konflik terbuka antara pemerintah Marcos dan gerakan masyarakat yang dipimpin para pendeta Katolik telah berlangsung bertahun-tahun, dan tampaknya justru akan berlangsung lebih intensif di masa depan yang dapat diperkirakan.

Di Korea Selatan, keadaanya juga tidak dapat berbeda, kalau dilihat dari adanya konflik antara pemerintah militer yang berkuasa dan gerakan masyarakat yang memiliki motif keagamaan, walaupun sudah tentu lingkup pertarungannya lebih kecil dari di Filipina. Masalah pemulihan hak-hak asasi manusia dan penegakan kedaulatan hukum adalah ‘garapan’ gerakan-gerakan masyarakat tersebut, di mana berkecimpung para agamawan Katolik dan Kristen. Tangan Tuhan yang terbelenggu, judul sebuah sajak protes penyair Kristen Kim Chi Ha yang sangat populer, adalah bukti dari kuatnya kaitan antara aspirasi keagamaan mereka dan kecenderungan kuat untuk menolak keadaan yang tidak adil dan sangat menindas. Dengan pengorbanan sangat berat berapa masa tahanan sangat lama, hukuman terlalu berat dan siksaan badani, para pelopor gerakan masyarakat itu hingga saat ini setelah lebih dua belas tahun tidak pernah mengendurkan tuntutan mereka. Apa yang mereka lakukan, oleh mereka sendiri, dirumuskan sebagai perjuangan menegakkan masyarakat yang sesuai dengan kehendak Tuhan, di mana berkembang demokrasi yang sebenarnya, tegak kedaulatan hukum, dan terjaga hak-hak asasi manusia.

Di Hongkong, sejumlah pusat komunikasi yang melayani jaringan gerakan-gerakan masyarakat di seluruh Asia-Pasifik dengan giat menyelenggarakan forum-forum untuk membahas konteks perjuangan yang selayaknya dimiliki oleh kaum beragama kawasan ini, dan menerbitkan publikasi periodik tentang masalah-masalah yang berkaitan dengan perjuangan gerakan masyarakat di berbagai negeri itu. Judul media periodik yang mereka terbitkan, seperti Arena of Asia Exchange, Hotline Asia-Pasifik, dan Monitor, mencerminkan fungsi pelayanan regional itu. Fungsi tersebut sangat penting artinya bagi gerakan-gerakan masyarakat yang ada di kawasan Asia-Pasifik, karena itu merupakan jaringan tukar-menukar pengalaman dan pengarahan kontak, yang memperkaya ragam, corak, dan isi kiprah mereka dalam perjuangan sangat berat mewujudkan aspirasi mereka sendiri.

(Tulisan ini sepenuhnya diambil dari Abdurrahman Wahid. 2000. Prisma Pemikiran Gus Dur. Yogyakarta: LKiS)