Anak-Anak Ibrahim yang Beragama Islam, Tuhan Tidak Butuh Dibela

Sumber Foto: https://www.brilio.net/wow/pengertian-islam-menurut-bahasa-alquran-hadits-dan-ulama-200423k.html

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Dalam puisinya yang berjudul Allahu Akbar, KH Mustofa Bisri¹ menulis, “Seandainya enam milyar penduduk bumi seluruhnya, yang tidak lebih besar dari sejumput debu, menjadi penghujat Tuhan atau menjadi orang saleh semua itu sedikit pun tidak mempengaruhi keagungan-Nya”.

Karena Mahakuasa dan ada sebagai Kebenaran mutlak dan abadi, maka tak ada sesuatu pun yang dapat mengancam Tuhan. Sebagai ar-Rahman (yang Maha Pengasih) dan ar-Rahim (Maha Penyayang), Tuhan tidak mempunyai musuh. Oleh karena itu, mereka yang mengaku membela Tuhan, Islam ataupun Nabi, mereka memperdaya diri mereka sendiri atau memanipulasi agama demi kepentingan duniawi dan politis, sebagaimana kita saksikan dalam kekejaman yang meluas, yang merambah dunia Muslim beberapa tahun yang lalu, yang menelan ratusan korban jiwa, sebagai reaksi atas kartun (Nabi Muhammad) yang terbit di Denmark. Mereka yang menganggap dirinya mampu memahami kehendak Tuhan secara penuh dan berani memaksakan pemahaman mereka sendiri yang terbatas itu kepada orang lain, secara esensial menyamakan diri mereka dengan Tuhan dan secara tak sadar melakukan penghujatan.

Sebagai Muslim, daripada secara kasar mengutuk ajaran atau keyakinan orang lain dan mengancam atau melakukan kekerasan untuk memaksakan hal ini, kita semestinya bertanya, mengapa hanya ada sedikit kebebasan berekspresi dan beragama di wilayah yang disebut dunia Islam? Yakni, yang kepentingannya dilayani oleh pasal 295 C undang-undang resmi Pakistan tentang “Pencemaran Nama Nabi Muhammad,” yang memberikan hukuman mati bagi ‘para penghujar’, yang oleh Pengadilan Syariah Federal Pakistan secara efektif didefinisikan sebagai:

Mencaci atau menghina Nabi dalam tulisan atau ceramah, mencemarkan atau menghina Nabi dan keluarganya, menyerang martabat dan kehormatan Nabi secara sangat kasar, menghina atau menunjukkan wajah yang kurang ajar ketika nama Nabi disebutkan, menunjukkan sikap bermusuhan atau kebencian kepada Nabi, keluarganya, para sahabatnya dan orang-orang Islam, menuduh atau memfitnah Nabi dan keluarganya, termasuk menyebarluaskan berita jahat tentang Nabi dan keluarganya, mencemarkan nama baik Nabi, menolak ketetapan hukum dan keputusan dari Nabi dengan berbagai cara, menolak Sunah dan memperlihatkan sikap tidak hormat, mencela atau menolak hak Allah dan rasul-Nya atau membangkang pada Allah dan rasul-Nya2.

Alih-alih berperan untuk melindungi Tuhan, Islam atau Muhammad, hukum yang sangat tidak jelas dan represif ini hanya akan memperkuat mereka yang mempunyai tujuan duniawi (yakni tujuan politis) dan menjadi “pedang Damocles”, yang tidak hanya mengancam penganut agama minoritas, tetapi juga hak kaum Muslim pada umumnya untuk berbicara secara bebas tentang agama mereka sendiri tanpa terancam oleh kemarahan para fundamentalis–yang dijalankan melalui kekuasaan pemerintah ataupun massa–yang klaimnya tentang “membela agama” tak lebih dari dalih untuk memperluas kekuasaan diri sendiri.

Tidak satu pun pengamat yang objektif dapat menyangkal bahwa masyarakat Pakistan–sebagaimana masyarakat lain di dunia Islam pada umumnya–telah mengalami proses pengerasan di bawah pengaruh hukum semacam itu, begitu juga oleh tumbuhnya ekstremisme agama dan hilangnya spiritualitas yang sejati. Oleh karena itu, makna terdalam dan tujuan Islam itu sendiri masih tetap terselubung dari pemahaman manusia.

Perintah Al Qur’an yang sangat terkenal, “Tidak ada paksaan dalam agama” (2,256), telah mengantisipasi pasal 18 Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia,3 lebih dari tiga belas abad sebelumnya dan semestinya menjadi inspirasi bagi masyarakat Muslim saat ini, memandu mereka pada jalan menuju kebebasan beragama dan toleransi.

Dalam pemahaman asli Al Qur’an, kata shari’a berarti ‘jalan, yaitu jalan menuju Tuhan, dan bukan jalan menuju hukum Islam yang dikodifikasi secara formal, yang baru muncul berabad-abad kemudian setelah nabi Muhammad wafat. Dalam menguji masalah hukum penghinaan dan kemurtadan, oleh karenanya sangatlah penting untuk membuat pembedaan antara Al Qur’an–dari mana bahan mentah untuk menghasilkan hukum Islam itu diambil–dan hukum itu sendiri. Karena meskipun inspirasi perwahyuannya itu bersifat ilahi, hukum Islam adalah buatan manusia dan dengan demikian menjadi subjek bagi penafsiran dan perbaikan manusiawi.

Sebagai contoh, hukuman bagi orang murtad hanyalah warisan dari situasi historis dan hitung-hitungan politis, yang terentang jauh pada masa-masa awal Islam, yaitu ketika kemurtadan pada umumnya bersamaan dengan keluar dari kesatuan tentara Khalifah atau menentang otoritasnya, dan dengan demikian dianggap sebagai pengkhianatan atau pemberontakan. Penyematan (yaitu berupa kodifikasi) hukuman yang keras ke dalam hukum Islam bagi orang-orang murtad perlu dipahami sebagai hasil samping sejarah dan politik dari lingkungan ini yang diberi kerangka oleh perhitungan dan kemanfaatan manusiawi, dari pada anggapan bahwa Islam dan shari’a harus selamanya memberikan hukuman untuk perpindahan agama seseorang.

Perkembangan sejarah dan penggunaan istilah shari’a untuk merujuk hukum Islam, sering menyebabkan mereka yang tidak memahami sejarah ini, menyamakan begitu saja hukum buatan manusia dengan inspirasi wahyu, dan dengan demikian mengangkat hasil pemahaman manusia–yang dipengaruhi oleh ruang dan waktu–pada kedudukan yang bersifat ilahi.

Shari’a, jika secara tepat dipahami, merupakan ungkapan dan perwujudan dari nilai-nilai perenial. Hukum Islam, sebaliknya, adalah hasil dari ijtihad (penafsiran) yang tergantung pada situasi dan kondisi (al-hukm yadur ma’a al-‘illah wujudan wa ‘adaman) dan membutuhkan peninjauan ulang terus-menerus sesuai dengan situasi serta kondisi yang senantiasa berubah, untuk mencegah agar hukum Islam tidak ketinggalan zaman, kaku dan tidak berkaitan–bukan hanya dengan kondisi kehidupan umat Islam saat ini, tetapi juga dengan nilai-nilai perennial dasar dari shari’a itu sendiri.

Sepanjang sejarah Islam, banyak ahli fiqh (ilmu hukum Islam) terbesar juga memiliki latar belakang yang mendalam dalam tradisi tassawuf, atau mistisisme Islam dan mengakui perlunya keseimbangan antara yang harafiah dan semangat dasar hukum itu. Watak humanis dan spiritual yang mendalam yang dimiliki oleh Sufi Islam membantu penerimaan atas perbedaan praktik sosial dan kultural ketika Islam tersebar dari tanah kelahirannya di Jazirah Arab ke wilayah timur Mediterania, Afrika Utara, Wilayah Tandus dan sub-sahara Afrika, Persia, Asia Tengah dan Selatan, dam kepulauan Nusantara. Melalui banyak penilaian, mayoritas penduduk Muslim di sebagian besar daerah-daerah ini masih mempraktikkan suatu cara kesalehan dalam beragama yang secara langsung maupun tidak langsung merupakan turunan dari praktek sufisme. Keagungan seni dan arsitektur tradisional Islam–dari keajaiban Fez dan Granada hingga Istambul, Isfahan, Samarkand dan Agra–menjadi bukti perjalanan panjang para Guru Sufi, serikat pekerja dan para seniman individual yang bekerja keras mempermuliakan materi, sehingga mengubah lingkungan buatan manusia menjadi penyeimbang alam yang sejati, sebuah mosaik dari ‘tanda-tanda Ilahi’, yang di mana pun juga mengungkapkan hasil karya manusia sebagai “wakil Tuhan di muka bumi”.4

Sungguh, kebesaran peradaban Islam klasik–yang mewujud dalam universalisme kosmopolit dan manusiawi–sebagian besar berasal dari kematangan intelektual dan spiritual yang tumbuh dari percampuran pengaruh peradaban Arab, Yunani, Yahudi, Kristiani dan Persia. Itulah sebabnya mengapa saya menitikkan air mata ketika membaca komentar Ibnu Rushdi tentang Etika Nicomachea yang dilestarikan dan dipamerkan dengan penuh kasih, dalam suatu kunjungan saya ke Fez, Maroko beberapa tahun lalu. Jika bukan karena Aristoteles dan risalahnya yang agung, saya sendiri mungkin telah menjadi seorang Muslim fundamentalis.

Di antara banyak faktor yang berkontribusi pada kemunduran peradaban Arab dan Muslim pada umumnya dalam jangka waktu yang lama, dan sangat menghalangi peran serta mereka dalam perkembangan dunia modern, adalah kemenangan pembatasan-pembatasan agama yang bersifat normatif, yang secara telak mengalahkan tradisi humanisme Islam klasik. Penyerapan unsur-unsur asing–khususnya dalam bidang pemikiran spekulatif dan penciptaan ilmu pengetahuan yang individual, rasional dan mandiri yang tidak dibatasi oleh dogma agama–dikalahkan oleh mekanisme kontrol internal yang dilakukan oleh pemegang otoritas agama dan pemerintahan, sehingga melumpuhkan masyarakat Muslim.

Kecenderungan semacam ini masih terpampang dalam dunia kita saat ini, tak kurang dalam bentuk undang-undang tentang penghujatan dan kemurtadan yang keras, yang mempersempit batas-batas wacana yang dapat diterima dalam dunia Islam, dan membuat banyak umat Islam tidak dapat berpikir tentang “dunia lain di luar Islam”, tidak hanya tentang agama, tetapi juga tentang ruang kehidupan yang luas, sastra, ilmu pengetahuan dan kebudayaan pada umumnya.

PEMAHAMAN AGAMA ADALAH SEBUAH PROSES

Setiap orang yang tulus dalam memahami keyakinannya perlu menjalani sebuah proses evolusi yang ajek dalam pemahaman tersebut, ketika pengalaman dan wawasan menumbuhkan cara pandang baru tentang kebenaran. Karena sebagaimana Tuhan menyatakan dalam Al Qur’an, “Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al Qur’an itu adalah benar. Tiadakah cukup bahwa sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuaru? (al Haqq)” (41:53).

Tak ada sesuatu pun yang ada, mampu mencukupkan dirinya sendiri, kecuali Tuhan. Segala sesuatu yang hidup saling tergantung dan memiliki keberadaan itu karena Tuhan. Namun, karena mahluk ciptaan Tuhan berada dalam ruang dan waktu, maka cara pandang mereka tentang kebenaran dan realitas berbeda dari waktu ke waktu, tergantung kepada pengetahuan dan pengalaman pribadi mereka.

Mengacu pada apa yang tertulis di atas, Islam memandang dunia dan segala informasi yang kita terima darinya sebagai tanda-tanda yang menuntun pemahaman kita tentang Tuhan. Sarjana Islam (atau ulama) secara tradisional mengelompokkan pengetahuan dalam tiga jenjang pengetahuan; pertama, ilmu pasti (ilm al yaqin), yakni yang bersifat penyimpulan berdasarkan bukti-bukti dan pemikiran dan yang berkaitan dengan pengetahuan yang secara umum dianggap benar oleh ilmuwan, intelektual atau ulama sendiri. Kedua, adalah pandangan tentang kepastian (‘ain al yaqin), mewakili tingkat kebenaran yang lebih tinggi dari yang pertama. Pada level ini seseorang dapat secara langsung menyaksikan bahwa suatu fenomena obyektif sungguh-sungguh benar dan sahih. Ketiga, adalah kebenaran atau realitas kepastian (haqq al yakin), yaitu kebenaran yang mencapai tingkat kesempurnaan melalui pengalaman pribadi secara langsung, sebagaimana ditunjukkan dalam kesatuan mistik orang-orang suci dengan Tuhan.

Fakta bahwa Al Qur’an menunjuk pada Tuhan sebagai “Kebenaran”, sangatlah berarti. Jika pengetahuan manusia adalah untuk mencapai tingkat kebenaran ini, kebebasan beragama menjadi sesuatu yang sangat penting. Sesungguhnya, pencarian kebenaran (yang adalah pencarian akan Tuhan)–baik yang melibatkan intelektualitas, emosi maupun beragam praktek spiritual–semestinya menyediakan kebebasan dan ruang yang luas. Tanpa adanya kebebasan, jiwa manusia tidak akan mencapai Kebenaran absolut, yang karena kodrat aslinya, merupakan kebebasan tanpa syarat itu sendiri.

Upaya-upaya inteletual dan emosional semata-mata merupakan pengantar dalam pencarian Kebenaran. Tujuan seseorang sebagai Muslim semestinya adalah penyerahan dirinya (Islam) secara menyeluruh pada Kebenaran Absolut dan Realitas Tuhan, daripada sekedar untuk mendapatkan konsepsi-konsepsi intelektual dan emosional mengenai Kebenaran tertinggi. Tanpa adanya kebebasan, umat manusia hanya mampu mencapai pemahaman tentang kebenaran yang memuaskan dirinya sendiri dan bersifat angan-angan, bukan Kebenaran yang hakiki itu senidri (haqq al haqiqi).

Bakat spiritual seseorang siapa pun, memainkan peran kunci yang sangat penting dalam kemampuannya mencapai Kebenaran, dan ungkapan-ungkapan Kebenaran partikular yang dipahami oleh seseorang, sangat mungkin berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Islam menghormati dan menghargai perbedaan-perbedaan tersebut, termasuk juga kebebasan beragama itu sendiri, karena mengakui bahwa setiap manusia memahami Tuhan sesuai dengan kemampuan dan kecenderungan alamiahnya, sebagaimana dinyatakan dalam Hadith Qudsi 5 “Ana “inda zann ‘abdi bi,”–“Aku adalah sebagaimana hambaku berpikir tentang Aku.” Tentu saja upaya seseorang untuk memahami Tuhan (mujahadah, kata yang memiliki akar kata yang sama dengan jihad) haruslah dilakukan secara tulus iklas (ikhlas), yang menuntun kepada tahap transendensi diri. Dalam keadaan ini, manusia mengalami Kehadiran Tuhan yang tak terlukiskan oleh kata dan hilangnya diri mereka sendiri. Fundamentalis Muslim biasanya menolak pernyataan seperti ini, karena pemahaman mereka yang dangkal tentang agama dan kurangnya pengalaman spiritual. Bagi mereka Tuhan harus dipahami sebagai yang transenden sepenuhnya (tanzih) dan jauh dari jangkauan manusia, tanpa harapan bagi siapa pun untuk mengalami kehadiran Tuhan. Pandangan-pandangan tersebut adalah keliru, karena Al Qur’an sendiri menyatakan, “Ke mana pun kau arahkan wajahmu, di sanalah wajah Tuhan” (2:115).

Tak ada sesuatu pun yang bisa membatasi Kebenaran absolut. Sufisme — yang bertujuan membawa umat Islam mencapai jenjang pengetahuan ketiga yaitu kebenaran dan realitas kepastian–menekankan nilai-nilai kebebasan dan keragaman, yang keduanya merupakan cerminan kehendak dan maksud Tuhan sendiri, dan untuk menghindari upaya menyamakan secara tidak hati-hati atau dengan sengaja pemahaman manusia. (yang dengan sendirinya terbatas dan tidak terlepas dari kesalahan) dan yang Ilahi. Iman dan penyerahan diri kepada Tuhan pada tingkat intelektual murni tidaklah memadai. Sebaliknya, seorang Muslim harus berupaya secara terus-menerus untuk mengalami kehadiran Tuhan (ihsan) secara aktual. Karena tanpa pengalaman akan kehadiran Tuhan, praktik keberagamaan seorang Muslim tetap berada pada level teoritis saja, Islam belum menjadi sebuah kenyataan yang dialami.

Sanksi-sanksi melawan kebebasan ekspresi religius dan penelitian agama, menghentikan proses perkembangan pemahaman keagamaan yang mati dalam perjalanan — menyamakan persetujuan pemahaman terbatas tentang dari penguasa aktual tentang kebenaran, dengan Kebenaran tertinggi itu sendiri, sehingga berakibat mengubah agama dari jalan menuju kepada Yang Ilahi, menjadi tujuan “yang diilahikan”, yang sifat-sifat dan batas-batasnya pada umumnya ditentukan oleh mereka dengan agenda yang terlalu manusiawi dari kekuasaan dan kontrol duniawi.

Kita bisa melihat proses ini terjadi dalam upaya-upaya yang dilakukan oleh Organisasi Konferesi Islam, Sidang Umum Perserikatan Bangsa-bangsa dan Komisi Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-bangsa untuk membatasi kebebasan berekspresi dan membuat suatu larangan global yang mengikat secara hukum terhadap sikap kritis apa pun dari Islam, untuk menghindari apa yang disebut sebagai ‘pencemaran agama. Baik didorong oleh keprihatinan yang tulus terhadap kemanusiaan, maupun oleh perhitungan politis, upaya-upaya semacam ini sayangnya salah jalan dan secara langsung menguntungkan para fundamentalis, yang berharap menghindari semua kritik terhadap usaha mereka untuk mempersempit cakupan wacana tentang Islam, dan untuk mengurung 1,3 milyar Muslim ke dalam ruang dogmatisme yang sempit dan menyesakkan.

Meski rasa permusuhan terhadap agama Islam dan orang-orang Muslim merupakan keprihatinan yang sah dan penting, kita harus mengakui bahwa penyebab utama dari permusuhan ini adalah sikap dari sekelompok Muslim tertentu. Orang-orang Muslim ini menyebarkan pemahaman tentang Islam yang keras, menindas, mau menang sendiri dan sering bersifat kasar, yang cenderung memperburuk dan meneguhkan ketakutan dan prasangka terburuk non Muslim tentang Islam dan Muslim secara umum.

Alih-alih melumpuhkan debat dan kecaman secara hukum–yang hanya akan mendorong upaya-upaya Muslim fundamentalis untuk memaksakan pemahaman Islam yang kosong secara spiritual, kasar dan monolitik kepada seluruh dunia–Para pemegang otoritas di Barat sebaiknya perlu lebih tegas dalam membela kebebasan berekspresi, tidak hanya di negara mereka sendiri, melainkan secara global, sebagaimana diejawantahkan dalam artikel 19 Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia.6

Mereka yang rendah hati dan berupaya keras untuk hidup dalam sikap penyerahan diri yang murni kepada Tuhan–islam–jangan mendaku sempurna dalam memahami Kebenaran. Lebih dari itu, mereka merasa senang untuk hidup secara damai dengan yang lain, yang memiliki jalan dan pandangan hidup yang mungkin berbeda.

Membela kebebasan berekspresi sama sekali bukan berarti menyetujui atau mendukung secara personal sikap tidak hormat terhadap keyakinan agama orang lain, tetapi sungguh-sungguh merupakan pernyataan keyakinan yang lebih besar terhadap ketetapan Tuhan daripada ketetapan manusia. Di luar berita-berita utama tentang kekacauan dan kekerasan dalam kehidupan sehari-hari, mayoritas dunia Islam pada umumnya terus mengekspresikan kekaguman pada nabi Muhammad dengan berusaha meneladani kehidupan Nabi yang penuh damai dan toleran yang telah diajarkan kepada mereka, tanpa bersikap keras pada mereka yang menghina Nabi, atau menyatakan keunggulan pemahaman mereka sendiri yang terbatas tentang Kebenaran. Umat Muslim yang demikian itu, menjalani hidup yang sesuai dengan ayat Al Qur’an yang menyatakan, “Dan hamba-hamba Tuhan yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan” (25:63).

CATATAN

  1. Berasal dari garis panjang keturunan pemimpin agama yang penuh karisma, Kyai Haji Mustofa Bisri memimpin Pondok Pesantren Randlatuh Tholibin di Rembang, Jawa Tengah. Dihormati secara luas sebagai ahli agama, penyair, novelis, pelukis, dan intelektual Muslim. K.Η. Mustofa Bisri mempunyai pengaruh besar terhadap perkembangan sosial, pendidikan, dan agama dari Nahdlatul Ulama selama lebih dari tiga puluh tahun.
  2. Mohammad Asrar Madani, Verdict of Islamic Law on Blasphemy and Apostasy. Lahore, Pakistan: Idara-e-Islamiat, 1994.
  3. “Setiap orang mempunyai hak untuk kebebasan berpikir, suara hati, dan beragama; hak ini termasuk kebebasan untuk berpindah agama atau kepercayaan, dan bebas sendiri atau dalarn komunitas dengan yang lain dan dalam publik atau privat, untuk menyatakan agama atau kepercayaannya itu, dalam pengajaran, praktik, pemujaan, dan kebaktian.”
  4. Roloff Beny, Seyyed Hossein Nast, dan Mitchell Crites Persia, Bridge of Turquoise, New York Graphic Society, 1975.
  5. Muslim menganggap Hadith Qudsi sebagai firman Allah, yang diulang oleh Nabi Muhammad dan direkam serurut isnad (mata rantai verifikasi oleh para saksi mata yang mendengar Nabi Muhammad menyatakan hadith)
  6. “Setiap orang mempunyai hak untuk kebebasan berpendapat dan berekspresi; hal ini termasuk kebebasan untuk memegang keyakinan tanpa dicampurtangani dan mencari, menerima serta menyampaikan informasi dan gagasan lewat media apa pun, tanpa pandang batas.”