Antara Marx dan Orientalis

Sumber Foto: https://www.radiofrance.fr/franceculture/podcasts/le-pourquoi-du-comment-histoire/le-marxisme-est-il-la-science-de-l-histoire-1087097

Resensi Buku: MARX AND THE END OF ORIENTALISM, Bryan S. Turner, George Allan & Unwin, London, 1978, 98 hal. termasuk indeks dan bibliografi

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

“Timur Tengah yang statis, pergolakan yang tak berakar ke bawah.” Anggapan kuno itu dicoba dibuyarkan buku ini. Sebuah pandangan yang berharga disimak, apalagi bila diingat negeri kita negeri muslim.

DENGAN buku ini, Turner, pengarangnya, mencoba mencapai dua tujuan sekaligus. Pertama mendudukkan kajian tentang masyarakat muslim di Timur Tengah pada arah yang tepat. Kedua, melakukan otokritik aras kesalahan yang pernah diperbuatnya dalam melihat masyarakat tersebut.

Jarang ada buku yang mampu menunjukkan sudut pandangan baru, sambil menggambarkan proses pemunculan pandangan lama yang dianut selama ini secara terperinci. Dalam hal ini buku Turner dapat dinilai telah mencapai fungsi kritik dan deskripsi kajian masa lalu dengan baik — seperti yang dilakukan Seyyed Hussein Alatas dengan bukunya The Myth Of The Lazy Native.

Dalam pendahuluan, Turner menunjuk pada keadaan kajian tentang masyarakat Timur Tengah secara umum — yang dikategorikannya sebagai terlalu dipusatkan pada produk literer hasil lembaga yang berkuasa (ruling institurions), baik itu ulama, kelompok militer maupun birokrasi negara (hal. 6).

Susunan Stagnant

Karena tekanan seperti itu kajian yang dibuat selama ini, kalau menyangkut politik, memandang wilayah permasalahannya hanya berupa pertentangan tajam di lingkungan keluarga keraton. Dan memandang sejarah hanya sebagai kekuasaan yang silih berganti dipegang oleh wangsa-wangsa aneka ragam.

Pola seperti itu ternyata juga mempengaruhi penglihatan kajian Marxistis atas kawasan Timur Tengah, walau pengaruh itu sangat halus dan tidak segera tampak.

Salah satu contoh adalah pengaruh orientalisme yang masih mendalam atas pandangan Marx. Bahwa peradaban Islam adalah statis; terkungkung oleh pandangannya sendiri tentang apa yang suci dan benar, oleh kode susilanya yang formalistik dan oleh hukum-hukum keagamaannya. Watak hidupnya yang beku itu diperkuat oleh sistem politiknya yang otoriter dan despotik.

Pandangan itu akhirnya berujung pada tesis, bahwa di Timur Tengah tidak ada revolusi yang berasaskan perjuangan kelas (hal. 67).

Munculnya pandangan seperti itu bermula dari Engels. Menurut Engels, susunan masyarakat Timur sudah menjadi stagnant. Sehingga peranan kesejarahan dari kapitalisme adalah untuk menghancurkan cara berproduksi prakapitalistis yang mendominasi susunan kemasyarakatan tersebut. Juga anggapan, bahwa ‘negara-negara kecil’ atau pemberontakan kelompok-kelompok kecil tidak mendorong munculnya kapitalisme sebagai sistem hubungan ekonomis berlingkup global.

Konsekuensinya adalah pandangan politis bahwa pemberontakan kaum nasionalis, protes rakyat dan tentangan ikatan kesukuan terhadap peranan kesejarahan kapitalisme, adalah sesuatu yang pada dirinya berwatak reaksioner. Karena kesemuanya akan menghambat munculnya sistem ekonomi global yang berwatak kapitalistis, yang menjadi prakondisi mutlak revolusi sosialis.

Bersumber pada historisme konvensional dari kajian kaum orientalis dan historisme filsafat Hegel, analisa Marx, Engels dan kemudian para pengkaji lainnya yang menggunakan pola Marxis ternyata tidak menghasilkan gambaran benar tentang keadaan kawasan Timur Tengah selama ini.

Selama ini kajian sosiologis tentang kawasan tersebut terlalu didominasi pola yang diajukan Emile Durkheim, dan juga pola kajian sosiologis tradisional yang berkembang di Inggris. Masalahnya, setelah dilihat kelemahan pokok kedua pola itu, bukanlah: benarkah kajian Marxis layak untuk diberlakukan atas kajian Timur Tengah. Melainkan: kajian Marxis yang mana yang harus di gunakan.

Buku Turner ini justru upaya memahami kesalahan yang diperbuat kajian Marxis selama ini, yang bersumber pada hal-hal yang disinggung di atas secara sepintas.

Dalam bab pertama, dibahas kelemahan fundamental pandangan Marx tentang hubungan antara kolonialisme dan kapitalisme. Khususnya ketidakmampuan Marx memberikan nilai tersendiri yang terlepas dari pola penumbuhan sistem global kapitalisme atas aspirasi kemerdekaan bangsa terjajah.

Kemelut Masyarakat

Bab kedua menelusuri perkembangan teori Marxis tentang Timur Tengah. Baik di masa lalu (Marx sendiri sedikit banyak menunjuk pada ‘kasus Timur Tengah’ dalam kajiannya tentang ‘Cara Berproduksi Asia’/Asian Modes of Production, disingkat AMP — seperti dalam tulisannya bersama Engels berjudul The British Rule In India) maupun di masa kini (terutama Abdel Malek dan Althusser). Masing-masing teori dilihat latar belakang kesejarahannya, dan ditunjukkan kekurangan pokoknya.

Model keserasian sosial (disebut Mosaic Model), pada masyarakat yang keragaman etnisnya begitu besar dan pelapisannya begitu kompleks tapi hanya diperlakukan sebagai ‘kemelut yang tidak akan kunjung selesai karena latar belakang kesejarahan yang berlainan dari masing-masing unsur masyarakat’, dibahas dalam bab ketiga. Kembali menonjol, mengapa masalah pertentangan kelas tidak pernah menjadi pola kajian cukup berarti dan digunakan secara benar dalam kajian tentang Timur Tengah dan masyarakat muslim di kawasan tersebut.

Prasangka, pandangan merendahkan dan ketidakmengertian akan jangkauan aspirasi nasionalistis yang hidup di kawasan Timur Tengah, dibicarakan dalam bab keempat. Termasuk juga pembahasan atas hubungan ideologis antara nasionalisme itu sendiri dan superstruktur global yang mempengaruhinya seperti kapitalisme, Marxisme dan cabang-cabang keduanya

Bab kelima mempermasalahkan hubungan antara cara berproduksi, kelas sosial dan revolusi di kawasan Timur Tengah. Pandangan salah selama ini tentang hubungan tersebut di kalangan para pengkaji, termasuk kajian-kajian Turner sendiri sebelum buku yang dibahas di sini (yaitu buku Weber and Islam, terbit 1974 dan sejumlah artikel di berbagai jurnal ilmiah), dibahas mendalam.

Semua pembahasan itu kemudian ditutup dengan usul yang dibahas dalam bab keenam, yang menyajikan dilema epistemologis dari kajian Timur Tengah. Turner menolak pola dikotomis yang digunakan para orientalisten. Dimasukkannya ke dalam kategori ini ‘sejarawan, ahli kearaban dan keislaman dan mereka yang secara umum melakukan kajian geografis, ekonomis dan sosiologis’.

Pola tersebut melihat masyarakat Barat sebagai sesuatu yang dinamis dalam dirinya sendiri yang dalam perkembangannya berakhir pada demokrasi. Dan masyarakat Islam, menurut pola tersebut, selamanya akan terbungkus kebekuan (stagnant) — atau, memang memiliki benih penurunan kualitas sejak kelahirannya (declines from its inception).

Lepas Dari Kungkungan

Turner juga menolak pandangan Hegelian yang dipengaruhi penilaian masyarakat Timur Tengah sebagai statis, yang dikembangkan para orientalis. Tetapi ia menunjukkan penghargaan kepada beberapa perkembangan penting dalam dua dasawarsa terakhir ini di kalangan para pengkaji Marxis, seperti Poulantza, Hindes, Hirst dan Miliband. Mereka masih juga terjebak dalam beberapa kesalahan dilematis tidak kecil, tetapi setidak-tidaknya mereka telah berhasil melepaskan diri dari kungkungan pola berpikir yang dikembangkan para orientalis dan pengkaji Marxis yang masih menggunakan pola berpikir historis Hegel.

Karena itu dapat disimpulkan, Turner menghendaki dilanjutkannya kajian Timur Tengah melalui pola kajian sosiologis — yang memperhitungkan pengaruh perkembangan superstruktur global seperti sistem ekonomi kapitalistis — atas perkembangan di kawasan tersebut. Walaupun sudah tentu dengan terlebih dahulu memecahkan banyak persoalan dilematis, seperti tempat determinisme sejarah, independensi politik dari faktor ekonomis, dan pemisahan perkembangan politik dari teori politik.

Buku ini sangat berharga sebagai petunjuk untuk melepaskan diri dari kebalauan dalam kajian sosiologis dan ekonomi-politis yang berkembang saat ini. Antara mereka yang menolak wawasan perjuangan kelas, kaum Marxis yang deterministik dan Marxis yang mencoba. membebaskan diri dari determinisme historis. Walaupun mengenai kawasan Timur Tengah dan masyarakat muslim di sana, telaah metodologis dengan pembahasan literatur teoretis yang terbaru akan sangat bermanfaat bagi upaya kita mengerti keadaan masyarakat kita sendiri — yang “kebetulan” bermayoritas penduduk muslim pula.