Apakah Orang Islam Wajib Mendirikan Kerajaan Islam? (Wawancara)
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
TAK BANYAK YANG MENOLAK: K.H. Abdurrahman Wahid dalam 15 tahun telah membawa Nahdlatul Ulama (NU) ke arah perubahan-perubahan. Para ulama NU di pondok-pondok, katanya suatu ketika, kurang peka pada masalah sosial, terlalu banyak memperhatikan ritual. Maka, seorang ustad yang jadi korban kekerasan aparat keamanan dalam suatu kampanye tak akan segera diperhatikan oleh kiai setempat. Tentu, ini disayangkan. Tapi, di sisi lain, Gus Dur memahami sikap itu: cara para kiai mengelak dari kekerasan aparat keamanan, yang di zaman Orde Baru memang riskan dihadapi secara frontal.
Bertolak dari masalah tersebut, Gus Dur bergerak agar NU tidak tenggelam, sebaliknya siap memasuki abad ke-21. la menyebarkan gagasan agar pondok-pondok pesantren NU, basis kekuatan organisasi massa ini, menelurkan orang-orang yang tak ketinggalan zaman tanpa meninggalkan akarnya. Di hadapan pemerintah ketika itu, NU pun harus tetap tegak tanpa menantang, melawan tanpa menyerang.
Hal itu diwujudkan Gus Dur dalam menyikapi Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI). Gus Dur menolak masuk jadi anggota ICMI dan dengan demikian ia menggagalkan citra bahwa ICMI menjadi wakil Islam secara keseluruhan sebagaimana dimaui rezim Orde Baru. Sementara itu, ia ikut mendirikan Forum Demokrasi, lembaga independen yang cenderung berlawanan dengan pemerintah karena aktivitasnya mengkaji soal penegakan hukum, demokratisasi, dan hak asasi manusia. Bahkan, dialah ketua pertamanya.
Contoh perlawanan gaya Gus Dur yang lain: NU sejak awal 1990-an menentukan hari Lebaran maju sehari daripada yang ditetapkan pemerintah. Sampai-sampai, Wakil Presiden Try Sutrisno kala itu mengimbau agar bangsa ini berlebaran bersama. Dan, Departemen Penerangan, kabarnya, memerintahkan aparatnya untuk melarang masjid dan radio swasta di seluruh Indonesia agar tak mengikuti Lebaran versi NU dengan cara tak mengumandangkan takbir pada malam menjelang Lebaran itu.
Singkat kata, pemerintah memang alergi kepada K.H. Abdurrahman Wahid. Maka, diusahakanlah agar Gus Dur tidak terpilih lagi di Muktamar NU Ke-29 di Cipasung, Jawa Barat, awal Desember 1994. Ternyata, itu sia-sia. Padahal, sejumlah upaya dilakukan sudah dan dengan serius. Antara lain, mengirim orang-orang pemerintah dan orang-orang prorezim Soeharto ke Cipasung, membawa selebaran. Isinya: Gus Dur adalah agen zionis Israel. Ternyata, umat lebih arif: Gus Dur dipilih lagi.
Tapi, di dalam NU sendiri, ia sering didesak-desak ke pinggir oleh para ulama karena aktivitasnya yang tak sepenuhnya dipahami. Di masa Gus Dur jadi anggota Dewan Kesenian Jakarta, ia dikatakan sebagai “kiai ketoprak”. Alhamdulillah, akhirnya para kiai paham juga dan bahkan terlihat di saat-saat akhir pemilihan presiden, 20 Oktober lalu mereka mendoakan Gus Dur agar terpilih jadi presiden.
Nah, jauh sebelum Gus Dur dicalonkan sebagai presiden sudah ada yang memandang perlu untuk segera merekam gagasan Gus Dur yang dinilai berbobot–bukan saja tentang NU, tapi lebih luas lagi: tentang persoalan yang dihadapi bangsa ini. Akhirnya, tiga kali perbincangan dilakukan di rumah Gus Dur di Ciganjur, Jakarta Selatan, akhir Agustus dan awal September tahun lalu. sehabis Gus Dur sembuh dari serangan stroke. Perbincangan dengan Ketua Pengurus Besar NU yang meletakkan jabatan di muktamar NU di Lirboyo pekan ini tersebut waktu itu dilakukan oleh Romo Magnis Suseno yang budayawan, pemikir, dan Rektor Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara-Jakarta dan Raymond Toruan, wartawan yang jadi Pemimpin Umum Harian The Jakarta Post. D&R mendapat izin mencuplik sebagian wawancara tersebut, terutama mengenai Islam dan NU. Direncanakan, wawancara kompletnya akan diterbitkan sebagai buku.
Banyak orang luar yang mempertanyakan, misalnya saya, orang Jerman, apakah Indonesia akan jadi Islami atau tidak, dalam arti formal, di masa depan?
Enggak. Islam justru malah kehilangan formalitasnya di Indonesia. Sebab, kalau kita lihat perjalanan Islam di Indonesia sekian abad ini, Islam itu lebih dekat pada gerakan nasionalis. Contohnya saja pertentangan antara Sultan Hadiwijaya dan Sutawijaya atau populer disebut Joko Tingkir. Kan menang Sutawijaya, tokoh yang boleh dikata yang meminta supaya ada nasionalisme dalam Islam.
Memang, saya kenal banyak pribadi muslim yang jelas sangat nasionalis….
Jadi, kalau terus kita telusuri sampailah pada lahirnya Syarikat Dagang Islam. Syarikat ini lahir sebagai reaksi adanya keinginan membuat Islam yang nasionalis. Ternyata, Syarikat Dagang Islam tetap juga kecil, enggak bisa besar. Dengan kata lain, mereka yang menginginkan formalisme Islam enggak pernah menang di Indonesia.
Bahkan, lahirnya Muhammadiyah sebagai upaya untuk lebih menonjolkan Islam di-counter dengan lahirnya NU. NU lahir dari dua madrasah, Taswirul Afkhar dan Nahdlatul Wathan, yang ingin memperjuangkan Islam nasionalis. Konsep Taswirul Afkhar adalah hasil pemikiran Cokroaminoto, yang jelas campuran antara Islam dan nasionalisme. Juga Nahdlatul Wathan, yang menurut artinya saja adalah ‘kebangkitan tanah air”. Mereka ini tidak mau diganggu oleh hukum Islam yang mereka anggap bukan dibuat oleh mereka. Jadi, dengan kata lain, mereka takut terhadap encroachment pemerintah kolonial, takut kalau mereka masuk ke dalam gerakan Islam. Maka, lahirlah NU.
Tapi, sembilan tahun setelah NU berdiri, tahun 1935, ada pertanyaan: apakah orang Islam wajib mendirikan kerajaan Islam di Indonesia ataukah harus mempertahankan kerajaan Hindia Belanda.
Kongres (muktamar) NU di Banjarmasin. Juni 1936, menyatakan tidak wajib orang Islam mendirikan kerajaan Islam. Alasannya, di Indonesia sudah pernah berdiri kerajaan Islam dan rakyat sudah menjalankan agama dengan bebas. Ini menjadi dasar penerimaan NU terhadap Pancasila.
Pada tahun 1951 oleh Kini Wahid Hasyim, ayah saya, sebagai Menteri Agama dari NU, perempuan diterima menjadi hakim agama melalui penerimaan di SGHN (sekolah guru hakim negeri), Ini baru satu-satunya di dunia.
Kemudian, pada tahun 1984, NU menerima asas Pancasila. Yang lain kan hanya ikut-ikutan NU. NU berani merumuskan menerima asas Pancasila dan tetap memegang akidah ahlul sunnah wal jamaah. Jadi, contoh-contoh itu membuktikan bahwa kedudukan Islam yang nasionalis, Islam yang memperhitungkan keadaan Indonesia, lebih kuat daripada mereka yang menginginkan formalisme Islam.
Kemudian, pada tahun 1984 timbul asas tunggal Pancasila bagi organisasi sosial-politik. Ketika saya berbicara dengan umat Katolik, ternyata dalam Kristen ada pemisahan yang jelas antara agama dan negara. Nah, sebagai Sekretaris Panitia Kecil Pengurus Besar NU (yang membahas soal asas tunggal Pancasila), saya menyetir supaya NU menerima asas tunggal Pancasila itu. Karena apa? Karena, kalau kita setia pada Undang-Undang Dasar 1945, berarti — pada waktu itu lo, ya, setia pada Pancasila. Nah, kalau setia pada Pancasila, berarti harus menerima juga Pancasila sebagai satu-satunya asas bagi kehidupan sosial-politik.
Saya ingat, akhir tahun 1983, Gus Dur pernah bicara dengan saya selama dua jam, memperingatkan supaya Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI) jangan terlalu picik. KWI jangan ragu-ragu mengenai asas tunggal itu. Kalau begitu, apakah ini berarti demokrasi di Indonesia tidak mungkin?
Mungkin: justru harus ada demokrasi karena landasan demokrasi itu kontrol sosial. Jadi, Indonesia tidak akan mungkin jadi negara Islam atau tidak akan mungkin jadi negara separatif karena adanya demokrasi.
Apakah demokrasi tidak lalu bisa dipakai oleh tiap-tiap kelompok: membantu mereka mau disintegrasi, juga sebaliknya membantu mereka untuk tidak disintegrasi?
Oh. tidak. Karena, mereka diharuskan mengikuti garis umum bangsa melalui dialog-dialog dan melalui perumusan bersama; siapa yang terbanyak itulah yang menang.
Tapi, negara ini kan mayoritasnya Islam dan prinsip demokrasi itu kan mayoritas. Jadi, bagaimana dengan yang minoritas-minoritas Kristen itu?
Ya, ini, kalau demokrasi itu dasarnya kesatuan bangsa dengan sendirinya demokrasi tidak berdasarkan agama,
Tapi bisa kan atas dasar suara mayoritas lalu seakan-akan berprinsip demokrasi mengislamkan negara; apakah itu mungkin?
Seperti Amerika Serikat sekarang, kenapa tidak mungkin jadi negara Kristen padahal itu negara penganut demokrasi? Karena. ada undang-undang dasar Amerika yang memberikan tempat persamaan yang mutlak pada semua agama.
Saya sendiri merasa demokrasi memang jalan terbaik karena di situ lalu orang tidak terfokus hanya pada agama, tapi pada politik. Dan, dalam politik ada bermacam-macam perbedaan sehingga saya sendiri merasa salah bahwa satu kelemahan besar Orde Baru adalah orde ini melarang rakyat ikut dalam politik. Akibatnya, seluruh energi dicurahkan ke agama, satu-satunya sektor yang masih relatif bebas dari rezim Orde Baru. Risikonya, tendensi primordial menjadi lebih kuat daripada dalam tahun 1950-an, ketika masih ada kebebasan.
Dalam hal ini tergantung pada organisasi agamanya. Untungnya, di Indonesia ada seperti NU, yang memahami betul bahwa Indonesia tidak berdasarkan agama walaupun mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam. Indonesia berdasarkan nasionalitus, kebangsaan. Karena itulah kami dari NU selalu menyodorkan bahwa konsep kebangsaan kita adalah, sebagai bangsa, kami tidak akan pernah bersatu untuk memformalkan ajaran agama Islam. Agama Islam urusan pribadi orang.
Gus Dur, ada yang mengatakan sebetulnya Indonesia tidak akan bisa melaksanakan integrasi karena budaya Jawa terlalu berpengaruh dan budaya Jawa katanya tidak demokratis.
Ya, tergantung pada bagaimana melihat budaya. Kalau saya memandang budaya Jawa, itu demokratis. Ada bagian-bagian dari budaya Jawa yang tidak demokratis, tapi yang namanya kewajiban-kewajiban umum kebudayaan itu jelas sekali demokratis. Semboyan mangan ora mangan asal ngumpul (‘makan tak makan asalkan berkumpul’) itu saja kan contoh bahwa pemerintah wajib memberikan perhatian ke warga negara seluruhnya supaya makan. Jadi, dalam budaya Jawa, ketundukan pertama itu kepada Tuhan, kepada kebaikan.
Jadi, tidak betul budaya Jawa itu menggagalkan demokrasi?
Tergantung; mungkin yang dimaksudkan adalah budaya politik Jawa selama ini. Kalau ini, karena Jawa diperintah oleh raja-raja yang terlalu mengandalkan pada kekuasaan raja, jadinya, ya, seperti itu. Tapi, itu kan kebudayaan atas, pinjam istilah orang-orang antropologi. Bawahnya, budaya Jawa bawah, demokrat sekali.
Ketika Sutawijaya dikalahkan Sultan Hadiwijaya, dia menyingkir, mendirikan pesantren di sebuah pulau di tengah-tengah Bengawan Solo. Maka, tercipta tembang itu lo: sigro milir sang getek sinonggo bajul, kawandoso cacahipun (‘segera mengalir getek didorong buaya, empat puluh banyaknya’). Itu kan menunjukkan 40 macam kesaktian yang dimiliki Sultan Hadiwijaya. Tapi, 40 macam kesaktian tidak untuk dia karena berwujud buaya. Artinya, kalau lalai, dia akan ditelan oleh kesaktian yang 40 itu.
Dengan kata lain, dia tidak pantas jadi raja. Karena itu lebih baik jadi ulama saja, mendidik masyarakat. Jadi, dari ini saja sudah ditunjukkan bahwa dalam kebudayaan Jawa itu ada yang seperti Joko Tingkir (Sultan Hadiwijaya), ada yang seperti Panembahan Senopati (Sutawijaya). Jadi, ya, tergantung pada dari mana memandang kebudayaan Jawa. Ada kiai, ada raja.
Jadi, tumbuhnya santri merupakan unsur demokratis dalam masyarakat Jawa?
Betul. Artinya, kiai sebagai manifestasi budaya santri itu menumbuhkan semacam kekuatan moral untuk mengoreksi hura-hura, mengoreksi raja-raja. Ambil contoh kisah Kiai Mutamaqin di Kajen. Dua ratus tahun lalu, Kiai Mutamaqin sudah memberontak kepada Raja Kartosuro, yang diwakili oleh penghulu bernama Ketib Anom. Ia mengajarkan persamaan hak dalam masyarakat. Terus, Kiai Mutamaqin dipanggil Ketib Anom. Berdebat mereka.
Menurut versi keraton, Kiai Ahmad Mutamaqin kalah kaji (kalah ilmu) istilahnya begitu. Karena itu harus mengalah kembali ke kampungnya, ke Cebolek. Tapi, sampai dengan hari ini, setiap 1 Suro dirayakan haul Kiai Mutamaqin, dirayakan peringatan ulang tahun kematiannya. Ribuan orang datang, mendengarkan tembang; dalam tembang ini, Cebolek menang, Mutamaqin menang. Jadi, dalam tradisi lisan, sang kiai menang; dalam tradisi tulisan, sang rajalah yang menang.
Nah, saya melihat ada dua dalam hal Serat Cebolek ini. Satu, ini adalah pemberontakan kaum syiah di Indonesia. Artinya, orang yang berangkat ke sini membawa syiah setelah sampai di sini ikut suni, tapi semangat syiahnya tetap, semangat kerakyatan. Yang kedua, Kiai Mutamaqin menentang keraton dan ternyata dia tetap hidup. Saya cenderung menafsirkan, dalam debat, Kiai Mutamaqinlah yang menang. Sebab, kalau dia kalah, dia akan dimatikan, paling tidak enggak boleh jadi kiai lagi. Nyatanya, dia masih jadi kiai. Nah, dengan demikian, tradisi persamaan hak itu inti kedaulatan hukum, itu ada pada sang kiai, sang raja tidak.
Kalau begitu, citra budaya Jawa sangat orang atas?
Orang atas itu bagian dari kebudayaan keraton.
Lalu, bagaimana rakyat?
Rakyat mempunyai budayanya sendiri. Kiai-kiai berkembang di seluruh Pulau Jawa. Di mana ada lurah di situ ada kiai. Berarti, baik kecenderungan elitis maupun kecenderungan populis ada pada budaya Jawa. Maka itu jangan heran kalau NU menuntut persamaan hak. Karena itu, NU menerima Serat Cebolek yang dinyanyikan di Kajen pada setiap 1 Suro.
Soal lain, banyak ditanyakan orang luar negeri, apakah di Indonesia ada bahaya radikalisasi di kalangan Islam?
Saya rasa masalahnya bukan ada atau tidak, melainkan apakah situasinya kondusif untuk munculnya kaum militan. Sebab, kalau ditanya apakah orang Islam itu senang demokrasi, tentu saja senang. Tapi kan belum tentu orang Islam di Indonesia yang senang demokrasi itu lalu melawan’ gerakan Islam yang militan. Kita lihat, gerakan-gerakan Islam di Indonesia yang sekarang ada: mana gerakan militan yang dilawan? Enggak ada.
Nah, karena enggak dilawan, gerakan militan itu lalu mengira situasinya cocok untuk mereka. Jadi, mereka lalu maju terus. Jadi, dengan pertanyaan lain, jawabannya itu adalah “apakah situasi di Indonesia nanti akan tetap kondusif untuk mereka atau tidak”.
Kalau tidak, ya, mereka nanti akan kehilangan klaim; dan yang akan muncul adalah orang-orang yang moderat, yang baik, seperti saya ini. Karena apa, karena yang moderat itu jumlahnya besar; jadi enggak usah khawatir.
Sekarang ini, kecenderungannya lebih ke arah radikalisasi atau penciptaan suasana yang tidak kondusif untuk Islam militan?
Saya rasa, dilihat perjalanan bangsa kita mulai dari perjuangan kemerdekaan sampai sekarang, itu lebih kondusif untuk yang tidak militan. Munculnya nasionalisme di Indonesia yang begitu kuat, yang sekuler, bahkan kadang-kadang kelihatan sebagai antiagama, toh akhirnya yang seperti itu menyisih juga. Jadi, yang benar itu adalah kaum nasionalis yang cinta agama seperti Bung Karno dan sebagainya itu.
Lalu kemudian dari kalangan Islam muncul seperti NU, yang tidak mau memaksakan kehendak kepada orang lain–NU jalan sendiri. Dan jangan dianggap NU begini karena kebetulan. Bukan; ini suatu sikap yang konsisten. Kan sudah saya sebutkan, dalam kongres Banjarmasin, NU sudah menyatakan tidak wajib mendirikan negara Islam.
Dalam Pemilihan Umum 1955, kira-kira setengah dari muslim Indonesia tidak memilih partai Islam; apakah kira-kira sekarang juga masih begini atau bagaimana?
Sekarang malah lebih besar, Romo. Yang tidak memilih partai Islam itu lebih besar karena mereka sekarang juga memilih NU. Nanti, dalam pertempuran antara Pancasila dan Islam belum tentu orang memilih Islam. Seandainya, dalam pemilihan umum yang akan datang, lini yang saya bawakan sekarang ini menang, itu berarti orang-orang Islam tidak senang dengan kehadiran negara yang campur tangannya terlalu besar dalam agama.
Apakah orang-orang NU merasa negara terlalu banyak campur tangan?
O. iya sekarang ini. Masjid saja diperebutkan antara orang NU dan Muhammadiyah. Dan, Muhammadiyah itu representasinya pegawai negeri, pemerintah. Maka, ada pemeo di NU: kalau orang NU sama orang lain ribut berebut sandal di masjid, NU dengan Muhammadiyah berebut masjid. Jadinya, orang NU kalah karena yang non-NU itu dibantu birokrasi pemerintahan. Dengan kata lain, NU sudah mual dengan pemerintah.
Kalau Gus Dur tidak bicara seperti orang NU, tapi sebagai negarawan, bagaimana Gus Dur melihat kekuatan Muhammadiyah yang supposed to be modernist dan kekuatan NU yang supposed to be traditionalist atau pluralis; lalu ada Dewan Dakwah, ada Majelis Ulama Indonesia (MUI)?
Saya tidak mengatakan Muhammadiyah itu seluruhnya anti-nasionalisme atau seluruhnya berpikiran militan, enggak. Saya melihat Muhammadiyah dengan NU itu perbedaannya justru dalam cara mengarnbil keputusan hukum saja, maksudnya hukum agama. Di NU maupun Muhammadiyah sama-sama banyak orang yang beranggapan hukum agama seharusnya hukum Islam dan diberlakukan untuk orang-orang muslim: dan tidak usah negara ikut campur. Jadi, saya tidak tahu mana yang lebih besar dan mana yang lebih kecil. Tapi, kalau orang Dewan Dakwah itu lebih mungkin menganggap kepentingan agama lebih tinggi, kepentingan negara lebih kecil. Nah, mereka inilah yang jumlahnya sangat kecil — namanya minoritas.
Peran MUI dalam pembentukan, katakanlah, satu model Islam di Indonesia bagaimana?
MUI enggak bisa dijadikan contoh karena MUI bikinan pemerintah dan harus mempertahankan dirinya sebagai wadah bagi semua orang. Hal-hal yang seperti pikiran Dewan Dakwah tadi itu di MUI sama kuat dengan NU. Maka itu, di NU, MUI ditertawakan karena putusan-putusannya tidak mencerminkan keinginan umat, melainkan keinginan pemerintah. Itu dengan mengandaikan MUI seharusnya berdiri di atas semua golongan. Jadi, kita enggak tahu pemikiran MUI bagaimana.
Impian Gus Dur sendiri bagaimana?
Impian saya adalah tanpa majelis ulama. Di Amerika Serikat enggak ada majelis ulama. Yang Kristen bergerak sendiri, yang Katolik bergerak sendiri, yang Islam juga bergerak sendiri. Tapi. mereka berdialog satu sama lain. Impian saya itu adalah terjadi proses hubungan silaturahmi di antara semua pengikut agama.
Kita bicara saja orang kepercayaan. Kepercayaan itu kalau kita bilang mereka dimasukkan dalam golongan Islam, lalu senang dengan hukum Islam, lalu menjalankan hukum Islam dengan konsekuen, la mana bisa? Pendiriannya juga berbeda, kok. Hanya berhubung orang pakai nama Islam, ya, harus begini-begitu. Padahal, Islam itu bisa macam-macam. Seperti Permadi juga Islam. Kalau saya melihat itu begitu. Artinya, saya menganggap orang seperti Jatikusumo itu tidak kurang Islamnya daripada saya. Selama dia merasa dirinya muslim, ya, sudah. Seperti di Amerika, semua orang, ya, Kristen. Tapi, ya, Kristen saja, bukan lalu seperti Children of God.
Itu sangat majemuk.
Ya, sangat majemuk; Islam juga begitu, Kristen juga begitu, kepercayaan juga begitu.
Apakah kita akan mendapatkan masyarakat yang lebih majemuk dan terbuka pada kemajemukan atau tendensi ke arah keseragaman akan lebih kuat?
Saya rasa kita akan menuju ke kemajemukan lebih dulu. Sebab, semakin modern masyarakat kan semakin majemuk. Artinya, dalam hal ini, semakin tua masyarakat akan dihormati sebagai makin tinggi tingkat kemajemukannya.