Bagimu Agamamu, Bagiku Agamaku

Sumber Foto: https://www.dialogilmu.com/2018/02/batasan-toleransi-dalam-islam.html

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Sikap Islam terhadap perbedaan agama sangat jelas dirumuskan dalam Al-Qur’an. Bagimu agamamu, bagiku agamaku, lakum dinukum waliyadin, demikian firman Allah dalam kitab suci tersebut. Karena begitu jelasnya, ia sering disalah gunakan kaum muslimin sendiri. Allah telah membedakan secara tegas, karena itu agama tidak dapat dipersamakan. Tidak mungkin semua sama baiknya. Tidak mungkin sama benarnya. Tidak mungkin diperlakukan sama.

Dari diktum terakhir ini, lalu muncul rasa diri lebih dari orang lain. Agamaku adalah agama yang benar, dengan demikian agama-mu salah. Allah sendiri yang menyatakan dalam Al-Qur’an; innaddina ‘indallahi Islam, sesungguhnya agama yang benar di sisi Allah (hanyalah agama) Islam. Kamu mau apa, berani kamu minta dipersamakan agamamu dengan agamaku?

Sikap membenarkan agama sendiri adalah sikap yang benar. Tetapi sikap menyalahkan agama lain adalah sikap yang salah. Besar sekali jurang pemisah antara keduanya. Kalau tidak diambil sikap berhati-hati, kita dapat saja masuk jurang itu. Berarti tidak lagi berada di tebing kebenaran agama kita sendiri.

Kebenaran agama kita harus kita yakini seratus persen. Tidak boleh ada keraguan dalam iman kita sedikitpun. Tetapi itu berarti harus ada kesadaran akan perlunya berendah hati, tidak mementang-mentangkan diri dan agama sendiri. Sikap demikian justru sikap takabur, sikap bersombong diri, sikap yang menunjukkan rendahnya kadar keimanan kita sendiri, yang mutlak benar adalah Allah. Juga agama yang diturunkan Allah kepada ummat manusia. Bukan manusianya itu sendiri. Sedang Allah saja memberikan peluang kepada ummat manusia untuk menunjukkan kebenaran keyakinan mereka sendiri, kalau mereka mampu. Bahwa kemudian Allah memberitahukan bahwa yang benar di sisi-Nya hanyalah agama Islam, itu hanya untuk menunjukkan kesia-siaan upaya mereka. Bukan larangan mereka untuk mencari kebenaran itu sendiri.

Memahami kebebasan siapapun untuk mencari kebenaran mutlak perlu menurut cara masing-masing, adalah salah satu tuntutan dari kehidupan beragama Islam. Kalau berhasil mereka akan memperoleh hasilnya, jika tidak akan menanggung risikonya sendiri di akherat kelak. Tidak berarti penyelesaiannya harus kita paksakan dengan berpolemik di dunia. Siapapun tahu, keterbatasan cara berpolemik itu. Apalagi kalau bersifat sesisi belaka. Kita diperintahkan berdakwah, artinya mengumandangkan pesan universal Islam akan kebenaran Allah dan kebenaran agama kita. Itu saja, tidak untuk memusuhi mereka yang beragama Islam.

Urusan peng-Islaman itu adalah urusan Allah sendiri. Inna huda hudallah, kata Al-Qur’an, sesungguhnya petunjuk adalah petunjuk Allah jua! Janganlah berpretensi kita bisa meng-Islamkan orang, karena sebenarnya kita hanya alat Tuhan saja dalam hal itu. Kita hanya menjadi prajurit Allah, sedangkan Beliau adalah komandan langsung. Masakan kita akan lebih galak dari komandan kita sendiri. Tidak lucu dong.!?

Tetapi, lebih dalam lagi adalah keterangan teologis yang harus dimengerti dari ayat Al-Qur’an tentang kebenaran mutlak Islam di sisi Allah itu. Kebenaran mutlak yang dimaksudkan itu adalah kebenaran imani, kebenaran keyakinan akan ke-esaan Tuhan. Mereka yang benar dalam keimanannya, belum tentu benar dalam perilaku dan pola amal perbuatannya sehari-hari, dus tidak berarti telah mencapai kebenaran amali yang dituntut dari keberadaan orang yang telah mencapai derajat kebenaran imani itu. Sedangkan orang lain mungkin belum mencapai derajat kebenaran imani, tetapi amal perbuatannya menunjukkan derajat kebenaran amali, minimal dalam hubungan antar-manusia (hablum minan nas).

Mungkin saja telah mencapai derajat kebenaran amali, sedangkan kita hanya bermodalkan kebenaran imani belaka? Karena itu, bukankah kita harus melakukan pergaulan baik dengan ummat beragama lain, mengakui hak mereka untuk mencari kebenaran, dan undang-undang? Bukankah justru dengan sikap seperti itu kita akan menggapai tebing kebenaran amali, setelah berada di dataran kebenaran imani kita selama ini? Bukankah dengan demikian berarti kita menyempurnakan kehidupan beragama kita?