Bangsawan yang Ber-NU Melalui Jalur Kelaskaran

Sumber: https://nu.or.id/nasional/jelang-haul-kh-zainul-arifin-kenang-sejarah-pembentukan-paspampres-VM9Zx

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Stereotipe yang dibuat para sejarawan bahwa NU sebagai organisasinya orang Jawa itu sungguh menyesatkan banyak orang. Hingga saking kuatnya stereotip tersebut masih terlihat dalam penulisan sejarah saat ini, meskipun berbagai stereotipe tersebut telah dibantah sendiri oleh kenyataan sejarah. Bagaimana NU dianggap hanya organisasi Jawa kalau NU pernah dipimpin oleh Pak Idham Chalid dari Banjarmasin dan perlu diketahui dalam pemilu pertama tahun 1955 Propinsi Kalimantan Selatan tempat asal Ketua Umum PBNU itu Partai NU tampil sebagai pemenang utama dengan angka nyaris mutlak. Ini menunjukkan betapa kuatnya basis NU di Kalimantan. Bisa dipahami tahun 1936 saja Masyarakat Banjarmasin telah mampu menyelenggarakan kegiatan NU bertaraf nasional yaitu Muktamar NU ke-11.

Sama halnya dengan KH Zainul Arifin tokoh NU militan dari Sumatra Utara ini memiliki peran sejak awal di NU. Walaupun dia dari kalangan bangsawan setempat yang memperoleh pendidikan modern ala Belanda, tetapi sejak di kampung halamannya telah dididik dalam ajaran Ahlussunnah wal Jamaah dengan ketat, sehingga ketika merantau ke Jakarta akidah yang telah tertanam sejak remaja itu tidak pernah luntur. Karena itu ia aktif merintis berdirinya NU di Jakarta sebagai salah satu ketua Konsul NU di Mateer Cornelis (Jatinegara).

Zainul Arifin berasal dari kalangan bangsawan Kerajaan Barus yang menganut Islam Ahlussunnah wal Jamaah bermazdhab Syafii yang kuat. Secara umum kerajaan Islam di Nusantara memang berfaham Ahlussunnah, meskipun Ahlussunnah Syafiiyah di Barus pernah mendapatkan gempuran keras dari kelompok Wahabi-Paderi tetapi ajaran Ahlussunnah di sana Syafiiyah masih kuat di sana, sehingga ketika NU berdiri banyak di kalangan ulama di daerah itu yang menjadi pendukung NU. Perlu diingat bahwa pemangku makam kuno di Barus, terutama makam Syekh Rukunuddin yang wafat tahun 48 H atau 671 M sejak dulu makam ulama ini dirawat oleh pengurus NU setempat. Sehingga para tokoh NU itu menjadi saksi penting saat rekonstruksi sejarah masuknya Islam di Indonesia yang diselenggarakan dalam Kongres masuknya Islam di Indonesia yang diselenggarakan di Medan tahun 1962.

Seorang tokoh sejarah selalu muncul dalam momentum-momentum sejarah yang khas. Munculnya KH Zainul Arifin juga menemukan momentumnya sendiri. NU sebagai organisasi yang dipimpin oleh ulama kharismatik yaitu Kiai Hasyim Asy’ari yang mempunyai pengaruh besar di kalangan ulama Nusantara, lalu di situ ada seorang pejuang militant seperti Kiai Wahab. Kharisma Kiai Hasyim dan militansi Kiai Wahab Chasbullah itu bisa dikelola dan kembangkan oleh tokoh-tokoh muda yang piawai seperti Kiai Zainul Arifin, Kiai Wahid Hasyim dan Kiai Machfud Siddik pada saat itu, sehingga NU tampil menjadi organisasi yang kuat dan disegani.

Sejak pertengahan tahun 1930-an ia telah memperlihatkan kemenonjolannya dalam setiap Muktamar. Dalam Muktamar di Menes Banten tahun 1938 telah kelihatan bakat kepemimpinan tokoh dari Sumatra Utara ini. Dan juga pada Muktamar berikutnya ia selalu menjadi pemimpin siding yang terkenal ulet dan piawai yang mampu keluar dari segala keruwetan sidang. Dia muncul dengan cemerlang di saat bintang pemimpin NU bertaburan, selain Kiai Hasyim Asy’ari, Kiai Wahab Chasbullah, Kiai Wahid Hasyim, Kiai Masykur dan Kiai Ilyas, tetapi Zainul Arifin tetap mampu menunjukkan kecermelangannya. Melihat kenyataan itu maka tidak aneh kalau menghadapi berbagai persoalan pelik terutama sepeninggal Kiai Hasyim Asy’ari sering kali Kiai Wahab Chasbullah menyerahkan kepada Kiai Zainul Arifin.

Derap revolusi nasional menyeret Zainul Arifin ke kancah perjuangan dengan membentuk pasukan Hizbullah yang kemudian menjadi panglima tertingginya. Ini menunjukkan selain memiliki kapasitas intelektual dan keulamaan, tokoh ini juga memiliki kemampuan kemiliteran. Kepemimpinan di Hizbullah itu merupakan tonggak penting bagi perkembangan karir Zainul Arifin sebab di sanalah ia bertemu dengan tokoh perjuangan nasional yang lain seperti Bung Karno, Hatta, Tan Malaka dan sebagainya. Pertemuan itu yang kemudian ketika bangsa ini membentuk republik, sejak awal Zainul Arifin dilibatkan.

Mengenai visi kebangsaan tokoh ini memang tidak lagi diragukan, justru karena kematangannya itulah di tengah situasi politik yang goyang selama masa demokrasi liberal kabinet yang dipimpin bersama tokoh nasionalis yang lain yaitu Ali Santro Amidjojo, berhasil mempertahankan pemerintahannya cukup panjang. Dan selama masa kabinet Ali-Arifin (Kabinet AA) itu berhasil diselenggarakan peristiwa bersejarah yaitu Konferensi Asia Afrika 1955 yang mampu menggerakkan dunia terjajah menjadi bangsa yang merdeka dan berdaulat. Walaupun kegiatan itu mendapat rintangan keras dari dalam dan luar negeri, tetapi berkat kegigihan penyelenggara maka Konfrensi itu bisa dilaksanakan dengan sukses besar yang menjadikan Indonesia sebagai pemimpin negara yang baru merdeka.

Sejak dari masa sidang Konstituante hingga masa Dekrit Presiden bersama KH Saifuddin Zuhri ia menjadi penjaga gawang dalam menyelamatkan aspirasi umat Islam. Dengan segala jaminan dan kepastian yang diberikan oleh Presiden Soekarno NU menyetujui dekrit terutama kembali ke UUD 1945. Terutama ketika dekrit itu menegaskan bahwa Piagam Jakarta yang menjadi perjuangan umat Islam saat itu tetap menjiwai UUD 1945. Dari situ kelihatan antara komitmen keislaman dan keindonesiaan benar-benar menyatu, yang ini oleh kelompok Islam radikal dianggap sebagai penyimpangan.

Dengan latar belakang kelaskaran atau kemiliteran itu selama masa demokrasi terpimpin sebagai tokoh NU Zainul Arifin mampu mengimbangi kekuatan politik PKI dan militer yang sedang bersaing saat itu. Tidak hanya itu selanjutnya dengan kepiawaian Zainul Arifin dan Kiai Wahab Chasbullah, maka NU juga mampu mengimbangi kekuatan lobi PKI di hadapan Presiden Soekarno. Siapa pun kekuatan politik saat itu baik PKI maupun militer saling berebut untuk bisa mempengaruhi kebijakan Politik Bung Karno. Potensi politik dan kepiawaian dalam memainkan peran itu membuat NU benar-benar sebagai lembaga penentu dalam menjaga keseimbangan bangsa.

Sepertinya sudah menjadi nasib Zainul Arifin yang kakeknya banyak menjadi korban kekerasan kelompok Islam garis keras. Nasib serupa menimpa putera barus ini menjadi sasaran kelompok Islam radikal. Sudah menjadi tekadnya bahwa menjadi komandan Hizbullah berarti berani menjadi syahid. Tampaknya tekad itu menjadi kenyataan ketika sedang shalat Idul Adha bersama Bung Karno di depan Istana Negara sekelompok Islam garis keras menembaknya, hingga tokoh ini menemui ajalnya.

Tetapi kontribusi beliau ini tidak akan dilupakan orang, setidaknya dia telah dikukuhkan sebagai pahlawan nasional yang namanya menghiasi jalan raya di kawasan Petojo, Jakarta Pusat. Tetapi lebih dari itu usahanya untuk menjaga kesatuan negeri ini merupakan kontribusi yang tidak bisa dilupakan. Perjuangannya selama masa revolusi hingga menjelang proklamasi serta saat pembentukan negeri ini justru momentum penting yang sangat besar artinya.