Beberapa Masalah Utama Generasi Muda

Sumber Foto: https://kesrasetda.bulelengkab.go.id/informasi/detail/artikel/pemuda-potensi-masalah-peran-dan-harapan-untuk-bangsa-25

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Pada saat ini tentunya telah hampir dirampungkan sebuah konsep dasar tentang pembinaan generasi muda dalam Pelita IV, nanti Untuk menajamkan perspektif konsep dasar tersebut, masyarakat luas dapat mengajukan berbagai gagasan atas prakarsa sendiri. Sudah tentu sudah sangat lambat untuk mengusulkan sejumlah langkah kongkret, apalagi yang bersifat operasional, untuk dimasukkan ke dalam konsep dasar tersebut.

Namun, pengajuan gagasan tetap diperlukan minimal untuk memungkinkan bandingan bagi pengambil keputusan, sehingga produk yang tengah digarap bentuk terakhirnya memperoleh kaca pantul yang hidup. Dengan cara seperti itulah dapat diperkirakan tolok ukur apa yang dapat digunakan untuk menilai konsep dasar itu sendiri sebelum dijadikan dokumen resmi.

Makalah ini dimaksudkan untuk menyoroti sepintas lalu beberapa masalah utama yang memerlukan pemikiran lebih mendalam dan renungan lebih mendasar. Dengan cara itulah akan tercapai kearifan yang diperlukan untuk melakukan antisipasi atas masalah-masalah yang dihadapi di masa depan, dan menyediakan cara pemecahan sejak dini. Dengan tekanan pada beberapa masalah utama itu, diharapkan akan didapat sebuah titik strategis bagi penyediaan atau penemuan pemecahan seperti itu.

Keterbatasan ruang mengharuskan tulisan ini untuk tidak membahas satu persatu masalah yang dihadapi, melainkan keseluruhan masalah akan dilihat secara global Penglihatan global itu dengan sendirinya harus mampu merangkaikan berbagai masalah dalam sebuah jenis masalah umum saja. Cara ini akan memungkinkan pembuatan sebuah prinsip pemecahan yang bersifat umum pula, yang baru di tempat lain akan dapat dikembangkan menjadi rangkaian pemecahan operasional.

Unsur Kepekaan

Bagian terpenting dari kehidupan generasi muda, jika dilihat dari dimensi sosialnya (dan kata “generası’ justru menunjukkan dimensi tersebut) adalah masa remaja. Masa ini ditandai oleh kuatnya unsur kepekaan dan keharuan rasa dalam diri mereka. Namun, pada saat yang sama mereka telah mulai pula mengembangkan kemampuan berpikir rasional secara tuntas. Baik perangkat pendidikan maupun kehidupan sosial pada umumnya telah membuatkan kerangka berpikir analitis, betapa masih sederhananya sekalipun, bagi kaum remaja.

Kombinasi antara kepekaan pribadi yang amat kuat di satu pihak dan bermulanya pandangan hidup rasional di pihak lain membawakan semacam suasananya sendiri bagi para remaja. Mayoritas warga generasi muda kita saat ini adalah remaja, jika garis batasnya ditarik antara umur dua belas dan dua puluh tahun

Bagi kelompok umur remaja itu, kepekaan telah membawa kesadaran kuat akan masih parahnya keadaan sosial-ekonomi kita, terlepas dari hasil-hasil kongkret yang telah dicapai dalam pembangunan. Demikian pula, di bidang sosial-budaya dirasakan oleh mereka adanya ketidakjelasan situasi, seperti kesenjangan sangat besar antara etika dan retorika pembangunan di satu pihak dan kenyataan di “lapangan” yang mereka lihat sehari-hari dalam aspek-aspek disiplin kerja, tanggung jawab mengelola harta dan kepentingan umum, dan kesediaan berkorban bagi kepentingan orang banyak. Sedangkan di bidang politik, mereka merasakan bahwa kehidupan politik itu sendiri seakan-akan lepas dari idealisme pejuangan.

Tidak heran jika muncul reaksi bermacam-macam dari mereka. Yang terpenting di antaranya adalah terpecahnya orientasi kehidupan para remaja itu. Ada remaja yang menganggap bahwa perbaikan keadaan secara tuntas adalah kewajiban utama mereka. Namun sebaliknya, ada yang sama sekali tidak mau tahu dengan keadaan tersebut. Terpecahnya orientasi kehidupan itulah yang sebenarnya menjadi sebab utama bagi masalah-masalah utama yang dihadapi dalam pembinaan generasi muda sekarang.

Orientasi untuk tidak menghiraukan kepekaan yang terasa itu, telah membawa kepada sikap hidup hedonistik, mementingkan kesenangan sesaat yang dapat direngkuh dalam kehidupan sehari-hari mereka. Sikap ini tidak merupakan hal yang salah secara kategoris. Namun, dalam konteks yang ada sekarang, yang membutuhkan pemusatan semua kekuatan dan daya untuk pengembangan kepribadian yang membangun di kalangan generasi muda, ia merupakan sesuatu yang memiliki dampak negatif. Minimal ia akan memunculkan sikap tidak peduli kepada beberapa kebutuhan pembangunan, seperti penumbuhan etos kerja yang sehat sejak dini, kesediaan berkorban kini untuk kepentingan masa depan dan sikap bertanggung jawab terhadap diri sendir dan masyarakat. Dalam wajah umumnya saat ini, kecenderungan hedonistis itu memunculkan masalah derasnya penerimaan pola hidup serba konsumtif yang melanda sebagian remaja di kawasan metropolitan kita.

Sebaliknya, kepekaan berlebih telah membawa orientasi ‘memperbaiki kemelut kehidupan bangsa kepada sikap yang sama negatifnya penolakan atas kenyataan yang ada, termasuk penolakan atas hasil-hasil pembangunan secara total. Sikap itu lalu disusul dengan kecenderungan mencari ‘sistem alternatif’ terhadap struktur poleksosbud yang ada, yang lalu ‘dihadapi’ baik secara frontal di semua bidang maupun hanya sektoral dalam beberapa bidang selektif.

Hasil dari kecenderungan seperti itu adalah eksklusivisme yang kuat di sementara kalangan remaja, terutama yang ‘berbaju agama’. Ideologi negara dipertentangkan kepada keabsahan mutlak ‘sistem kehidupan beragama’ yang dilaksanakan dengan tuntas. Moralitas masyarakat dihadapkan kepada kritikan tajam dan mendasar dari sudut pandangan moralitas ideal yang dikandung oleh agama. Sistem komunikasi yang ada, yang memang serba terbatas bagi pernyataan pendapat: yang jujur dan terbuka, dilawankan kepada ‘pesan-pesan abadi agama’ akan persamaan hak, kebebasan dan keadilan.

Sistem ekonomi yang memang masih belum mapan sepenuhnya, setidak-tidaknya secara teoritis, dikonfrontasikan kepada ‘teori-teori ekonomi ideal’ yang disusun dari postulat-postulat agama Diajukan klaim bahwa teori seperti itu akan membawakan keadilan ekonomi secara tuntas, untuk mengoreksi ketimpangan-ketimpangan mendasar yang ditimbulkan oleh sistem perekonomian yang ada sekarang. Juga tak lupa sistem hukum nasional, yang lalu digugat keabsahannya oleh ‘sistem ideal’ yang diproyeksikan dari hukum agama.

Kecenderungan Eksklusivistis

Sebenarnya, pemeriksaan ulang akan keabsahan dan kegunaan hasil pembangunan di berbagai bidang sangat diperlukan, untuk memungkinkan perbaikan atas kelanjutan proses pembangunan itu sendiri. Tetapi, kalau pemeriksaan ulang itu dilakukan dengan semangat penghadapan seperti digambarkan di atas, hasilnya adalah eksklusivisme yang tidak menguntungkan pihak manapun, bahkan membahayakan kehidupan berbangsa kalau menjadi sesuatu yang masif dan meluas.

Sebagai akibat dari terpecahnya orientasi kehidupan para remaja kita, yang akan berlanjut pada masa purna-remaja sebagai konsekwensi logis, maka sebenarnya tersisa sedikit kelompok remaja yang mampu memahami keadaan secara benar. Merekalah yang memahami pahitnya keadaan tanpa kehilangan optimisme akan masa depan, yang memandang kenyataan justru sebagai tantangan untuk berkreasi dan berprestasi. Merekalah yang mampu memelihara keseimbangan antara sifat kritis atas keadaan yang belum memuaskan dan keterlibatan untuk melakukan perbaikan dalam konteks poleksosbud yang ada. Mereka jugalah yang berkala yang bersedia mengambil inisiatif untuk melaksanakan program-program kongkrit dalam pembinaan kepribadian serba seimbang dan keterlibatan sosial yang serba selaras.

Masalah-masalah sektoral yang disebutkan di atas membawa kita kepada sebuah masalah umum yang memerlukan penanganan yang bijaksana. Masalah umum itu adalah kuatnya kecenderungan eklusivistis di kalngan generasi muda kita, minimal di kalangan remaja (12-20 tahun) dan purna remaja (21-30 tahun). Eksklusivisme mereka yang berpola hidup konsumtif semata di satu pihak dan mereka yang menampilkan pola alternatif ideal bagi keadaan di pihak lain. Jawaban dari masalah umum itu tampak jelas dari keseluruhan perumusan masalah (problem-stelling) masalah umum itu sendiri pengembangan kepribadian generasi muda yang “wajar-wajar” saja.

Rumusan “pengembangan kepribadian wajar-wajar saja” terdengan mudah dilakukan, namun dalam kenyataan sangat sulit dikerjakan. Bahkan dijabarkan pun secara sederhana sudah sangat sulit. Ia bersangkut paut dengan sasaran kepribadian yang ingin dikembangkan yang akan memunculkan pertanyaan berikut: apakah batas antara “sifat wajar” dari “sifat ideal”? Ia juga menyangkut penumbuhan peralatan psikologis untuk mengatasi dampak negatif dari eksklusivisme, sehingga memungkinkan generasi muda “kembali ke titik nol relatif, sebelum nantinya berkembang ke arah “kewajaran”. Ia juga berarti kebutuhan memerinci masalah-masalah secara tajam, untuk menghindari generalisasi yang mengambang dari apa yang dikonstatasi sebagai masalah umum di atas.

Demikian pula, sebuah keputusan untuk mengembangkan sebuah konsep pembinaan “generasi muda yang wajar-wajar saja” harus menghindarkan diri dari sikap yang terlalu menghukum kedua kecenderungan eksklusivistis di atas. Konsep dasar seperti itu justru mengharuskan kita semua untuk memampu menumbuhkan “kelompok tengah” yang sepenuhnya berorientasi kepada pembangunan nasional di kalangan generasi muda, tapa terasing dari perkembangan “kegenerasimudaan” secara umum. Dengan vitalitas dan daya tahan yang dimilikinya, kelompok ini akan mampu membawa para pengikut kecenderungan-kecenderungan eksklusivistis di atas kepada sikap yang sehat terhadap pembangunan nasional dalam jangka panjang. Terpulang kepada kita semualah untuk menentukan dapat atau tidaknya pengembangan kelompok seperti itu, guna kepentingan masa depan bangsa dan negara.