Belanda dan Eksperimen Dick Advocaat

Sumber Foto: https://www.youtube.com/watch?v=ZzC6RBYf8P8

Ulasan Piala Dunia 1994

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Pertandingan Belanda-Belgia adalah contoh klasik dari sebuah keberanian melakukan eksperimentasi. Pelatih Dick Advocaat tetap menolak keinginan untuk menggantungkan nasib kepada salah seorang atau beberapa maha bintang serperti Marco van Basten dan Ruud Gullit. Permainan yang ingin dikembangkan adalah pembagian peranan secara lebih merata dan kemampuan berpindah posisi di lapangan sesuai dengan kebutuhan.

Tim yang seperti itu, ia bangun dengan mengorbankan kelebihan skill luar biasa dan insting membangun serangan yang dimiliki Gullit sebagai playmaker (pembagi bola). Seorang Gullit dengan modal kedua hal itu akan menjadi sangat berguna bagi tim, tetapi itupun harus dikorbankan kalau, kemudian sebagai akibat para pemain lainnya tidak dapat mengikuti rencana-bangunan yang lebih mementingkan meratanya peranan itu.

Dalam pertandingan Belanda-Belgia itu, tampak betapa konsekwen Advocaat dengan keinginannya itu. Rijkaard dan Wouters silih berganti ia tempatkan di depan dan di belakang untuk menahan dobrakan De Gryse, Weber, dan Scifo. Dengan demikian pertahanan tidak terlalu tergantung kepada Ronald Koeman yang kemudian menjadi lebih leluasa mendukung serangan di depan.

Pola “lini tengah kacau” yang diterapkan Advocaat ini sepintas lalu memang mengesankan tidak adanya pola bangunan serangan yang bertujuan tetap (fixed purpose). Pada perempat pertama seluruh pertandingan tampak serangan menjadi tidak menentu arahnya, yang umumnya dikembalikan sebabnya kepada tidak adanya pembagi bola yang jitu dan kreatif seperti Gullit. Padahal sebenarnya memang Advocaat tidak memerlukan memegang peranan kunci seperti itu yang memungkinkan tim lawan melumpuhkan Belanda hanya dengan mengganggu sang pembagi bola itu terus-menerus.

Hal ini kebalikan dengan konsep klasik yang memantapkan tiap pemain pada kebolehannya sendiri di tempat masing-masing. Konsep Advocaat ini justru menghindari penempatan pemain secara kaku. Para pemain lalu menjadi bebas untuk mengembangkan peluang-peluang, baik bagi dirinya sendiri maupun bagi kawan-kawannya, sehingga permainan menjadi “sepak bola kosong” (zero football) ternyata pada babak akhir pertandingan dengan “kekacauannya” itu, Advocaat mampu menyuguhkan serangan bergelombang yang mengurung pertahanan Belgia terus menerus.

Ketangguhan penjaga gawang Preud’homme dan De Wolf yang luar biasa sajalah yang mampu menyelamatkan Belgia dari konsep “serangan acak” Belanda yang dirancang Advocaat itu. Karena memang kemampuan teknis para pemain Belanda sudah tinggi, model seperti ini dapat diterapkan oleh seluruh anggota tim.

Kalau diingat mayoritas para pemain Belanda masih berusia muda dan baru sekali turut kompetisi akbar ini, optimasi kekuatan penyerangan dengan pola acak itu tidak terjadi, karena belum meratanya pengalaman yang dimiliki masing-masing anggota tim. Dengan ungkapan lain, pola yang dikembangkan Advocaat itu menunjukkan potensi besar untuk berkembang secara matang dalam turnamen akbar ini.

***

Acungan jempol harus diberikan kepada Advocaat atas kemampuannya menerawang jauh kepada masa ketika lahir bintang-bintang yang tidak mementingkan posisinya sendiri, melainkan berbagi peranan dan berganti tempat tanpa ragu-ragu. Kalau saja ada penyerang sekelas Van Basten dan gelandang menyerang setingkat Gullit dengan pola itu, Advocaat akan mampu minimal menyamakan kedudukan ketika melawan Belgia itu.

Salah satu penyesuaian taktis yang dilakukan Advocaat adalah memasukkan Overmars di babak kedua. Pemain sayap kanan ini, dengan kelengketan bola sangat tinggi pada kakinya, ternyata membenarkan tesis berganti-ganti tempat dan peranan itu. Seringkali ia berfungsi sebagai pembagi bola dari lapangan tengah, tetapi juga tidak kehilangan daya jelajahnya untuk memberi umpan-umpan dari pinggir pertahanan lawan dan memanfaatkan seluruh lebar lapangan.

Pola serangan acak itu akhirnya mampu membingungkan pertahanan lawan yang sangat tangguh, seperti barisan belakang Belgia yang terkenal sangat ketat. Akan sangat menarik untuk melihat dalam beberapa hari lagi perbenturan antara Tim Oranye ini berhadapan dengan Maroko. Akan mampukah Advocaat mengembangkan lebih jauh pola “serangan acak” tersebut?

Dalam kekalahan 1-0 dari Belgia itu, tim Belanda ternyata menunjukkan potensi sangat besar untuk membuat kejutan dalam babak babak selanjutnya. Sebuah “tim biasa” yang dihasilkan “pelatih biasa” seperti Advocaat, akan harus bersaing dengan “tim maha bintang” Italia yang diasuh “pelatih agung” Arrigo Sacchi.

Dalam kerangka ini, sangat menarik untuk dilihat pemunculan para “pelatih biasa” seperti Berti Vogts di tim Jerman, Carlos Alberto Pareira di tim Brasil dan Pavel Sadyrim dari Rusia. Tidak boleh dilupakan para pelatih Nigeria, Kamerun, dan Meksiko.

Tim Belgia sendiri juga tampil mengesankan dalam pertandingannya melawan tim Belanda Sabtu malam Minggu kemarin itu. Keutuhan tim tampak nyata, dengan dipanglimai oleh Gruns dan serangan gencar dimotori Scifo. Lini penghubung yang sangat vital seperti Van Der Elst, membuat hidup serangan-serangan terobosan Belgia. Kelemahannya tampak hanya pada kurang cepatnya barisan gelandang melapis pertahanan begitu bola berbalik arah kawasan belakang Belgia. Duet penyerang seperti Romario dan Bebeto dari tim Brasil atau trio Caniggia-Maradona-Batistuta akan leluasa memporak-porandakan pertahanan Belgia.

Beradunya pola konvensional dengan ketrampilan dan kemahiran sangat tinggi seperti dimiliki Belgia, dan inovasi eksperimental yang dibawakan Advocaat melalui tim Belanda, merupakan sebuah sisi tersendiri dari kompetisi akbar seperti Piala Dunia 1994 yang sedang digelar saat ini. Hal ini mengingatkan kita kepada inovasi total football yang diperkenalkan pelatih Belanda Rinus Michels hampir belasan tahun yang lalu.

Begitu juga ketika tim “pangeran biru” Prancis membawakan konsep “sepak bola dinamit” dasawarsa yang lalu berhadapan dengan pola-pola konvensional seperti “bola tukang” tim Uni Soviet, pola-pola baru itu lalu menyegarkan seluruh kompetisi.