Benar-Benar Pengantar
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Buku yang ada di tangan pembaca ini adalah percikan pemikiran dari seorang anak muda tradisionalis yang tidak pernah merasa puas dengan ilmu-ilmu agama yang dikuasainya. Ia mempelajari beberapa karya dari mereka yang bernasib sama di masa lampau. Mereka adalah orang-orang yang menjadi sarjana-sarjana kelas satu, yang sibuk membedah ilmu-ilmu keislaman guna memuaskan kehausan yang mereka rasakan dalam mempelajari Islam. Banyak dari mereka yang kemudian menjadi raksasa-raksasa pengetahuan keislaman, membuat Islam sebagai agama yang hidup menjadi warisan utama hingga saat ini.
Penulis pengantar ini pernah berkunjung ke Masjid Qairawan di Maroko di ujung barat Benua Afrika. Di sana penulis mendapati sebuah kotak kaca. Di dalamnya terdapat kitab terjemahan Ibnu Rusyd bahasa Arab atas karya utama Aristoteles berjudul Ethika Nicomacheia. Segera penulis memeluk kotak itu dan menangisinya. Ibnu Rusyd-lah yang menekankan, betapa kita sebagai anak manusia berhutang budi begitu besar kepada Aristoteles. Mungkin kalau tidak pernah mengetahui adanya buku itu, penulis sudah menjadi teroris sekarang. Dalam menangisi karya Aristoteles itu, penulis melihat bentangan sangat luas dari peradaban manusia.
Menurut Prof. DR. Jan Romein dalam karyanya yang berbahasa Indonesia berjudul Aera Europa, ditegaskan bahwa sekitar abad ke-6 sebelum masehi terjadi krisis besar-besaran dalam peradaban manusia. Para moralis besar, yaitu Konghucu dan Lau Tse di daratan Cina, Buddha Gautama di anak benua India, Zarathustra di Persia dan Akhnaton di Mesir, bersama-sama membangun etika baru yang dianut manusia sejak itu. Melalui masyarakat pertanian, ketundukan kepada raja dan penggunaan moralitas yang hampir sama, mereka lalu menyusun apa yang oleh Romein disebut sebagai Pola Kemanusiaan Umum Pertama (Eerste Algemeen Menselijk Patroon). Pada pola ini, segala hal dikembalikan kepada awal mula adanya manusia, termasuk penggunaan ilmu pengetahuan. Hanya di Yunani kuno para filosof seperti Thales, Aristoteles dan Plato tidak mau kembali kepada dasar-dasar moral yang ada, melainkan menciptakan rasionalisme dalam berpikir. Filsafat menjadi alat penuntun di tangan mereka, dan menjadi penentu bagi pengetahuan-pengetahuan lainnya. Dengan bermodal rasio yang datang dari filsafat dan kerohanian (spiritualitas) yang datang dibawa oleh para filosof Yunani kuno itu, penulis lalu menangisi kitab tuntunan utama yang dalam bahasa Arab berjudul al-Akhlaq. Itupun dalam bentuk akhir yang sudah dipermak oleh filsafat Islam dengan tokoh-tokoh seperti al-Ghazali yang hidup beberapa abad yang lalu. Mungkin apresiasi seperti itu, dimiliki penulis buku ini sehingga terjadi dua hal yang berkembang bersama-sama dalam pemikirannya. Mungkin penulisan tokoh-tokoh pemikiran Islam masa lampau, terlalu ditekankan pada upaya melestarikan khazanah keagamaan yang ada, sehingga hampir-hampir tidak memberi tempat kepada ‘dobrakan-dobrakan’ yang terjadi.
Begitu terjadi dobrakan itu, segera muncul upaya tandingan berupa ‘menyelamatkan pandangan umat’ dalam bentuk yang vulgar. Kita tidak lagi tahu pandangan al-Khalil Ibnu Ahmad al-Farahidi penulis kamus al-‘Ayn, kamus pertama dalam bahasa Arab. Tokoh ini yang menggambarkan bahwa kealiman seorang pemikir Muslim dan ulama besar di balik pengusaanya atas filsafat Yunani, tentu mustahil tidak meninggalkan pemikiran konvensional. Bahwa semua karyanya hanya berwatak “biasa-biasa saja”, berarti memang telah ada upaya “membersihkan” pemikiran-pemikiran tokoh tersebut. Tokoh abad ke-2 Hijriyah itu telah meninggalkan kepada kita murid-murid yang menjadi pemikir-pemikir besar seperti al-Jahiz, al-Mubarrid, Sibawaih dan lain-lain. Merekalah yang boleh disebut sebagai ‘ensiklopedist’ pertama yang nantinya akan diikuti oleh kaum ensiklopedist lain-lain.
Melihat berbagai upaya para sarjana dan para pemikir Islam di berbagai bidang itu, kita melihat adanya catatan seperti yang dikemukakan dalam bagian-bagian utama buku ini. Kalau Ali Shari’ati yang geram akan sedikitnya analisa sosial dalam Islam yang penuh dengan gagasan pembebasan, dan karena itu ia lalu mencari hal itu pada ideologi-ideologi kiri. Maka tentu hal yang berlawanan akan dilakukan oleh para pemikir lain. Tentu kita dapat bertanya bagaimana penerimaan kaum muslimin atas gagasan berakhirnya sejarah, The End of History dari Fukuyama?
Hal-hal seperti inilah yang membuat mengapa buku ini sangat menarik untuk dibaca. Kalau selama ini pemikiran-pemikiran seperti itu hanya ada di luar Indonesia, seperti pendapat Al-Jabiri, Sha’duddin Ibrahim, Hassan Hanafi dan sebagainya, seperti halnya pendapat Muhammad Arkoun yang nakal itu. Maka sekarang dengan terbitnya buku ini, mulai muncul pertanyaan-pertanyaan mendasar dari Indonesia yang turut meramaikan kemajuan pemikiran Islam. Padahal buku ini belum diterjemahkan ke dalam bahasa lain.
Sebuah disertasi William Cleveland dari Amerika Serikat mengupas Islamisme (pandangan serba Islami) yang dibawakan oleh Shakib Arsalan, pemimpin Druz di Lebanon, kakek dari Kamal Jumlad yaitu sempalan aktivis Islam non-Arab di Lebanon abad yang lalu. Arsalan terkenal dengan bukunya, Limadza ta’akhara al-muslimûn wa taqaddma ghairuhum? (mengapa kaum Muslimin terbelakang dan lainnya maju?). Menurut Cleveland, Arsalan tidak akan mungkin diterima oleh para nasionalis Arab–sama saja halnya dengan Jamaluddin Afghani, seorang yang berasal dari Afghanistan–karena itu Arsalan tidak menggunakan ideologi nasionalisme Arab. Arsalan mengajukan Islamisme sebagai kendaraan politik untuk membuat dirinya diterima oleh masyarakat dunia Arab. Dengan menggunakan ideologi tersebut ia akhirnya diterima sebagai anggota parlemen Islam dalam era Islamisme di lingkungan dinasti Ottoman/ Utsmaniyyah di Turki, sebelum pemerintahan militer yang dipimpin oleh Mustofa Kamal Pasha. Jadi menurut disertasi itu, Islamisme yang dibawakan Shakib Arsalan adalah sesuatu yang sifatnya reaksi terhadap nasionlisme Arab. Kita boleh saja tidak sependapat dengan cara pandang disertasi tersebut, tetapi jelas bahwa pandangan itu cukup menarik untuk kita pikirkan lebih jauh.
Juga sangat menarik apa yang terjadi atas diri Sekarmadji Kartosuwiryo dengan Darul Islam Indonesia/Tentara Islam Indonesia (DI/TII). Jarang orang mengingat, bahwa ia pada tahun 1947 adalah asisten militer Panglima Sudirman, sedangkan KH. A. Wahid Hasyim adalah asisten politiknya. Bersama-sama dengan Soekarno, Panglima Sudirman mengemukakan gagasan tentang DI/TII di Jawa Barat, sebagai reaksi atas Perjanjian Renville yang ditandatangani oleh Pemerintah Republik Indonesia dengan Komisi Tiga Negara (KTN), yang mengharuskan militer Indonesia waktu itu Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI) untuk ditarik dari Jawa Barat dan Jawa Timur. Di Jawa Timur tanggung jawab dipegang oleh KH. A. Wahid Hasyim dan Sudiro (waktu itu Residen Besuki). Sedangkan di Jawa Barat, DI/TII mengambil tugas dari tangan APRI. Jalan pikirannya, tidak akan mungkin tentara Pasundan di bawah pimpinan Wiranata Kusumah menjamin keselamatan dan kemenangan rakyat jika tentara Belanda masuk ke kota-kota di Jawa Barat. Sejarah membenarkan perkiraan itu, karena daerah pedesaan di Jawa Barat tetap ikut Republik Indonesia yang tidak berfungsi di kawasan tersebut. Hanya saja, ketika perjuangan berakhir, Kartosuwiryo ingin menjadi Gubernur Jawa Barat. Namun ia dikhianati oleh Darsono dari Divisi Siliwangi, dan tentaranya dihancurkan oleh Darsono di daerah pegunungan Leles Garut dalam keadaan senjata kosong tidak berpeluru dan semua amunisi berada dalam kotak. Maka, dalam kemarahannya, Sekarmadji Kartosuwiryo lalu memberontak di pedesaan Jawa Barat. Pada waktu itu KH. A. Wahid Hasyim telah menyelesaikan tugas di Jawa Timur dengan baik dan menyerahkan kembali kepemimpinan di daerah itu ke tangan Bung Karno. Dalam hal ini, ia dibantu oleh saudaranya yang menjadi anggota pimpinan PP Muhammadiyah KH. A. Kahar Muzakar.
Dari sini kita lalu tahu, bahwa asal-usul berbagai gerakan Islam diseluruh dunia berbeda-beda. Kalau diketahui bahwa pada waktu itu DR. M. Natsir mulai memimpin gerakan menuntut untuk mendirikan Negara Islam di negeri kita, jelas bahwa hal itu berbeda jauh dari Islamisme yang dibawakan oleh KH. A. Kahar Muzakar dan KH A. Wahid Hasyim. Jika saat ini lahir ‘partai-partai Islam’, itu tidak lain adalah kelanjutan dari perjuangan masa lampau di saat-saat awal kemerdekaan. Padahal tokoh-tokoh Islam seperti H.O.S Cokroaminoto, KH. A. Kahar Muzakar dan KH. A. Wahid Hasyim adalah proponen dari penyatuan antar ideologi Islam dan ideologi nasionalis. Ideologi tersebut timbul dari kenyataan sejarah yang membutuhkan ‘pengakuan’ secara organisatoris. Hal itu diperoleh ketika muktamar NU yang berlangsung di Banjarmasin, Borneo Selatan (demikian propinsi Kalimantan Selatan dikenal waktu itu). Pertama, wajibkah bagi kaum muslimin di kawasan Hindia Belanda mempertahankan secara fisik kawasan itu, walaupun kawasan itu dikuasai oleh sebuah pemerintahan non-Muslim? Jawabannya adalah wajib. Jalan pikirannya seperti dikemukakan teks dalam Bughyah al-Mustarsyıdîn, adalah bahwa Syariat tentu dilaksanakan oleh kaum Muslimin sendiri yang dapat terganggu kalau kawasan tersebut direbut oleh orang lain. Pertanyaan kedua wajibkah didirikan negara Islam untuk melaksanakan Syariat? Dijawab: Tidak. Mengapa demikian? Karena Syariat dapat dilaksanakan sendiri oleh masyarakat/warga negara. Hal inilah yang sering dilupakan orang. Jadi muktamar tersebut tidak mewajibkan adanya Negara Islam. Dengan demikian orang dapat memilih mendirikan negara Islam atau tidak. Sikap untuk berdiri netral antara kedua pandangan tersebut, dalam kenyataan memang menjadi pilihan kaum Muslimin di banyak negara pada saat ini.
Dalam tahun-tahun 50-an terjadi pertentangan sengit antara warga gerakan-gerakan Islam dengan kaum ‘abangan’ di negeri ini. Mereka berbeda, bahkan bertentangan pendapat, soal harus atau tidaknya Syariat Islam untuk dicantumkan dalam konstitusi negara. Pertentangan antara kaum santri melawan kaum abangan itu disebabkan antara lain oleh ‘ketertinggalan’ kaum santri dari kaum abangan dalam banyak hal. Tetapi, hal itu akhirnya ‘hilang’. Pada saat ini kaum santri sudah sukses mengejar ketertinggalan mereka. Namun saat ini kaum ekstrim/radikal menghendaki formalisasi ajaran-ajaran dalam kehidupan pemerintahan di lingkungan negara. Kenyataan ini membuat ‘seolah-olah’ formalisasi ajaran-ajaran Islam dalam kehidupan bernegara merupakan kehendak yang nyata, walaupun jumlah mereka yang mendukungnya sangat kecil. Ini tentu disebabkan oleh berbagai macam kekecewaan dalam hidup mereka, walaupun mayoritas kaum santri yang memiliki pandangan mengagungkan ajaran-ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari tidak menginginkan hal itu. Kelompok kaum santri melihat bahwa mereka berhak melaksanakan ajaran-ajaran dalam hidup mereka tanpa kecanggungan dalam bentuk apapun. Kita lihat para dokter santri tanpa kecanggungan apapun sama sekali untuk berpegang kepada Syariat dalam kehidupan sehari-hari seperti membaca basmalah sebelum memeriksa seorang pasien. Bahkan, pada saat ini pembahasan tentang perlu atau tidaknya ‘keterpautan’ kaum Muslimin kepada formalisasi Syariat dibahas secara terbuka, antara lain oleh kaum non-Muslim.
Dengan kata lain kedewasaan pandangan telah berhasil kita capai sebagai bangsa. Padahal di India, Lal Krishna Advani (Ketua Umum Partai Oposisi Bharatia Janata Party saat ini) masih menyatakan bahwa pendiri Negara Islam Pakistan Ali Jinnah adalah seorang pemakan daging anjing dan daging babi, minum-minuman keras dan senang berhubungan seksual dengan perempuan tanpa ikatan perkawinan. Tetapi, tuduhan seperti itu dikemukakan pada sebuah masyarakat sekuler yang tidak mementingkan berlakunya Syariat.
Lain halnya dengan kawasan yang membahas masalah itu secara berkepanjangan, seperti terlihat pada Republik Indonesia. Namun negara-negara yang menamakan dirinya sekuler dan tidak ‘disibukkan’ oleh hubungan antara agama dan negara, seperti Republik Rakyat Tiongkok, saat ini pemerintahnya justru bersusah payah menunjukkan bahwa ia dekat dengan agama-agama yang dipeluk oleh rakyatnya. Kesadaran seperti itu, walaupun dibungkus dengan istilah-istilah non-agama–seperti pertimbangan-pertimbangan geopolitis–tetap saja tidak dapat membungkus kaitan antara negara dan agama. Demikianlah ‘tambahan bukti’ bagi adanya sikap protes terhadap perkembangan sejarah kaum Muslimin sendiri dari masalah-masalah yang dibahas di atas.
Kita dapat menyimpulkan bahwa sejarah kaum Muslimin belum sepenuhnya diketahui kaum Muslimin sendiri. Karena itu masih diperlukan keterbukaan sikap dan kesediaan memberikan perhatian penuh kepada beberapa ‘bagian hitam’ dari sejarah perjuangan Islam Peristiwa Kahar Muzakar dı Makasar, Ibnu Hajar di Kalimantan Selatan, Pusah (Perkumpulan Ulama Seluruh Aceh) di bawah pimpinan Daud Beureuh di awal-awal tahun 50-an, semuanya menunjuk kepada besarnya kekayaan sejarah yang harus kita gali. Tapi keluasan itu lalu mewajibkan kepada kita untuk memperoleh informasi yang akurat tentang diri kita sendiri. Tanpa pengetahuan kita tak akan mampu melakukan hal itu. Terpulang pada diri kita akan dilanjutkan atau tidak kajian seperti yang dilakukan penulis buku ini pada saat ini. Marilah kita sadari hal ini secara sungguh-sungguh, karena hasilnya juga akan langsung kita rasakan sendiri.
Salah satu hal yang penting untuk diperhatikan adalah bagaimana sebuah keputusan diambil dan bagaimana ia dipertahankan seperti semula atau justru diganti dengan keputusam baru. Dalam hal ini, terlihat adanya sebuah proses rasionalisasi, yaitu membuat sesuatu seperti yang dirancang atau diubah kemudian. Kasus yang dapat dikemukakan dalam hal ini adalah Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Sewaktu menghadapi ‘gempuran’ dari kalangan non-santri, diambil sikap untuk lebih dahulu mencari apa yang dimaksud dengan kata ‘imam’. Dalam Munas Ulama tahun 1954 di Cipanas, Jawa Barat diperoleh perumusan bahwa Presiden Republik Indonesia adalah waliyul amri dharûri bi al-syawkah (pemegang pemerintahan temporer dengan kekuasaan efektif). Ini berarti, bahwa pemerintahan Republik Indonesia adalah sesuatu yang tidak bertentangan dengan doktrin Islam perihal pemegang kekuasaan. Ia adalah pemegang kekuasaan untuk sementara karena tidak memiliki kecukupan persyaratan sebagai imam. Tetapi sifat temporer dari kekuasaanya berlaku sejak ia diberi kekuasaan itu. Ini berarti, presiden adalah imam temporer secara teoritis, tetapi dengan kekuasaan efektif sampai kapan pun. Pada tahun 1959 kekuasaan itu diuji oleh kegagalan sebagian anggota Dewan Konstituante yang menginginkan Islam sebagai dasar negara dalam konstitusi baru yang akan dibentuk. Dalam keadaan vakum kekuasaan, Bung Karno mengeluarkan Dekrit untuk kembali kepada Undang-Undang Dasar 1945.
Pemberlakuan UUD 1945 itu kemudian dikuatkan dengan keputusan MPRS. Sehingga UUD 1945 menjadi instrumen dasar bagi negara dan bangsa kita sejak itu hingga sekarang. Hal ini menjadi sesuatu yang peka, baik untuk dibicarakan secara terbuka maupun untuk menjadi bahan pemikiran kita. Karena itu, pada saat ini kita sebagai bangsa mengalami sedikit kesulitan untuk menampung aspirasi sejumlah pihak. Seperti Prof. DR. Amien Rais yang menginginkan adanya otonomi daerah dalam UUD negara kita dengan mengakhiri kekuasaan yang terpusat di Jakarta dengan cara membuat amandemen terhadap UUD 1945. Demikianlah selama beberapa tahun bertindak sebagai Ketua MPR RI, ia menyegerakan empat kali amandemen untuk keperluan itu. Di bawah kepemimpinannya, MPR-RI bersidang mengesahkan apa yang dikemudian dikenal sebagai amandemen yang diselesaikan tahun 2002. Upaya itu, secara keseluruhan dianggap sebagai UUD Perubahan, dan secara resmi diumumkan sebagai sesuatu yang permanen karena itu tidak dapat diubah lagi. Padahal, ternyata dari hasil telaah Ridwan Saidi dan kawan-kawan, banyak sekali hal-hal yang dapat dipertanyakan (dan bahkan dipersoalkan) mengenai UUD perubahan tersebut. Keadaan seperti inilah yang sedang kita hadapi, dan kemampuan kita sebagai bangsa untuk memecahkan persoalan ini sedang diuji. Dapatkah kita menyelesaikan masalah ini tanpa terpecah-belah?
Dewasa ini kita sebagai bangsa sedang menghadapi krisis multidimensi. Artinya krisis dalam beberapa bidang kehidupan sekaligus, terutama krisis kepercayaan. Bangsa ini sudah tidak dapat mempercayai ucapan-ucapan para pemimpinnya. Mengapa hal itu sampai terjadi? Karena kejujuran sudah tidak digunakan lagi dalam menjalani kehidupan pribadi maupun kehidupan sosial para pemimpin kita. Manusia sudah tidak bisa berbicara tanpa membelokkan arti kata-kata yang diucapkan. Dengan kata lain, kita sudah tidak bisa percaya kebenaran ucapan orang lain. Sebenarnya hal itu sudah lama terjadi. Menurut Prof. DR. Toety Herati Noerhadi, seorang filosof yang dididik di Universitas Leuven Belgia, manusia Indonesia mengalami keterputusan komunikasi antara berbagai pihak dalam masyarakat. Keterputusan komunikasi itu memaksa berbagai pihak untuk mengembangkan komunikasi yang tidak didukung oleh pengertian yang sama antara mereka. Maka muncullah bahasa semu (meta language) yang tidak dimengerti oleh lawan bicara. Umpamanya saja istilah ‘diamankan’, yang oleh para birokrat digunakan untuk kenyataan ‘ditangkap’. Tidak penting adakah ia mengerti atau tidak penggunaan istilah itu, namun kekuasaan telah ditunjukan oleh sang birokrat.
Di masa lampau hal itu telah menjadi bahan perdebatan antara berbagai pihak. Pemberontakan PRRI/PERMESTA pimpinan Kol. Alex Kawilarang di Sulawesi Utara dan Ahmad Hussein di Sumatera Selatan disebabkan oleh tidak jelasnya pola komunikasi itu. Berbeda dengan Prof. DR. Amien Rais, baik Hussein maupun Kawilarang memilih untuk berontak sehingga kita terlibat dalam perang saudara yang cukup lama berlangsung. Sebaliknya, Prof. DR. Amien Rais memilih untuk ‘memaksakan’ amandemen atas UUD dan tidak memberikan waktu cukup lama untuk membicarakannya. Ridwan Saidi dan kawan-kawan mengemukakan kecurigaan bahwa amandemen UUD 1945 itu tidak dilaksanakan dengan jujur dan benar. Mereka melihat adanya ‘permainan politik’ dalam hal ini. Oleh karena itu, mereka meminta agar supaya hal itu dibicarakan dalam waktu yang cukup panjang.
Miskomunikasi sosial seperti itu juga terjadi dalam kasus Theys Hiyo Eluay yang terbunuh di Jayapura tanpa ada kejelasan terjadinya sampai hari ini. Sebenarnya, para pembunuh Theys itu menakutkan adanya pemisahan Irian Jaya dari Republik Indonesia. Penulis sendiri justru berpendapat sebaliknya, yaitu bahwa kecenderungan Theys dan kawan-kawannya untuk mengusulkan kemerdekaan bagi daerah tersebut hanyalah sebagai ‘harga tawar’ untuk memperoleh otonomi daerah. Jadi, dalam pandangan penulis pangantar ini masalah Organisasi Papua Merdeka (OPM) hanyalah alat diplomasi belaka. Kesadaran ini dirasakan oleh semua pemimpin suku di tanah Papua sekarang ini, seperti tertera dalam piagam penghargaan yang diterima penulis di Jayapura beberapa bulan yang lalu. Para tokoh-tokoh Papua itu mengemukakan bahwa piagam tersebut diberikan kepada penulis karena sikap penulis kepada mereka yang dirumuskan dengan kata-kata, “melihat kepada kami sebagaimana manusia”. Tentu saja, penafsiran mereka itu muncul setelah pengamatan dalam kurun waktu yang panjang. Ini menunjukkan bahwa komunikasi sosial mempunyai persepsinya sendiri, yang belum tentu dapat dicapai dengan cara-cara yang lain.
Jadi, diperlukan sebuah terobosan untuk mengatasi krisis multidimensi yang sedang dihadapi bangsa kita. Salah satunya adalah kemampuan memecahkan masalah komunikasi sosial seperti yang kita alami dewasa ini. Komunikasi sosial yang bukan hanya berlangsung antara elemen-elemen bangsa kita, melainkan juga yang akan menghidupi pergaulan kita dengan bangsa-bangsa lain..