Biarkan Semua Orang Bicara (Wawancara)
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Abdurrahman Wahid. 39 tahun, dari pesantren Tebuireng Jombang, belajar di berbagai pesantren dan kemudian Universitas Al Azhar Kairo dan Universitas Baghdad. Sekarang memimpin pesantren Ciganjur, Bogor. Berikut ini wawancara Dahlan Iskan di tengah kesibukan acara HIPPIS (ilmu-ilmu sosial) di Malang.
Usia Islam lengkap 14 abad. Bagaimana perjalanan agama itu?
Abad I dan II merupakan mula berdirinya lembaga-lembaga dalam Islam. Termasuk lembaga kenegaraan seperti kekhalifahan (yang kemudian jadi kerajaan), lembaga militer, keuangan, administrasi, perpajakan, sistem pos. Abad ini punya peranan sebagai landasan kebesaran abad IV, V dan VI. Abad III saya anggap abad pemantapan institusi. Hukum agama dimantapkan dengan fikih. Teologia dimantapkan dengan aqidah. Pada abad IV, V dan VI, tercapailah puncak institusi itu, kemudian menghasilkan konsensus: ijma’.
Sesudah itu lantas mundur?
Kemunduran Islam sejak abad VI adalah karena tingginya semangat berkonsensus. Segala hal memakai sistem konsensus. Akhirnya kreatifitas mati, inovasi tidak mendapat tempat. Sejak itu yang terjadi adalah proses pemantapan oleh institusi-institusi. Itu berlangsung hingga sekarang. Itulah sebabnya kreatifitas umat Islam sampai sekarang tidak berkembang. Orang jadi tidak berani berinovasi kalau tidak diterima orang banyak. Karena itu saya berpendapat: abad VI sampai sekarang merupakan abad kegelapan dalam Islam.
Adakah semangat berkonsensus yang tinggi itu juga mencakup di luar pemikiran keagamaan?
Ya. Terutama akibatnya. Misalnya karena hadits yang mengatakan Bunial Is lamu ‘ala kbamsin (“Islam ditegakkan atas lima hal”, red.) dikonsensuskan untuk menetapkan bahwa rukun Islam ada lima, maka aspek kemanusiaan lalu tidak mendapat tempat yang penting. Lain halnya kalau inovasi kaum Mu’tazilah yang menganggap keadilan itu juga merupakan rukun Islam itu berlaku. Barangkali akan lain Islam jadinya. Mengapa bukan ayat yang menyebut soal keadilan yang dikonsensuskan sebagai rukun Islam? Misalnya. Karena hukum agama kemudian diinstitusikan, orang tidak pernah bisa lepas dari situ sampai sekarang. Tidak bisa lagi keluar dari konteks yang sudah diputuskan institusi.
Kalau begitu bisa besar sekali peranan agamawan?
Kita memang bangga punya doktrin “tidak ada pendeta dalam Islam” sebagaimana dikatakan Nabi Muhammad. Tapi kenyataannya, yang menduduki tempat pendeta ada. Yakni para agamawan yang, berhak sepenuhnya menentukan berdasar institusi hukum. Inovasi perorangan tidak dapat tempat. Yang menempati posisi pendeta ada, hanya tidak pakai baju dinas dan tidak punya pimpinan tunggal. Masih mendingan yang ada kepalanya. Kan bisa anarki kalau begitu.
Bisakah kekuasaan itu didobrak?
Nyatanya sampai sekarang tidak. Pembaruan yang dilakukan Muhammad Abduh, Jamaluddin Al Afgani dan lain sebagainya, untuk bisa jalan nyatanya ya memerlukan konsensus lagi. Akhir nya kompromi juga. Tapi kita semua harus berani melakukannya mulai sekarang. Itu kalau kita cinta pada Islam. Kalau tidak, ya, biarkan saja. Selamat tinggal Islam.
Jadi bagaimana pandangan ‘anda tentang Islam di abad datang?
Saya pesimistis. Pikiran-pikiran yang tumbuh untuk mendobrak sikap institusional berdasar konsensus masih minoritas. Dan saya tidak yakin bisa meluas. Masih begitu banyak kelompok yang ingin kembali ke pemujaan masa lampau. Dianggap dengan itu persoalan bisa dipecahkan. Saya bilang tidak bisa. Saya kagum pada Khulafaurrasyidin (empat khalifah pertama dalam Islam; red.), tapi saya juga percaya bahwa kalau kita kembali ke sana, kita akan hancur. Itu semua ilusi. Fatamorgana. Sama seperti orang Jawa yang senang keris.
Siapa yang seharusnya memulai meluaskan pikiran-pikiran itu?
Kita semua. Sebenarnya saya mengharapkan kaum intelek kita. Tapi mereka sekarang ini justru sedang damba-dambanya pada konsensus.
Apakah keadaan begitu juga berlaku di semua negara Islam?
Di semua negara Islam. Indonesia justru termasuk paling maju. Untuk bicara begini kita tidak harus lari ke luar negeri. Fathurrahman harus pergi dari Pakistan, M. Arqun harus lari dari Aljir dan Sirajuddin harus ngungsi dari Mesir. Kalau tidak, dibantai mereka. Kita di sini paling-paling hanya dicaci-maki Muhammadiyah, NU dan sebagainya itu. Tapi longgarnya masyarakat Islam Indonesia itu juga menyebabkan inovasi tidak bisa jadi kekuatan pendobrak.
Bagaimana seandainya pengembangan inovasi benar-benar tidak berhasil?
Sudjatmoko bilang, sekarang ini ideologi-ideologi besar sudah kehilangan hak hidup. Tidak bisa memecahkan persoalan kini dan masa depan. Sekarang dari Islam dituntut agar bisa jadi landasan untuk pencarian pemecahan masa depan.
Ini berarti prakarsa individu, kreatvitas, harus diberi tempat sebesar-besarnya. Ini juga berarti keberanian menerima pikiran-pikiran kosmopolitan, pikiran yang jujur dari orang yang mengaku dirinya Islam tanpa memandang dari agamawan atau bukan. Berikan hak semua orang untuk bicara tentang Islam. Percuma saja itu organisasi Islam yang setumpuk. Tidak ada gunanya, karena tidak menampung kreativitas. Mereka yang masuk ke sana hanya orang yang akan mengkompromikan diri.
Kalau begitu dimatikan saja?
Yang kita perangi bukan institusinya. Kalau begitu revolusi namanya. Soal setelah meluasnya inovasi orang menjadi tidak merasa perlu lagi menggabungkan diri ke sana, yaitu akan mati sendiri.
Seandainya inovasi berkembang bebas, tidakkah bertentangan dengan fundamentalisme?
Saya tidak menganggap ada fundamentalisme.
Tidak menjauhkan orang dari ubudiyah dalam arti ritual?
Pendekatan yang terlalu ditekankan pada ritual itu juga ada bahayanya. Ritus itu sendiri akan jadi rutin. Sekedar upacara. Dalam keadaan demikian biar orang sejagad melakukan ritual tidak ada artinya lagi. Kalau saya lebih berani, saya akan bilang, kalau perlu mengorbankan aspek ritual asal tercapai inovasi yang memungkinkan Islam menegakkan kembali asas-asasnya.
Asas keadilan misalnya. Sekarang dalam Islam asas keadilan mekanistis sekali. Siapa yang tertangkap secara faktual itulah yang dihukum. Mencuri di warung dipotong tangannya, tapi Syekh yang menipu sekian milyar tidak ada yang ribut. Kan gila. Jadi bukan suatu sense of justice yang kuat yang mengatur kehidupan kita. Karena itu jangan heran kalau orang Islam jadi munafik. Kalau sense of justice ada, barangkali akan tergugah bukan untuk memotong tangan, tapi memecahkan kemiskinan.
Sejauh mana hasil Pan Islamisme Jamaluddin?
Saya tidak melihat suatu yang baru dari Pan Islamisme. Itu bukan konsep kenegaraan, bukan teori kekuasaan, bukan pula filsafat pemerintahan. Menurut pendapat saya apa yang dikemuka kan Jamaluddin hanya ajakan. Yah kalau istilah sekarang: himbauan. Karena begitu mau diinstitusikan, jadi tidak jelas. Iran dan Saudi misalnya, biarpun disebut sama-sama Afganis (mengikut jejak Jamaluddin Al Afgani) tapi nyatanya berbeda. Iran yang bersifat kerakyatan memilih pemecahan makro dengan merombak struktur pemerintahan. Sedang Saudi, kelakuan individu yang dimurnikan. Pemerintahannya sendiri kapitalisme.