Clinton Dan Kita
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
DIPERKIRAKAN, gubernur negara bagian Arkansas, Bill Clinton, akan memenangkan pemilihan Presiden AS pada 3 November mendatang. Hanya keajaiban dapat menyelamatkan Presiden bush, yang sudah begitu melorot popularitasnya. Calon Partai Republik itu sudah kehilangan inisiatif sama sekali, sangat terdesak oleh program ekonomi yang ditawarkan oleh Clinton sebagai calon Partai Demokrat maupun Ross Perot sebagai calon independen.
Bush telah salah baca tentang keadaan ekonomi negara adikuasa militer itu. Ia mengira, keadaan ekonomi akan membaik, tanpa ada tindakan drastis untuk memperbaikinya. Padahal, dalam kenyataan kemandekan ekonomi negeri Paman Sam itu memerlukan obat yang lebih mendasar: campur tangan pemerintah dalam merekayasa pertumbuhan ekonomi melalui investasi nasional baru secara besar-besaran. Rakyat As memahami hal ini, dan ketakutan mereka akan kenaikan pajak dapat dikalahkan oleh kebutuhan menstimulasikan ekonomi melalui anggaran pemerintah yang lebih besar. Dan ini yang ditawarkan Clinton.
Rakyat AS tidak menentang kenaikan pajak, selama hasil akhirnya lebih meningkatkan daya beli dan tingkat kesejahteraan sosial yang lebih baik beberapa tahun kemudian. Hal ini yang luput dari perhatian Bush, dan justru dimanfaatkan Clinton untuk menawarkan program perubahan yang menarik rakyat. Inisiatif lepas dari tangan Bush, dan ditangkap oleh Clinton. Dan di sinilah kenegarawanan kedua calon itu diuji.
Mampukah Bush merebut kembali inisiatif, dengan menawarkan program lebih baik, tanpa harus menyerang kepribadian Clinton dan mempertanyakan integritas dirinya? Dan mampukah Clinton menawarkan rincian program yang lebih sesuai dengan kebutuhan bangsa, tanpa harus terjebak dalam sikap defensif terhadap serangan atas kepribadiannya itu?
Ternyata Bush gagal, dan sampai tulisan ini dibuat, ia masih terus menggunakan tema atri tentang keunggulan patriotismenya sendiri atas atriotism Clinton. Tema atri yang tidak lagi menarik perhatian para pemilih dalam ukuran masih seperti sediakala. Dan Bill Clinton berhasil meredam serangan pribadi Bush itu, dengan tetap mendesakkan pandangan, bahwa perubahan lebih memerlukan perhatian daripada atriotism cengeng.
****
APAKAH yang sebenarnya terjadi? Mengapa menjadi sedemikian penting arti kepribadian Clinton bagi sementara pendukung Bush, karena bukankah ia tidak akan menampilkan tema yang tidak diminati cukup banyak pemilih? Dan mengapakah sangat besar pemilih yang mementingkan janji perubahan ekonomi dan sosial yang ditawarkan Clinton? Mengapakah mereka seolah-olah tidak peduli kepada “problem kredibilitas” yang disandang oleh Clinton?
Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan di atas sebenarnya terletak pada kesenjangan pendapat antar generasional bangsa AS sendiri. Di satu pihak, generasi “pejuang Perang dunia II” mementingkan keutuhan nilai dan “kelurusan sikap” yang bersifat konvensional, yang harus melekat pada diri para pemimpin negara mereka. Integritas pribadi dan kredibilitas moral haruslah menjadi tolok ukur utama bagi kepemimpinan nasional, karena menyangkut keamanan dan ketahanan nasional seluruh bangsa.
Sebaliknya, pendukung Clinton pada dasarnya adalah mereka yang tidak memutlakkan tolok ukur seperti itu. Taruhlah benar, Clinton menghindar dari kewajiban militer (draft dodging), apalah artinya dibandingkan penguasaannya atas masalah sangat kompleks yang dihadapi bangsa? Andaikan benar ia pernah berdemonstrasi menentang Perang Vietnam di tahun-tahun tujuh puluhan, apalah artinya di hadapan kecakapan mengemudikan ekonomi di saat-saat kritis seperti sekarang?. Nyata dengan demikian, bahwa generasi elbih muda lebih mementingkan kriteria kecakapan dan pencarian jawaban ketimbang hanya sekadar memelihara moralitas konvensional.
Nasib kedua calon presiden itu akan ditentukan oleh banyak tidaknya massa yang ‘menyeberang’ dari kalangan tua kepada ‘calon kawula muda’ Bill Clinton. Cukup besarkah jumlah kalangan tua yang memahami keharusan akan perubahan, ataukah mereka tetap terjebak dalam pola konvensional dalam menilai kepemimpinan nasional? Kalau perpindahan itu terjadi dalam skala besar, sehingga memenangkan Clinton, berarti kesenjangan pandangan itu tidak lagi bersifat generasional belaka. Penyeberangan kaum tua ke pandangan kaum muda akan mengubah pola dialog nasional yang sedang berlangsung, menjadi dialog transgenerasional, bukan lagi antargenerasional.
Apa pun yang terjadi, Clinton telah melambangkan sebuah tantangan akan perubahan yang harus dijawab secara serius oleh para pengamat nilai-nilai konvensional yang sudah mapan. Apakah artinya ini bagi kita? Apakah yang dapat “dibaca” bagi kepentingan kita sendiri dari dialog pemilihan presiden di AS tahun ini?
Pelajaran pertama yang dapat ditarik adalah perlu kesadaran, bahwa kita pun sedang menghadapi masalah yang sama. Di satu pihak, kuatnya anggapan untuk mengutamakan penjagaan atas nilai-nilai konvensional yang sudah mapan. Bahkan lebih dari itu, ketundukan mutlak kepada operasionalisasi nilai-nilai tersebut dalam bentuk konsep-konsep yang sudah dibakukan seperti nilai patriotisme yang dituangkan ke dalam kegandrungan akan mutlaknya konsep stabilitas.
Sikap seperti itu misalnya, membawa penilaian akan hilangnya patriotisme dari diri mereka yang mencoba mencari tolok-tolok ukur di luar stabilitas itu. Dengan ungkapan lain, stabilitas dipertahankan sedemikian rupa, bahkan di hadapan risiko kemandekan dalam kreativitas kita sebagai bangsa. Jadilah manusia baik-baik saja, jangan sampai mengada-ada. Jangan mengada-ada, itulah hardikan yang mematikan kreativitas bangsa kita. Bagaimana mungkin dilakukan perubahan berarti, tanpa mempertanyakan konsep-konsep konvensional yang sudah baku?
Pelajaran kedua yang dapat ditarik dari keberhasilan tantangan Bill Clinton di AS, adalah keharusan memelihara agar dialog nasional kita selalu bersifat transgenerasional, bukannya antargenerasional belaka. Kearifan cukup besar di kalangan tua, apalagi dalam lingkungan elit politik, ditunjuk untuk memungkinkan penciptaan momentum perubahan yang cukup memadai bagi keperluan bangsa kita.
Dialog nasional antargenerasional hanya akan berakhir pada seri monolog, di mana generasi yang saling berbeda tidak mau mendengarkan pendapat pihak lain secara jujur.
Cukup berharga pelajaran dari pengalaman pemilihan presiden di negeri orang itu, bukan?