Dakwah Islam dan Masalah Internasional – Materialisme Menciptakan Kepincangan Hubungan Internasional
Oleh: K.H. Abdurrahman wahid
Untuk mengetahui kaitan antara dakwah Islam dan masalah masalah-masalah internasional, terlebih dahulu harus kita lakukan pembatasan internasional mempunyai kaitan dengan dakwah Islam, dan tidak semua yang memiliki kegiatan seperti itu cukup penting artinya untuk memperoleh perhatian dalam kesempatan ini.
Untuk keperluan memperoleh kejelasan dalam hal ini, maka beberapa patokan harus diletakkan terlebih dahulu dalam hal berikut. Pertama, masalahnya harus mempunyai dimensi situasional yang melibatkan dua buah sistem kehidupan yaitu sistem kehidupan Islam dan sistem kehidupan lain yang memiliki “titik singgung historis” dengannya. Kedua, dimensi situsional antara kedua sistem kehidupan itu hendaknya memiliki implikasi konsepsional, dalam arti terdapat di dalamnya percaturan pemikiran dan proses saling mempengaruhi antara keduanya. Ketiga, implikasi konsepsional itu harus pula memperlihatkan pola responsi yang diambil oleh sistem kehidupan Islam dalam masyarakat yang bersangkutan terhadap tantangan dari luar yang disajikan oleh sistem kehidupan lain yang sedang mengalami percaturan pemikiran dengannya. Keempat, pola responsi tersebut haruslah dapat didekati dari sudut pandangan bersisi banyak, atau dengan bahasa lain memiliki kompleksitas yang tinggi, bukan sederhana yang terjadi dalam tabung vacum.
Dengan pengenalan “wilayah permasalahan seperti itu, banyak aspek kehidupan internasional yang terlepas dari kerangka perhatian kita, seperti aspek hubungan diplomatis dan penataan politis yang bercorak “praktis”. Dengan sendirinya ini berarti penyusutan “wilayah perhatian”, sehingga meliputi hanya beberapa masalah dasar yang dianggap merupakan titik-titik dalam kaitan antara dakwah Islam dan masalah-masalah Internasional. Tanpa pengetatan liputan pembahasan, besar sekali bahaya akan terjebaknya kita ke dalam sebuah wilayah yang sangat luas dan saling bertali secara berantai, sehingga pada akhirnya tidak akan tercapai gambaran global atas sebuah masalah yang paling membutuhkan perhatian melainkan hanya inventarisasi masalah tanpa ada kejelasan tentang urgensi dan skala prioritas masing-masing.
Dalam kerangka pengenalan masalah-masalah dasar itu, seperti disebutkan oleh kerangka acuan-seminar, dapat dibedakan masalah-masalah sebagai titik pembahasan tentang kaitan antara dakwah Islam dan masalah-masalah internasional. Pertama, landasan filosofis paham-paham dasar di dunia masih sepenuhnya materialistis, baik itu menyangkut kapitalisme, sosialisme-komunistis, sosialisme-demokrat, dan nasionalisme maupun sempalan sempalannya. Kedua, landasan filosofis serba materialistis itu akhirnya menciptakan kepincangan sistem hubungan internasional, antara negara-negara berindustri maju dan negara-negara sedang berkembang, dengan pola utama berupa ketergantungan yang sangat eksploitatif. Ketiga, dakwah Islam dengan sendirinya juga sangat dipengaruhi oleh kenyataan tersebut, sehingga tidak mampu mencapai hasil yang optimal dalam kerjanya. Keempat, untuk itu diperlukan pembebasan diri dakwah Islam dari ketergantungan kepada situasi dan kemampuan memberikan pemecahan atas lingkaran setan antara keadaan sangat berketergantungan itu dan landasan serba materialistis dalam filsafat yang dianut palam-paham besar di dunia saat ini.
Cara yang paling strategis dapat digunakan untuk memberikan sumbangan pemecahan adalah dengan melakukan kerja-kerja berikut secara simultan. Pertama, memeriksa kembali keabsahan landasan filosofis paham-paham besar di dunia sekarang secara seksama, dan mengarahkan perkembangannya kepada landasan filosofis yang berkeseimbangan antara aspek-aspek duniawi dan ukhrawiyah, atau dengan istilah lain kepada landasan filosofis yang berwawasan pembangunan yang manusiawi (human development). Kedua, menumbuhkan kemampuan untuk memulai penataan kembali pola hubungan internasional antara bangsa-bangsa yang sedang berkembang dan bangsa-bangsa yang sudah mencapai taraf industri sangat maju (very advanced industrially). Melalui pengembangan kemampuan melawan “kemapanan internasional” dengan menggunakan dua alat utama (a) penyadaran (Conscientization) bangsa- bangsa berkembang akan kemampuan hakiki mereka untuk membebaskan diri dari ketergantungan melalui pengembangan kemandirian dan (b) menciptakan jaringan hubungan yang saling mendukung antara kekuatan-kekuatan yang melakukan kerja pembebasan itu.
Karena kurang kesadaran akan kerangka strategis ini, maka selamanya dakwah Islam masih berada pada wilayah kegiatan yang oleh kerangka acuan seminar dinamai “daerah pinggiran yang bersifat periferal” terhadap masalah-masalah internasional.
Pengamatan di atas membawa kita kepada sebuah keharusan untuk melakukan kajian mendalam atas titik lemah dakwah Islam dalam menangani masalah-masalah internasional yang bersifat mendasar Dalam meninjau titik lemah itu, kita harus mampu membedakan mana yang merupakan kelemahan di bidang landasan filosofis dan mana yang timbul dari kelemahan politis karena suasana yang tidak menguntungkan bangsa-bangsa muslim dewasa ini. Dengan kata lain, pembedaan harus dilakukan antara hal-hal yang bersifat ideologis dan hal-hal yang merupakan akibat belaka dari perkembangan historis Islam sendiri. Demikian pula, harus dikenal jalinan hubungan antara kedua “titik lemah” dakwah Islam tersebut, sehingga menjadi proses yang lebih menyulitkan lagi kerja menangani masalah-masalah internasional itu.
Titik lemah pertama, yaitu kelemahan fundamental di bidang landasan filosofis dapat ditemukan dalam langkanya sebuah kerangka kemasyarakatan yang jelas wawasan ideologisnya dalam pandangan politik bangsa-bangsa muslim dewasa ini, di luar kesadaran akan perlunya kemerdekaan politis dalam arti tegaknya negara-bangsa (nation-state) dengan otonomi formal sendiri. Ini memang bersumber pada perkembangan historis umat Islam, namun bagaimanapun juga menyangkut wilayah paling fundamental dalam kehidupan agama Islam: pemikiran tentang tempat Islam dalam kehidupan manusia. Kelemahan ini dapat digali dengan jalan mengajukan pertanyaan-pertanyaan berikut: benarkah Islam memberikan otonomi penuh kepada manusia untuk mengatur sendiri kehidupannya sesuai dengan martabatnya yang penuh. Apakah bentuk kongkrit masyarakat dari otonomi seperti itu (pemerintahan demokratis-liberal, pemerintahan demokratis-sosialis, oligarki-agamawan, plutokrasi, meritokrasi). Dari manakah legimitasi kekuasaan harus diperoleh, dari rakyatkah secara langsung, atau melalui proses “perantaraan Ulama”. Bagaimanakah hubungan antara Islam dan kekuasaan pemerintahan yang tidak langsung menyebut diri secara formal sebaga “pemerintahan Islam”. Bagaimanakah hubungan antara Islam dan ideologi-ideologi lain, sebagai alternatifkah atau sebagai partner perjuangan dan banyak lagi pertanyaan mendasar lainnya.
Kelemahan politis dari kemampuan dakwah Islam untuk memecahkan masalah-masalah internasional dewasa ini dapat dilihat pada beberapa ciri utama kehadiran dakwah Islam itu sendiri: kurang jelasnya wawasan tentang kehidupan bermasyarakat yang hendak dituju, sedikitnya kemampuan organisatoris, untuk memetakan permasalahan dan kemudian mencari pemecahan masalahnya, dan langkanya kerangka yang berlingkup internasional untuk memecahknan masalah-masalah internasional tersebut.
Melihat dua jenis kelemahan tersebut, dengan sendirinya secara strategis haruslah dibuat pemetaan kerja yang harus dilakukan dalam menanggulangi masalah-masalah internasional sebagaimana dikemukakan di atas. Pertama-tama adalah kejelasan wawasan dakwah Islam itu sendiri: sudahkah memadai kalau dicukupkan pada penyebaran agama Islam saja secara formal seperti dilakukan sekarang, ataukah justeru harus diletakkan dalam kerangka yang lain sama sekali? Kalau dalam kerangka baru, maka sampai dimanakah dapat dirumuskan batasan-batasan transformatifnya sepanjang yang menyangkut perubahan struktur masyarakat?
Kedua, apakah strategi dasar yang harus ditempuh oleh dakwah Islam dalam lingkup internasional, sebagai kekuatan pembebaskah atau justru sebagai pelestari status quo? Apakah landasan keimanan dari kerja pembebasan manusia secara utuh dan bulat itu? Apakah penghalangnya?
Ketiga, bagaimanakah pendapat mayoritas dalam hal ini dapat dirumuskan bersama, dan dirasakan sebagai sesuatu yang mengikat? Mungkinkah dari institusi-institusi internasional Islam sekarang, yang merupakan perpanjangan dari sistem kapitalis internasional, diharapkan kerja penanganan masalah-masalah internasional itu secara penuh? Kalau tidak, lembaga apakah yang dapat melakukannya? Sudahkah diberi perhatian serius kepada tradisi “berwarna lokal” untuk memecahkan masalah-masalah Internasional itu?
Dari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan di atas barulah dapat dilakukan proyeksi tentang upaya dakwah Islam untuk mengatasi hambatan berupa hal-hal yang telah disebutkan di atas.