Dasar-Dasar Ekonomi Rakyat

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Ajakan untuk mengembangkan ekonomi rakyat diajukan oleh penulis dalam berbagai kesempatan di muka para warga Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Ajakan itu ternyata mendapat sambutan yang luar biasa karena ia datang tepat pada pada waktunya –kalau tidak malah sudah terlambat. Antusiasme menerima ajakan ini dapat diketahui dari reaksi mereka maupun dari ungkapan kata-kata mereka.

Bahkan dari pihak saingan politik penulis pun, telah datang reaksi yang positif. Dalam sebuah perjumpaan televisi, Drs. Kwik Kian Gie, ketua Bappenas, telah menyatakan sambutan positifnya atas gagasan penulis ini. Ia bahkan menyatakan bahwa perekonomian rakyat harus diberlakukan oleh pemerintah. Suatu hal yang dilupakan oleh Kwik Kian Gie adalah keharusan pemerintahan yang didukung sangat kuat untuk dapat melaksanakan perekonomian rakyat tersebut.

Hal ini, kiranya, sukar diwujudkan oleh pemerintahan Megawati Soekarnoputri yang dihasilkan oleh perbuatan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR-RI) untuk melanggar Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945). Jelas, dalam hal ini, rakyat tidak merasa memiliki pemerintahan ini. Dengan demikian, bagaimana dapat diharapkan sokongan-sokongan yang sangat kuat oleh rakyat terhadapnya? Rakyat bukanlah gugusan makhluk yang bodoh. Mereka masih melihat, perlunya kita memiliki TNI dan POLRI yang kuat, baik secara fisik maupun kelembagaan.

Dengan adanya PPP yang menuntut Piagam Jakarta –yang dilaksanakan melalui amandemen pasal 29 UUD kita, jelas TNI-POLRI merasa bingung. Di samping itu, Rakernas Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) menuntut dicabutnya TAP MPRS No. 33 tahun 1966, yang berarti hilangnya dasar legal bagi Dwi-fungsi TNI-POLRI, bukankah kebingungan itu akan semakin bertambah? Dan, dengan tuduhan Rahardi Ramelan, bahwa GOLKAR telah melakukan korupsi dalam menggunakan uang negara (bulog), bukankah TNI-POLRI merasa kehilangan teman? Ketiga pilar utama kabinet itu menimbulkan kebingungan bagi TNI-POLRI, dan bagaimana kebingungan semacam itu dapat diharapkan adanya pemerintahan yang kuat yang didukung oleh rakyat?

*****

Sementara itu, posisi tanggungan luar negeri (hutang-hutang luar negeri dan lain-lain) terlihat semakin parah. Saat ini tanggungan kita sebagai bangsa mencapai jumlah 700 milyar dollar Amerika, tiga kali lipat produksi bruto dalam negeri kita. Ini menurut hitungan konservatif, sedangkan dalam hitungan lebih longgar lagi akan memperlihatkan jumlah 900 milyar dollar Amerika, atau empat kali lipat produksi domestik kasar (Gross Domestic Products).

Cara yang dipakai selama ini adalah mencari pinjaman baru dari luar negeri untuk menutup tanggungan tersebut, sehingga hutang luar negeri kita semakin lama semakin banyak. Dengan kata lain, kita telah melaksanakan kebijakan tutup lobang gali lobang. Jika kebijakan ini diteruskan, bukan hanya anak cucu kita yang harus bayar, melainkan cicit serta canggah kita. Lalu, di manakah martabat bangsa kita, kalau hal semacam itu kita lakukan secara terus-menerus?

Jelas, dalam hal ini kita harus banting setir, dengan melaksanakan perekonomian rakyat. Kalau selama ini politik ekonomi kita senantiasa menguntungkan usaha-usaha besar dengan segala fasilitas, jelas bahwa kita harus berani mengubah itu. Karena kalau harus diteruskan, itu hanya akan menjadikan diri kita akan didikte oleh bangsa lain. Yang berarti pula, kita selalu berada dalam penjajahan ekonomi di samping kemerdekaan politik.

*****

Cara terbaik mengatasi hal itu adalah dengan melaksanakan ekonomi rakyat, yang berintikan pengembangan sektor Usaha Kecil dan Menengah (UKM) secara tak tanggung-tanggung. Kalau perlu dengan menetapkan moratorium (penghentian sementara) pembayaran tanggungan luar negeri kita, katakanlah untuk jangka waktu tiga sampai lima tahun. Uang yang dapat dihemat dengan tindakan itu, digunakan untuk pengembangan UKM secara besar-besaran .

Maka, tidaklah mengherankan jika hal ini nanti akan menimbulkan pemboikotan besar-besaran dalam bentuk penghentian ekspor dari dan impor ke negeri kita. Ini harus dijawab dengan pengalihan produk-produk kita dari ekspor ke luar negeri untuk dilemparkan ke pasaran dalam negeri.

Bangsa kita, yang berjumlah 210 juta jiwa, dapat menjadi pasaran sangat besar bagi produk-produk dalam negeri. Hal ini telah dibuktikan oleh India dan Cina di masa lampau. Pertanyaannya mengapakah kita tidak dapat melaksanakan hal itu di tengah-tengah krisis seperti sekarang ini? Langkah ini, memang terasa sangat radikal, tetapi bukankah memang kita harus mengubah politik ekonomi kita? Bukankah selama tiga dasawarsa lebih ternyata kita hanya menganak-emaskan pengusaha-pengusaha besar saja? Bukankah diharapkan, dari tetesan keuntungan (trickle-down-effect) usaha-usaha besar itu, diharapkan semakin kuatnya usaha-usaha kecil kita? Dan bukankah hal ini telah dibuktikan gagal sama sekali, dengan kebangkrutan usaha-usaha besar yang melarikan uang ke luar negeri, setelah menerima BLBI dan sebagainya?

Pinjaman yang diminta usaha-usaha besar untuk menolong perkembangan UKM, ternyata, sebuah tipu daya untuk memperdayakan kita sebagai bangsa dan karenanya harus segera diakhiri. UKM diberi rangsangan untuk maju melalui pemberian kredit berbunga rendah, perubahan-perubahan teknologi dalam berproduksi, perbaikan cara-cara pemasaran (termasuk kemasan) dan penciptaan jaringan pemasarannya sendiri.

Semua itu, berarti memerlukan kerangka besar dan kerja keras kita semua, untuk menciptakan ekonomi rakyat melalui pengembangan UKM. Memang tindakan ini terasa sangat radikal, tetapi memang –bukankah hanya dengan tindakan radikal- dalam mengubah orientasi ekonomi kita, baru dapat kita capai langkah yang diperlukan untuk memperbaiki keadaan kita sebagai bangsa? Ini, tentunya, akan melibatkan seluruh bangsa, dan karenanya diperlukan dukungan sangat kuat dari rakyat. Jelaslah, dari keperluan mutlak akan dukungan seperti itu, apa yang dikatakan oleh Kwik Kian Gie merupakan sebuah lelucon yang tak lucu.