DDI dan Penyimpangan Politik NU
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Dalam perjalanan sejarahnya, Darul Dakwah wal-Irsyad (DDI) yang tersebar dalam ratusan madrasah di Sulawesi Selatan memiliki sejarah yang sangat menarik untuk diperhatikan.
Salah seorang penggedenya, Abdul Muis Kabry, tadinya adalah anggota Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) di Malang. Karena menjadi anggota salah satu badan otonom Nahdlatul Ulama (NU), kemudian dia terlibat menjadi anggota Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Sementara itu, Sulawesi Selatan mengalami proses politik sendiri, yaitu hubungan organisasi-organisasi Islam dengan Golkar menjadi sangat erat. Hal ini berpengaruh terhadap DDI, lalu berdirilah DDI Ambo Dalle. Hal itu merupakan kejadian sangat menarik karena terlihat bagaimana perkembangan sebuah organisasi Islam lokal yang berpandangan sama dalam urusan keyakinan/akidah, namun terpecah karena dipengaruhi perkembangan politik.
Menurut penulis, justru orang-orang NU yang harus ”belajar” dari perkembangan DDI. Ulama besar KH Ambo Dalle dan para anak buahnya harus menerima kenyataan bahwa yang mengambil pemihakan politik lebih dahulu adalah NU kepada PPP. Kalau dilihat dari sudut pandangan ini, maka berdirinya DDI Ambo Dalle adalah reaksi belaka terhadap keputusan PBNU itu, yang juga masih berlanjut hingga hari ini.
Kiprah NU yang kemudian membidani lahirnya PPP dalam tahun 70-an justru dianggap sebagai ”penyimpangan politik”. Sedangkan masyarakat NU yang mengikuti Partai Kebangkitan Bangsa yang lahir pada 1998 justru dianggap sebagai ”penerus perjuangan NU”. Sedangkan di luar lingkup PKB, dewasa ini ada klaim bahwa Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU) adalah salah satu penyimpangan dari PKB. Kita lihat saja nanti, benarkah klaim PKNU sebagai pembawa aspirasi politik warga NU, memiliki akar dalam kehidupan politik kita.
Sejarah politik yang melatarbelakangi PKNU juga harus ”diketahui”. Di samping perkembangan tersebut, tentu saja ada kejadian-kejadian politik lain yang harus diketahui untuk membuat kita mengenal NU. Umpamanya sejarah politik kita mencatat pondok pesantren sebagai basis NU. Para pendiri dan angkatan-angkatan permulaan NU adalah ”jebolan” pondok pesantren.
Di luar itu, mereka juga memiliki kebutuhan-kebutuhan lain, seperti identifikasi diri mereka sebagai bagian dari perkembangan keadaan di luar NU. Umpamanya saja dalam dukungan kepada pemerintah dan sebagainya. Untuk menjaga hubungan baik dengan lembaga-lembaga dan tokoh-tokoh pemerintahan itu, justru hubungan dekat mereka dengan NU ”disembunyikan”, karena pada waktu itu hubungan politik antara sistem pemerintahan kita dan Golkar sedang berada pada tahap yang paling tinggi.
Nah, hal semacam inilah yang kemudian dialami oleh berbagai organisasi Islam, seperti DDI, Nahdlah al-Wathon (NW) di Pulau Lombok. Tuan Guru Zainudin di Pancor, sebagai pendiri NW, harus menempuh jalan yang sama, seperti Syekh Ambo Dalle pendiri DDI. Hal yang sama juga terjadi dalam hubungan antara Persatuan Tarbiyah Indonesia (Perti) dengan Al-Wasliyah.
Secara keyakinan aqidah, tidak ada perbedaan, tetapi kedua-duanya berbeda dalam sikap politik, terutama dalam hal hubungan politik dengan Golkar. Akibat seperti pemunculan DDI itu, dalam pandangan penulis, adalah hal yang tidak begitu diperhatikan dalam perkembangan NU oleh para pemimpinnya sendiri. Mengapakah hal seperti itu sampai terjadi? Karena dalam kurun waktu 32 tahun ”NU berpolitik”, organisasi itu dibiarkan menjadi ”kuda tunggangan” para pemimpin NU sendiri. Jadi tidak ada pihak di lingkungan NU yang mencoba melihat persoalan secara menyeluruh.
Apa yang terjadi dengan berdirinya dua DDI dan dua NW tanpa adanya kebutuhan untuk mempelajari sejarah dari pihak PBNU sendiri jelas sekali memperlihatkan kebodohan sejarah. Setelah begitu banyak anak-anak muda NU sendiri yang terserak-serak di banyak organisasi Islam, terbukti dengan jelas bahwa pihak NU tetap belum memikirkan kaum nahdliyyin sebagai sebuah elemen politik yang bulat. Sebagai contoh, melalui Muktamar Banjarmasin 1936, para pendiri NU menetapkan bahwa untuk melaksanakan syari’ah tidak diwajibkan adanya negara Islam.
Lalu, bagaimana dengan mereka yang menganggap harus ada negara Islam, tetapi dalam pandangan keagamaan mereka, tetap seperti orang-orang NU umumnya, yang antaranya berada di lingkungan Partai Keadilan Sejahtera (PKS)? Tentu saja ada reaksi atas sikap seperti itu. Di satu pihak, ada yang menganggapnya sebagai kewajaran saja, ada pula yang menganggap telah terjadi penyimpangan politik. Memang, tiap gerakan memiliki perkembangan politiknya sendiri yang menjadikan kajian tentang perkembangan politik di sebuah negara menjadi sangat menarik.
Akan tetapi, tentu saja bagi mereka yang melihat perkembangan yang terjadi di belakang sejarah lahiriah saja. Kalau kita menukik lebih dalam, tampak bahwa apa yang kita anggap kejadian demi kejadian biasa-biasa saja, sebenarnya merupakan bahan kajian perkembangan politik. Hal-hal seperti itulah yang dapat kita ”tarik” dari buku ”DDI dalam Simpul Sejarah Kebangkitan dan Perkembangan”, yang ditulis secara rinci oleh Prof Dr Abdul Muis Kabri itu. Karena itu,masih terbuka lebar peluang untuk melakukan kajian mendalam, seperti untuk menulis disertasi tentang gerakan-gerakan tradisional Islam.
Di samping gerakan-gerakan Islam modernis seperti Ikhwanul Muslimin, ternyata kajian mendalam tentang kelompok-kelompok tradisional juga diperlukan. Dari perbandingan antara keduanyalah kita akan mampu memperoleh pengertian yang lebih mendalam tentang diri kita sendiri. Ini adalah bagian dari perkembangan sejarah yang bersifat penolakan atau penerimaan gagasan atau sikap hidup tertentu.
Sesuatu yang sebenarnya wajar-wajar saja terjadi dalam hidup berkelompok dalam sejarah manusia. Namun, justru pengamatan seperti inilah yang jarang disadari para pelakunya. Penolakan atau penerimaan sebuah gagasan, menyimpan dalam dirinya variasi yang sangat tinggi dari perkembangan yang dialami oleh sebuah kelompok, apakah itu tradisional ataupun modern. Pahamkah kita akan arti sebenarnya dari pola perkembangan seperti itu?