Demokratisasi Model Kampung

Sumber Foto: https://www.ohbegitu.com/1860/reformasi-indonesia-masa-demokratisasi-dan-desentralisasi

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Penulis adalah warga NU (Nahdlatul ‘Ulama) lahir di lingkungan pesantren dan berfikir dengan paradigma pesantren. Klaim ini tidaklah spektakuler atau main-main, karena hal itu adalah gambaran dari kenyataan yang semakin lama semakin menampakkan diri dalam kehidupan kita sebagai bangsa. Apalagi bagi masa depan seorang pengamat sekaligus “pemain” seperti penulis, ini adalah perkembangan yang sudah tampak dengan jelas. Bukankah dengan demikian prospek PKB (Partai Kebangkitan Bangsa) yang merupakan partai yang dibidani oleh NU menjadi tampak semakin mengembirakan? Hal tersebut ditambah lagi dengan data-data yang tadinya dianggap sebagai hal yang gampang ditutupi, sekarang mulai tampak kenyataan.

Contohnya, jumlah warga NU oleh sementara pihak dinyatakan berkisar sekitar 35 juta orang dan Muhammadiyah 28 juta jiwa. Sedangkan beberapa tahun lalu pihak intelijen Malaysia menyebutkan 60 juta orang warga NU dan 15 juta orang warga Muhammadiyah. Kemudian, sebuah badan intelijen kita beberapa tahun yang lalu sampai pada kesimpulan jumlah warga NU ada 90 juta orang dan Muhammadiyah 5 juta orang. Penulis tidak tahu mana data yang paling valid di antara ketiga institusi itu, namun dari hal ini menunjukkan betapa besarnya jumlah Nahdliyin dalam bangsa ini. Apalagi sejak PKB berdiri sebagai partai politik. Artinya, NU sebagai kekuatan kultural dilengkapi dengan PKB sebagai kekuatan politik, merupakan faktor yang harus serius dipikirkan oleh para pengamat kehidupan bangsa ini.

Disamping itu, jika selama ini masih ada kesan bahwa cara hidup orang NU adalah cara hidup kampungan, maka hal ini harus diperiksa kembali. Ambil contoh penulis sendiri yang lahir di kalangan orang-orang NU -dan akan mati dalam beberapa tahun lagi di lingkungan yang sama- tetapi hal ini sama sekali tidak menghalangi penulis untuk mengeyam pendidikan formal (model barat) dan mengembangkan selera musik, sastra, kemampuan teknik-pemikiran ala “barat”. Dalam musik, penulis tidak malu-malu untuk menyatakan, bahwa ia adalah orang yang menikmati musik klasik -Symphony 9 Ludwig Van Beethoven dan Concertto Piano No.20 W.A Mozart, terutama yang dimainkan oleh Michiko Uchida yang diiringi oleh Symphony Radio Orchestra di bawah pimpinan Joseph Tate-.

Tetapi “kesenangan” ini tak menghalangi penulis menikmati Al-Athlal dari Ummu Kalsum, dengan aransemen musik dari Riyadh Sunbathi, ataupun tembang Lir-ilir ciptaan Sunan Ampel Raden Rahmatillah. Karena adanya kombinasi kultural ini, penulis pun dapat menikmati ciptaan dan permainan gitar ataupun nyanyian Janis Joplin, Me and Bobby McGee. Janis Joplin yang mati muda 24 tahun karena overdosis narkoba, dalam lagu tersebut menceritakan seorang gadis hippies yang menumpang lokomotif disel dengan masisnis Bobby dan “tidur” bersamanya selama 3 hari tanpa perkawinan. Memang tidak bermoral, tapi nada dan liriknya indah di kuping penulis. Juga bagi karya sastra dalam bentuk novel karya Andre Gide, la Porte Etroite (gerbang yang sempit) yang secara main-main sering diterjemahkan penulis dengan istilah Shiratul Mustaqim. Namun penulis juga menikmati tembang/ serat yang berjudul “Serat Cebolek”. Kedua produk sastra modern dan kuno ini, dapat penulis nikmati dengan baik karena penulis masih diliputi suasana kekunoan dari latar belakang hidupnya sebagai seseorang yang berasal dari pesantren. Walaupun pengalaman hidup dan belajar selama setahun -dari pertengahan 1970 hingga pertengahan 1971- di Eropa Barat, tidak dapat menghilangkan latar belakang pesantren tersebut. Ini mungkin serupa dengan yang disebutkan oleh novelis Prancis, Albert Camus dalam novelnya yang berjudul “L ‘Etranger” (orang Asing), yaitu orang yang berkembang sendiri tanpa terbelenggu oleh adat-adat masyarakatnya.

*****

Kalau diterjemahkan ke dalam strategi penegakan demokrasi di negara kita di alam modern ini, maka kita akan berhadapan dengan dua pilihan model yang akan dipakai. Haruskah kita mengikuti strategi “Barat”, yang mementingkan pencapaian kebebasan bagi individu dan masyarakat secara penuh, ataukah strategi kuno yang menyerahkan segala-galanya kepada penguasa.

Tentu saja kita tidak dapat sepenuhnya mengacu kepada “model Barat”, karena kenyataannya bangsa kita di masa lampau memiliki perkembangan sejarah yang sama sekali berlainan dengan model tersebut. Contohnya adalah TNI, ia adalah angkatan bersenjata yang lahir dari rakyat, hidup bersama rakyat dan pada akhirnya membela kepentingan rakyat. Karena kesalahan dengan banyaknya para pejabat di dalamya hanya mementingkan diri sendiri atau kelompoknya -terkenal di lingkungan TNI dengan sebutan kelas atau tahun angkatan-, maka kesalahan itu juga ditimpakan pada mereka yang tidak pernah menduduki jabatan penting dalam lingkungannya. Generalisasi penilaian kepada institusi militer, adalah hal yang biasa digunakan dalam dunia politik di negara-negara barat, semestinya tidak berlaku bagi kita. Masih banyak warga TNI -termasuk sebagian besar perwira tinggi- yang dapat menerima proses demokratisasi di negara ini yang bermuara pada keharusan dihapuskannya keterlibatan TNI secara keseluruhan/institusional dalam politik di semua tingkatan. Dengan demikian, tidak fair untuk melarang mantan anggota TNI untuk menjadi pejabat pemerintahan, dan mencurigai mereka sebagai pihak yang memiliki “agenda tersembunyi”. Dengan demikian jelas, kita harus menentang militerisme bukannya kaum militer.

Jelas kita tidak dapat memilih “model barat” untuk menegakkan demokrasi negara kita, melainkan mengambil apa yang baik dari model ini dan meninggalkan apa yang tidak serasi dengan kebutuhan kita. Hal yang sama juga berlaku bagi strategi kuno, yang menyerahkan segala-galanya kepada sang penguasa. Strategi ini hanya menganggap penting pendapat dan cara kaum elit mengambil keputusan dengan mengesampingkan peran rakyat. Contoh yang terjadi di negara kita adalah Bung Karno, tokoh yang oleh beberapa partai politik selalu dipakai sebagai figur. Dari hal itu maka perlu adanya identifikasi, apakah penggunanan namanya hanya sebuah “kebutuhan” politik atau sejalan dengan kebijakan parpol itu? Demikian juga dengan sikap Bung Karno yang menentang Nekolim/ dominasi Amerika Serikat, perjuangannya menegakkan sistem politik baru dalam percaturan dunia, juga sikap mendapatkan pengakuan dan dukungan rakyat.

Sebagai akibat dari penggunaan nama beliau maka kaum nasionalispun lalu terbagi menjadi dua. Ada dari pihak “nasionalis tulen” atau hanya menjadikan nama beliau sebagai legitimasi untuk mendukung kebijakan yang jelas-jelas bertentangan dengan keinginan beliau, karena itulah mereka perlu membangun simbol seolah-olah mereka adalah “nasionalis tulen”. Mereka bersikap seolah-olah mempertahankan bangsa ini terhadap “ancaman” dari luar, dengan menggalang dukungan dari rakyat banyak yang benar-benar mendukung Bung Karno. Agaknya sikap seperti itulah yang diambil pemerintahan ini, seolah-olah menentang campur tangan Australia dalam urusan dalam negeri kita. Tapi begitu ada ledakan bom di Bali, akhirnya memaksa pemerintah untuk menerima kehadiran pihak keamanan Australia di negeri ini, demi menghindari kemarahan Amerika Serikat yang jemu dengan sikap ketakutan pemerintah akan ancaman dari kaum Muslim radikal.

Karenanya, kita tidak dapat menggunakan strategi bermuka dua itu bagi penumbuhan demokrasi di negeri kita. Maka saat ini yang tersisa adalah mengembangkan demokrasi dengan strategi ketiga. Seperti penegakkan HAM yang masih akan berhadapan dengan kekuatan-kekuatan lama, sehingga pelaksanaannya juga hanya dalam hal-hal penting belaka, tanpa menghukum para pembuat kesalahan pada masa lampau secara total, yang harus diikuti dengan rekonsiliasi nasional. Begitu juga bagi para “konglomerat hitam”, selama mereka menyerahkan 85 % kekayaaan mereka kepada negara.

Strategi ditengah-tengah inilah yang harus kita kembangkan; tetap menghukum kesalahan masa lampau, tetapi secara selektif kita rekonsiliasikan dan kita tutup babak itu secara parsial. Strategi ini memang tidak menyenangkan, karena masih banyak orang yang kita anggap kriminal berkeliaran tanpa dihukum. Namun yang terpenting ada 2 hal tercapai melalui strategi ini: Demokratisasi dalam arti kedaulatan hukum dan kekuasaan pemerintah berjalan sebagaimana mestinya; dan melanggar kepentingan orang banyak dihentikan. Strategi ini menjadi sangat penting untuk dilakukan, sebagai upaya menghentikan proses “kekuasaan” pemerintahan lama yang terlalu membiarkan para penguasa memerintah tanpa adanya kendali rakyat sama sekali. Karena itulah kita perlu melakukan koreksi, yaitu pemerintah harus dipaksa menerima kontrol atas kekuasaanya, dan dengan demikian demokratisasi dapat ditegakkan setahap demi setahap dalam kehidupan bangsa kita dalam satu dasawarsa lamanya.

Dari strategi ketiga itu, kita akan menghadapi banyak kritikan dari bangsa-bangsa yang telah lama merdeka dan mampu menerapkan demokratisasi secara penuh, seperti negara-negara barat. Tetapi kritikan dan kecaman tersebut tidak perlu ditanggapi dengan responsi “keras” dari pihak kita. Pengalaman kita berbeda jauh dari pengalaman mereka, dan dengan sendirinya ini memaksakan strategi yang baru sama sekali. Namun yang jelas membawa negara dan bangsa kita ke arah pemerintahan yang berlandaskan kedaulatan hukum dan perlakuan yang sama terhadap semua warga negara di hadapan Undang-Undang. Demokratisasinya memang berjalan secara timpang, tetapi lebih baik dari pada tidak berjalan seluruhnya.