Demokratisasi, Profesionalisme Dan Islam
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Ada klaim Islam memiliki konsep tentang negara. Benarkah pengajuan klaim seperti itu? yang dengan sendirinya berarti penetapan secara sepihak, bahwa klaim-klaim lain menjadi tidak benar di mata para pendukung pandangan ini. Kalau memang benar, tentu dugaan semacam itu dapat diterima oleh bangsa kita yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Lebih jauh lagi dengan pengajuan klaim itu, ada semacam pendapat bahwa seluruh penduduk Indonesia yang beragama Islam memiliki derajat kepekaan yang sama dalam masalah ibadah, pelaksanaan hukum agama dalam kehidupan dan keyakinan akan kebenaran ajaran-ajaran agama Islam. Ini belum lagi kita hubungkan dengan sikap Islam terhadap kelompok-kelompok minoritas etnis dan keyakinan yang ada di negara kita.
Tanpa meneliti hal ini dengan tuntas, kita akan mendapati pengajuan klaim seperti disebutkan di atas, hanya berarti sesuatu yang tidak tahan terhdap kritikan yang jelas akan diajukan kepada Islam. Karenanya kita harus berhati-hati dengan klaim seperti itu, yang lebih banyak bermodalkan semangat (emosi) dan hampir-hampir tidak bersandar kepada rasionalitas. Sangat disayangkan apabila hal itu terjadi, karena nama Islam yang baik akan hancur dibuatnya. Walaupun nyata-nyata Islam menolak penggunaan kekerasan, ternyata terorisme dan ekstrimitas sikap terhadap orang lain, telah membuat banyak pihak di dunia ini tidak senang kepada agama tersebut, dan menganggap Islam sebagai agama yang menggunakan kekerasan untuk mencapai tujuan, yang berarti tidak lain adalah tindak paksaan.
Padahal dalam kenyataan di masa-masa lampau banyak sekali terjadi penyebaran Islam dengan cara damai, seperti yang berlangsung di negara kita, benua hitam Afrika dan penyebaran kelompok-kelompok muslim minoritas di negara-negara yang berindustri maju, seperti di Eropa barat. Bernard Lewis, seorang pakar mengenai Islam-politik yang kini mengajar di Universitas Princetown, Amerika Serikat bercerita pada penulis, bahwa ia heran mengapa salah sebuah bukunya diterjemahkan ke dalam bahasa Denmark, karena negara itu hanya berpenduduk 5 juta jiwa. Ketika ditelitinya, ia mendapatkan jawaban bahwa kaum imigran muslimin di negara itu berjumlah 150 ribu jiwa, yang berarti hampir mencapai 3% dari jumlah total penduduk. Tentu saja, mayoritas orang Denmark ingin tahu apa hubungan Islam dan politik, agar tidak bersikap salah terhadap mereka.
*****
Salah satu keberatan yang diajukan terhadap Islam, adalah hukum Syari’ah yang pasti lambat laun akan diminta oleh para pelaksana ajaran Islam itu sendiri. Kalau seseorang melaksanakan ajaran Islam secara lengkap –di negeri kita disebut santri–, tentu tidak dapat melepaskan diri dari pelaksanaan Syari’ah. Sedangkan masyarakat kita, yang di luar negeri dikenal sebagai masyarakat Muslim terbesar di dunia, juga terkenal sebagai tempatnya kaum Muslim moderat. Tiba-tiba, meletus pertempuran antara kaum Muslimin dan kaum beragama lain di berbagai tempat. Nama Ambon dan Poso misalnya, merupakan tempat yang dikenal dunia sebagai kawasan pertempuran antara Islam dan Kristen, sedangkan istilah-istilah seperti sweeping dan santet menjadi sesuatu yang tidak asing lagi bagi telinga mereka. Salah-salah ini membenarkan dugaan bahwa Islam adalah agama kekerasan, dan ia disebarkan dengan peperangan dan cara-cara keras lain. Padahal, keadaan sebenarnya tidaklah demikian.
Berbagai unsur telah turut menciptakan keadaan yang tidak diinginkan itu, baik bagi Indonesia secara keseluruhan maupun di berbagai daerah tadi. Orang melupakan, hal itu dilaksanakan oleh orang dan kelompok yang berjumlah sangat sedikit, yang secara keseluruhan tidak mencapai 100 ribu orang. Namun yang lain diam saja, karenanya dianggap setuju dengan hal itu. Sedangkan motifnya pun juga tidak satu, –yaitu kejayaan Islam– melainkan ada yang bermotif politik, sosial dan finansial. Kaum preman, menggunakan tindak kekerasan atas nama Islam sebagai lahan untuk mencari rezeki dan kenikmatan fisik, tanpa menyadari akibat-akibatnya bagi kepentingan Islam sendiri dalam jangka panjang.
Ini berarti kita harus membedakan antara berbagai motif tersebut dan memberikan jawaban yang berbeda-beda bagi masalah yang memang berlainan itu. Tak dapat dibenarkan jika hanya mengambil satu tindakan atas kenyataan seperti itu, karena persoalannya akan semakin ruwet dan berkepanjangan. Kita harus bersikap tegas merampas senjata-senjata tajam dan berbagai bom rakitan yang digunakan dalam pertarungan dahsyat antara berbagai kelompok itu. Kalau perlu, para pelakunya harus ditangkap dan ditahan di tempat yang jauh dari keramaian, seperti Nusa Kambangan. Sedangkan bagi yang lain, kerja pendidikan dan penerangan yang benar tentang Islam harus dilaksanakan, karena sebenarnya mereka yang terlibat dalam pertentangan dahsyat dengan “pihak lain” itu, tidak tahu apa hakikat pengaturan hidup dalam Islam.
*****
Nah, bagaimana kita tahu bahwa kaum moderat Islam Indonesia jauh lebih banyak dari pada kaum ekstrimis? Jawabannya, dengan melihat jumlah kaum yang diam dan membisu terhadap tindak-tindak kekerasan oleh kaum ekstrimis. Hal ini juga karena kaum ekstrimis lebih pandai mengorganisir diri, karena bantuan finansial asing bagi kelompok tersebut. Bantuan yang diperoleh, digunakan untuk membangun kekuatan fisik bagi pemaksaan kehendak oleh kaum santri ekstrim tersebut. Bantuan fisik seperti itu ditambah penyediaan sarana finansial dari mereka yang ingin berkuasa kembali, merupakan “modal utama” yang mereka miliki.
Walaupun demikian, mereka tidak dapat berbuat banyak “meng-Islamkan” bangsa yang majemuk ini, karena Islam memang bukan agama kekerasan dan dalam penyebarannya tidak bersandar pada penggunaan kekerasan. Kalau hal ini kita mengerti dengan mendalam, jelas bahwa tindakan-tindakan kekerasan termasuk terorisme akan segera dapat teratasi. Ditambah lagi, melalui ketegasan sikap pemerintah, upaya-upaya pendidikan yang lebih baik di kalangan umat Islam dan penerangan yang lebih merata dari masyarakat Islam sendiri, dengan bantuan dari berbagai pihak.
Lalu, bagaimana cara mengetahui besarnya potensi kaum moderat? Jawabnya mudah saja, yaitu dari pemilihan umum yang terbuka dan jujur. Kelompok-kelompok moderat akan memenangkan pertarungan politik itu, asalkan pemilu dijalankan secara jujur dan terbuka. Juga hal itu tampak, kalau ukuran-ukuran profesionalitas digunakan dalam melaksanakan pemerintahan, hingga kaum moderat dapat menunjukkan kemampuan mereka yang sebenarnya.
Dengan demikian menjadi jelas, bahwa demokratisasi dan pengembangan profesionalisme adalah dua hal yang dibutuhkan oleh kaum muslimin moderat, dengan demikian menjadi nyata pula kebenaran adagium “Tidak ada paksaan dalam (memeluk) Agama” (Laa Ikraha fii ad-Diin) dan adagium-adagium lain yang dimiliki Islam. Demokratisasi dan penegakan profesionalisme merupakan persyaratan bagi tegaknya negara yang benar-benar mengutamakan kepentingan rakyat. Tidaklah penting untuk menggunakan konsep yang mana dalam menegakkan sebuah negara. Islam lebih mementingkan penumbuhan nilai-nilai agama tersebut oleh masyarakat, bukan oleh pemerintah. Dengan demikian, sebuah acuan pluralistik dalam hidup bernegara menjadi sesuatu yang justru menyuburkan Islam dan tidak akan pernah mengurangi kebesarannya.