Di Manakah Posisi NU?

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Dalam pertemuan warga NU–PKB di Hotel Sahid Jaya beberapa bulan yang lalu, diajukan sebuah pertanyaan kepada penulis: bagaimanakah pandangan penulis tentang peranan politik NU saat ini? Penulis menjawab, persoalannya sangat berkaitan dengan pandangan mereka tentang proses demokratisasi. Jika mereka mengerti benar persoalannya, tentunya bisa memahami adanya pembagian tugas antara NU sebagai lembaga keagamaan dan PKB sebagai lembaga politik yang mewadahi tujuan dan sasaran NU dalam kehidupan bernegara dapat diwujudkan. Ini berarti, PKB harus “merebut” jabatan-jabatan kenegaraan, di samping memengaruhi pendapat umum. Inilah terutama kegunaan partai politik, dan mereka harus menyusun strategi untuk mencapainya.

Berkaitan peran dua lembaga itu maka akan timbul pertanyaan; siapa yang menyusun kebijakan dan tindakan pemerintah itu? Dan siapa yang melakukan tugas “inspirasional” sehingga lembaga politik negara tersebut dapat memperoleh pegangan yang diperlukan untuk “menerjemahkan” kebijakan dalam kehidupan bernegara. Tentu saja, masing-masing harus merumuskan pandangannya.

Dalam kehidupan politik negara akan terjadi proses negosiasi yang sangat rumit antara berbagai pihak, karena semakin besar sebuah bangsa akan semakin sulit dicapai kesepakatan. Karena itu tidak dapat diharapkan bahwa kebijakan dan tindakan yang diambil akan mengikuti semua aspirasi. Ini berarti negosiasi antara berbagai pandangan itu harus dimulai dari titik awal. Sebelum ada kesepakatan mengenai pokok-pokok yang diterima oleh semua pihak, maka harus ada pihak yang melakukan negosiasi pada tingkat awal itu. Di sinilah pentingnya kita memiliki organisasi kemasyarakatan, LSM, dan sebagainya. NU termasuk dalam deretan ini sebagaimana juga halnya Muhammadiyah, Persis, dan lain-lain di kalangan gerakan Islam.

Kita menyadari sejarah NU di masa lampau memang menimbulkan kesulitan-kesulitan bagi kita. Resminya sejak April 1952, yaitu setelah Muktamar Palembang, NU menjadi sebuah partai politik yaitu Partai NU. Ia berhasil menjadi pemenang ketiga dalam Pemilu 1955. Partai NU ketika itu pun masih semata-mata menjadi alat bagi para pemimpinnya untuk memperebutkan jabatan, guna “memenangkan” golongan masing-masing. Ini adalah apa yang menjadi pengamatan kitab suci Al-Qur’an: “Setiap golongan bangga dengan apa yang ada di lingkungan masing-masing” (Kullu hisbin bima ladaihi farihun).

Karena pada waktu itu memang belum ada konsensus (kesepakatan), bahwa kepentingan rakyat/orang banyak harus memperoleh prioritas. Dengan demikian, praktis keputusan yang diambil kurang memperhatikan kepentingan orang banyak dan mengutamakan kepentingan perorangan/golongan. Dalam jangka panjang, “semangat“ yang menjangkiti banyak politisi dan penguasa negara ini, mengakibatkan krisis multidimensi yang kita hadapi saat ini. 

*****

Hal ini dapat kita lihat dalam landasan kebijakan dan tindakan yang diambil oleh pemerintah saat ini. Semuanya mengacu kepada kepentingan “golongan atas” dan perusahaan-perusahaan yang besar, dalam maupun luar negeri. Kepentingan rakyat sangat sedikit diperhatikan, memang ada “proyek-proyek umum” dibiayai oleh RAPBN seperti pembuatan perumahan rakyat dan perluasan jaringan transportasi umum (public transportation), tetapi penunjukkan pelaksananya tetap tidak transparan dan tidak menyangkut orang banyak. Banyak kasus menunjukkan penetapan pelaksana tender hanya untuk formalitas belaka, dengan para peserta lelang yang sudah ditentukan lebih dahulu dan melibatkan orang yang itu-itu saja. Suap-menyuap adalah hal biasa, dengan hanya sejumlah pengusaha saja yang menjadi pemenang. Kita lalu mendapat sindiran sebagai “Indonesia Incorporated” (Perusahaan Indonesia bukan Republik Indonesia) dari kalangan internasional.

Kita lalu teringat dengan apa yang diungkapkan oleh Mahbub ul-Haq dari Pakistan, bahwa di masa Ayub Khan, Pakistan hanya “dimiliki” oleh kurang dari 25 keluarga. Yang lain-lainnya hanya berhak menjadi client mereka saja. Untuk mendukung konsentrasi kekuasaan ekonomi yang terpusat ini, maka disusun kekuasaan politik yang juga terpusat. Pola seperti ini dapat berhasil kalau pihak yang memerintah menggunakan tangan besi, dengan menerapkan pemerintahan militeristik yang otoriter. Ini pernah kita jalani juga di masa Orde Baru, dan dengan susah payah kita dapat menumbangkan rezim seperti itu. Namun, kenyataannya sekarang sangatlah menyedihkan. Saat ini kita justru kembali kepada pemerintahan represif yang otoriter seperti itu, bahkan terjerumus ke dalam lubang KKN yang lebih dalam lagi.

Kita belum beranjak dari kesalahan itu, ukuran-ukuran politik yang kita bentuk sekarang hanya berkisar pada “siapa mendapat apa?” dalam segala bidang kehidupan. Hal ini terjadi karena ketidakjelasan pembagian wewenang antara bidang-bidang eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Pelaksana undang-undang (eksekutif) ternyata dilibat oleh KKN yang semakin kasar dan tidak tahu malu. Pembuat undang-undang (legislatif) juga dipenuhi oleh permainan uang oleh komisi-komisi yang ada dalam lembaga terhormat itu. Sedangkan penindak atas penyimpangan-penyimpangan yang terjadi (yudikatif) tidak dapat melakukan apa-apa, karena beroperasinya mafia peradilan dan tidak berdayanya Mahkamah Agung (MA). Pers nasional yang tampak dari luar demikian sibuk, ternyata tidak dapat mengungkapkan hal-hal yang melanggar hukum itu. Akhirnya mereka lari kepada pemberitaan hal sensasional dan kasuistik belaka, dan tidak menyinggung hal fundamental bagi kehidupan kita sebagai bangsa. Maka, jangan heran jika banyak “orang awam” lalu menganggap masa Orde Baru sebagai masa lebih baik daripada sekarang. 

*****

Karena itu menjadi sangat penting untuk menemukan atau menentukan pihak mana yang dapat menetapkan cara-cara terbaik untuk memperbaiki kehidupan bangsa kita di masa depan, yang akan mulai sebentar lagi setelah kita menyelenggarakan pemilu langsung badan-badan legislatif maupun presiden dan wakil presiden. Tentulah hal ini terpulang pada lembaga-lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan organisasi kemasyarakatan (Ormas). Karena LSM memiliki jangkauan dan basis massa sangat terbatas, maka tentunya ormaslah yang menjadi tumpuan harapan kita. Dan hanya ormas keagamaan sajalah yang memiliki basis massa yang kuat. Maka dapat dipastikan hanya merekalah yang dapat memenuhi kebutuhan “menjaga moral” dalam memperbaiki bangsa ini. Ormas keagamaan yang berbasis massa luas hanyalah dari golongan Islam saja, maka di tangan merekalah terletak tugas tersebut. Karena ormas yang diikuti oleh masyarakat kebanyakan di kota dan desa-desa adalah NU, maka dialah yang diharapkan merumuskan masalah-masalah dasar kita, dan dengan demikian menyiapkan agenda pokok bangsa yang akan diterjemahkan oleh parpol-parpol sebagai produk negara.

NU yang memiliki kedudukan sangat strategis bagi kehidupan bangsa kita benar-benar harus menyadari kenyataan ini, agar tidak mengambil langkah keliru dalam memecahkan masalah-masalah yang mendasar. Walau informasi akurat tentang besarnya NU sendiri sampai sekarang masih belum jelas. Ada tiga pendapat yang harus dibuktikan kebenaran mengenai jumlah warga NU. Ada yang mengatakan NU memiliki 35 juta orang kemudian intelijen Malaysia menyebut 60 juta orang. Pada waktu penulis menjabat sebagai presiden diperkirakan oleh pihak intel kita sendiri pengikut NU berjumlah 90 juta orang. Manakah yang benar di antara ketiga angka tersebut? Kita tidak tahu, pemilu yang akan datang akan memberikan gambaran mana di antara perkiraan-perkiraan di atas yang paling mendekati kebenaran.

NU dengan segala kebesarannya yang diharapkan dapat menentukan orientasi politik bangsa di masa depan, tentulah tidak selayaknya terlibat dengan soal-soal yang sangat kecil, terutama ambisi pribadi para tokoh-tokohnya. Karena itu, dalam pandangan penulis NU tidak selayaknya turut sibuk dengan pengisian jabatan, penempatan orang dan “soal-soal politik praktis” yang sebenarnya menjadi pekerjaan partai-partai politik. Kalau sekarang ada tokoh-tokoh NU yang membawa organisasi itu ke arah “politik praktis”, hal itu masih dapat dimengerti sekarang karena tokoh-tokoh NU yang demikian itu berasal dari massa ketika NU masih menjadi partai politik di masa lampau. Tetapi untuk selanjutnya NU harus “berperan inspirasional”, yaitu merumuskan pandangan-pandangan kenegaraan yang mendasar, untuk “diterjemahkan” oleh partai-partai politik sebagai misi pengelolaan dan pengarahan atas negara. Mudah dikatakan, namun sulit dilaksanakan bukan?