Dialog Tak Ada, Revolusi Sosial… (Wawancara)

Sumber Foto: https://www.antarafoto.com/id/view/1961931/presiden-bj-habibie-terima-gusdur

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

ABDURRAHMAN WAHID DENGAN SANTAI dan riang menjawab semua hal tentang pertemuannya dengan Panglima ABRI (Pangab) dan presiden. Tapi, ia segera berubah sikap dan mood, begitu ditanya tentang pertemuannya dengan mantan Presiden Soeharto, Ahad, 13 Desember di rumah Bambang Trihatmodjo.

Menurut sebuah sumber yang dikutip Merdeka edisi Senin, 13 Desember, minimal pertemuan Gus Dur dengan Soeharto diharapkan bisa mendinginkan suasana yang kini telanjur memanas. Tak jelas, dengan cara bagaimana “pendinginan” itu terjadi. Menurut sumber D&R yang mengetahui ikhwal pertemuan itu tapi tak bersedia disebutkan namanya, kurang lebih pertemuan di hari Minggu itu memang bagian dari upaya Gus Dur mengadakan dialog nasional. Gus Dur, masih menurut sumber itu, berniat meyakinkan Soeharto bahwa pengusutan terhadap dia dijamin dilakukan seadil-adilnya, dan tak seperti suara di luar yang keras menghujat mantan presiden itu.

Tak diperoleh konfirmasi, apa jawab Soeharto. Sumber D&R menduga, Gus Dur harus terlebih dahulu menyampaikan apa kata Soeharto kepada Habibie, dan baru kemudian direncanakan sebuah dialog nasional-gagasan yang bukan baru, pernah dicetuskan oleh Amien Rais, dan belakangan, sebelum Gus Dur mengeluarkannya, Gubernur Lemhanas Agum Gumelar menyatakan pentingnya hal ini.

Berikut petikan wawancara wartawan D&R Ondy A. Saputrabdan Imelda Bachtiar dengan Gus Dur di rumahnya di Ciganjur, setelah Gus Dur menerima utusan dari Kedubes Jepang, Senin, 14 Desember pekan ini.

Apa maksud pertemuan Gus Dur dengan Presiden Habibie Sabtu kemarin?

Yang utama cuma satu, yaitu menyatakan kebolehan kami bekerja sama dengan Pak Habibie. Jadi, saya katakan, yang terpenting untuk diketahui Pak Habibie itu ada dua. Pertama, masyarakat sudah siap, apa yang dikatakan oleh Pak Habibie akan dikerjakan, asalkan bener. Untuk itu diperlukan adanya advisors, penasihat-penasihat yang sanggup membuat Pak Habibie melihat masalah-masalah itu dengan lebih baik.

Yang kedua, secara pribadi saya mempunyai rasa hormat kepada Pak Habibie. Walaupun, saya mengkritik, di antaranya bahwa dia tak memiliki sense of politics yang benar dan baik, kritik itu tak ditanggapi buruk. Orang kan memang ada kelebihan dan ada kekurangannya. Kelebihan Pak Habibie saya lihat banyak, dan kekurangannya cuma itu. Karena itu, saya sarankan dia harus mencari advisors yang baik. Tanggapan dia sangat menyenangkan dan positif sekali. “Memang saya banyak kekurangan. Maklumlah saya baru masuk di pemerintahan ini dalam beberapa bulan, jadi baru beberapa bulan itu juga saya belajar politik,” begitu kata Pak Habibie. Saya bilang, “Ya, makanya perlu ada orang yang belajarin lah.”

Lalu, Anda ditawari menjadi penasihat presiden?

Ya. Dia meminta pendapat-pendapat, biasa saja. Saya free sekarang dengan dia. Dia ajak istrinya, kami saling berkenalan. Kalau Anda lihat di televisi, saya dipeluk beberapa kali. Jadi, kapan saja saya mau, saya bisa kirim orang atas nama saya, atau saya bisa ke sana sendiri. Tak ada masalah.

Hal lain dalam pertemuan itu?

Dia cerita bahwa kalau Timor-Timur mau berdiri sendiri, akan lebih susah.

Soal Dwifungsi ABRI dibicarakan tidak?

Tidak.

Kalau pemilu?

Ya, dia bilang kita harus memiliki pemilu yang jujur, yang baik, terbuka dan adil, serta pada waktunya. Waktu itulah saya mengajukan usul bahwa tanggal 29 Agustus 1999 sebagai tanggal pelantikan MPR. Kemudian tanggal 14 Oktober sebagai tanggal pembentukkan Badan Pekerja. Jadi, dalam waktu setengah bulan, jungkir balik mereka harus menyelesaikan GBHN dan pemilihan presiden dan wakil presiden. Sebetulnya tidak apa-apa, wong mereka memang dibayar untuk itu, kok.

Apakah soal kerusuhan berbau SARA dibicarakan juga?

Ya. Pak Habibie sendiri sebenarnya setuju dengan prinsip kebebasan. Salah satu dasar negara ini adalah kebebasan memeluk agama. Jadi, dia menyatakan, setiap warga negara bebas, dan negara harus pandai melindungi mereka.

Soal pembentukan rakyat terlatih?

Tidak, dia tidak berbicara soal itu.

Adakah kira-kira pertemuan lanjutannya?

Seperti yang dikatakan Mbak Megawati, nantinya, kelompok Ciganjur, yaitu saya, Mbak Mega, Amien Rais, dan Sri Sultan, akan bertemu dengan Pak Habibie. Ini bagus kan. Tujuannya untuk menajamkan lagi pertemuan saya dengan Pak Habibie.

Jadi, kemarin soal delapan butir Deklarasi Ciganjur Anda katakan?

Tidak, kemarin kan enggak cukup waktu. Cuma dua jam. Lagi pula kan saya juga tidak kepikiran delapan butir deklarasi itu. Saya juga tak ingat itu apa saja.

Kelompok Ciganjur akan jadi penampung aspirasi masyarakat yang di luar sistem?

Bukan tepat begitu. Pak Habibie membuka pintu untuk masyarakat, termasuk kami, dan tanggapannya positif sekali.

Setelah Anda bertemu Pangab lalu presiden, siapa lagi?

Tidak ada, tidak ada rencana ketemu siapa pun. Soalnya itu kan begini, kata orang Pak Habibie ingin ketemu saya. Lalu, Pak Wiranto juga. Saya bilang, “Ya, enggak bisa dong di Mabes ABRI atau di tempat dia.” Dia ingin di Ciganjur, saya bilang, “Enggak bisa di Ciganjur, nanti ketahuan wartawan. Akhirnya kami setujui pertemuan di RSAL. Dia yang memilih.

Tapi, kata orang, Anda berencana melakukan safari politik membawakan aspirasi ke beberapa tokoh yang lain?

Oh, iya. Tentu saja, itu sangat jelas…

Jadi, bukan semata membawakan Deklarasi Ciganjur saja?

Saya malah tidak membawakan hal itu. Saya mencoba mengerti mereka. Bicara dalam kondisi mereka, dan melihat apa yang diperlukan bangsa ini. Itu saja.

Tujuan akhirnya?

Tujuan akhir saya simpel sekali. Negara ini sedang berjalan, dan dengan sendirinya akan menuju kepada revolusi sosial. Menghindari hal itu, perlu dialog. Perlu rekonsiliasi. Artinya, kalau dialog ini tidak ada, akan terjadi revolusi sosial. Orang lain boleh bilang pendapat saya ini terlalu didramatisasi segala macam, tapi memang itulah kenyataannya. Sekarang ini, bayangkan, bagaimana kita tidak ngeri, setiap kita berhenti di traffic light, orang sudah berani ketok-ketok kaca minta duit. Sebentar lagi rumah-rumah akan diserang kalau kita tidak hati-hati.

Apakah Pangab dan presiden menyadari hal itu?

Tidak, dia tidak bilang. Tapi, saya pikir, semua juga merasakan urgensinya. Kita ketemunya dari sudut itu, kita sebagai bangsa harus belajar hidup bersama.