Dialog Tantangan Kepemimpinan Islam 2: Mencari Legitimasi Sendiri-sendiri
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Dalam beberapa tahun terakhir ini sempat terjadi perbedaan antara pemimpin Islam dan NU mengenai penetapan waktu ‘Idul Fitri, atau yang lebih dikenal dengan istilah logat Betawi sebagai Lebaran. Orang langsung mempertanyakan, mengapa NU sampai bersikap demikian? Bukankah dahulu tidak pernah demikian? Atau, itu disebabkan keinginan agar berbeda dengan pemerintah? Ataukah karena Pengurus Besar Syuriah NU sekarang serba galak?
Jawaban atas semua pertanyaan di atas sebenarnya sangat kompleks, sulit untuk disederhanakan. Dilihat secara historis, sejak dahulu memang para ulama pesantren sudah terbiasa menyelenggarakan penglihatan bulan (hilàl) dengan mata telanjang, yang dikenal dengan istilah rukyat. Hal itu disebabkan oleh kenyataan bahwa pemerintah kolonial Hindia Belanda tidak mau menetapkan awal puasa dan ‘Idul Fitri. Sebaliknya, sejak 1955, Kementerian (sekarang departemen) Agama justru melakukan upaya penetapan seperti itu. Jadi, baik NU maupun pemerintah merasa punya preseden historis dalam hal ini.
Secara prosedural, ulama masih berhak melakukan rukyat, walaupun hasilnya hanya diberlakukan bagi lingkungan masing-masing belaka. Atas dasar ini, ketika pemerintah merasa berkewajiban menetapkan (isbat) awal bulan Ramadhan dan awal bulan Syawwal, NU merasa memiliki wewenang memberitahukan (ikhbàr) hal yang sama kepada warganya.
Ketika NU ditanya, mengapa mengambil inisiatif sendiri untuk melakukan rukyat, dapat dikemukakan jawaban bahwa semua pihak juga melakukan hal yang sama. Hanya, dampaknya yang berbeda karena penggunaan mesin faksimili dan alat-alat komunikasi canggih lainnya. Jadi, menurut NU, tidak ada kesepakatan yang dilanggar oleh NU, juga tidak ada larangan yang diabaikan. Jika pemerintah sampai melarang rukyat, yang terkena bukan hanya NU. Tidak adil adanya larangan seperti itu. Bukankah Muhammadiyah boleh mengumumkan pendapat tentang jatuhnya saat ‘Idul Fitri, ‘Idul Adha, dan awal bulan Ramadhan, walaupun tanpa rukyat dan sebelum pemerintah mengambil keputusan?
Dengan demikian, tampaknya tidak akan ada jalan keluar dari kemelut perbedaan penetapan hari raya tersebut. Jalan sudah pasti buntu. Benarkah demikian? Ternyata tidak, jika disimak baik-baik perkembangan setelah 1953, ketika NU menerima bulat-bulat ketetapan Menteri Agama.
Dalam masalah penetapan bermula atau berakhirnya bulan Hijriah (atau dikenal dengan kalender Qamariah) dapat ditempuh dua jalan. Pertama, dengan menghitung hari-hari genap berjumlah 30 hari dalam sebulan secara “urut kacang”. Kedua, dengan melihat permulaan bulan (hilàl), dikenal dengan sebutan rukyat di atas. Cara kedua ini adalah sesuatu yang primitif bagi sebagian orang. Akan tetapi, masih cukup besar jumlah penggunanya, termasuk pemerintah Arab Saudi dan Iran.
Memang sulit dicegah perbedaan pandangan tentang hasil rukyat itu karena penglihatan dengan mata telanjang berbeda satu dengan lain tempat. Padahal, pemerintah menghendaki kesatuan dan kepastian pendapat. Oleh karena itu, kemudian digunakan alat bantu berupa perangkat dan sarana meteorologi yang canggih. Dengan demikian, diharapkan dapat diperoleh keseragaman hasil rukyat yang dilakukan dengan peralatan canggih dan mutakhir itu. Namun, dalam kenyataan tidaklah demikian halnya. Tetap saja ada perbedaan seperseratus (dua desimal di belakang nol) derajat pada awal tahun (Muharram), yang secara akumulatif membedakan hari-hari yang dipantau, yakni penetapan bulan Sya’ban (ruwah) atau Ramadhan (puasa).
Jadi, wajar jika ada yang menghitung tinggi kedudukan bulan pada saat itu berbeda antara yang satu dengan yang lain. Dua alat yang paling canggih sekalipun akan saling berbeda dalam menghitung tinggi derajat bulan karena posisi geografis masing-masing. Oleh karena itulah, para pengikut rukyat memandang upaya penglihatan dengan mata telanjang tetap relevan dan masih tetap harus dilakukan.
Dengan ungkapan lain, dalam pandangan mereka, segala macam alat dan prosedur canggih hanya membantu upaya melihat dengan mata telanjang. Segala peralatan itu bukanlah penentu terakhir, melainkan menjadi alat banding belaka. Umpamanya, bulan pada kedudukan di bawah dua derajat tidak akan mungkin terlihat dengan mata telanjang. Sebaliknya, di atas kedudukan itu masih mungkin dilihat. Logika sederhana, tetapi praktis untuk menetapkan dilakukannya upaya rukyat atau tidak.
Justru hal demikianlah yang dalam tahun-tahun terakhir ini tidak dilakukan pemerintah, dalam hal ini pihak Departemen Agama. Tekanan diberikan pada upaya penyeragaman prosedural dan pengabaian kemungkinan bulan terlihat dengan mata telanjang. Para ulama ahli rukyat merasakan adanya penyepelean cara mereka, yang dirasakan sekadar dijadikan pelengkap. Rukyat dilakukan, tetapi hasilnya digunakan hanya kalau kebetulan sama dengan perhitungan meteorologis yang menggunakan alat canggih. Jika tidak, tentu akan ditinggalkan begitu saja.
“Pencarian kebenaran” hasil perhitungan “modern” itu dilakukan dengan cara yang seolah-olah menonjolkan warga NU, seperti mengutip perhitungan ahli falak NU dimuat dalam kalender atau almanak NU. Padahal, NU tidak pernah mengeluarkan almanak, para penerbit individual saja yang melakukannya. Terasa sekali nama NU hanya dipergunakan untuk membenarkan keputusan yang sebenarnya sudah diambil, tinggal disahkan. Seperti halnya rantap-rantap MPR yang tinggal disetujui pada sidang formalisasi hasil forum mulia itu.
Hal inilah yang sebenarnya mendorong NU menentukan pendapatnya sendiri, apabila memang rukyat dengan mata telanjang dapat dikonfirmasikan melalui prosedur pengambilan sumpah bagi para saksi yang melihatnya. NU harus menyampaikan temuan itu secara langsung kepada warganya sehingga mereka yang meyakini hal itu dapat menghindarkan diri dari berpuasa pada saat ‘Idul Fitri yang memang dilarang oleh agama. Masalahnya tinggal mana yang diyakini, boleh rukyat yang dihasilkan oleh berbagai tim NU, boleh juga ketetapan pemerintah. Warga NU bebas menggunakan cara yang mana pun antara keduanya.
Perbedaan yang terhormat dan tidak patut disesalkan. Nah, titik temu, dengan demikian, sebenarnya masih dapat dicapai, yakni kalau diberlakukan prinsip semula bahwa rukyat di atas dua setengah derajat yang dijadikan ukuran, sedangkan peralatan cara-cara lain adalah alat bantu saja.
Hal inilah yang dilakukan oleh Arab Saudi, Iran, dan kebanyakan negara Muslim lainnya. Juga, dapat disepakati batas waktu terakhir untuk memberlakukan temuan rukyat, guna memungkinkan persiapan penyelenggaraan shalat ‘Idul Fitri keesokan harinya, jika memang bulan (hilàl) terlihat.
Kalau prosedur ini diikuti dengan jujur, tentu tidak akan ada perbedaan lagi. Kalau dipaksakan sesuatu yang lain, hasilnya tetap saja berbeda setiap empat atau lima tahun. Itu pun tidak mengapa karena bukankah kita sudah dewasa dan dapat berlainan pendapat tanpa harus berlawanan?