Dilema Pendekatan Tarikh

Sumber foto: https://tirto.id/periodisasi-tarikh-tasyri-dalam-islam-dan-pengertiannya-gr3K

Amar Bin Yasir Ternyata Amirul Intel

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Dialog ini sebenarnya menyangkut dua hal: Yang satu membahas pendapat-pendapat Pak Said Aqiel. Yang kedua, ada hal yang dikaitkan dengan saya. Yang saya ini barangnya sudah lama. Tapi diperbaharui kembali demi kepentingan politik sesaat. Yaitu isu Kristenisasi, zionisme, dan — kurang lengkap kalau tidak ada — Syiahnya sekali. Itu sesungguhnya sudah tidak menarik. Sebab bagian ini kalau mau digegerkan ya dulu, tidak sekarang, sudah kadaluwarsa. Mungkin saya juga sudah lupa.

Tapi karena dikaitkan dengan satu ungkapan — tidak kurang dari seorang tokoh seperti pamanda KH Yusuf Hasyim yang menyatakan — bahwa Said Aqiel adalah pendukung saya dan saya mencari bolo Pak Said Aqiel, mau tidak mau masalahnya menjadi gandeng. Apa lagi ini dilihat dalam kerangka — apa yang dinamakan sebagai — jaringan kristenisasi internasional, zionis internasional, dan Syi’ah internasional yang oleh Pak Abu Hasan dan Kiai Hamid Baidowi Lasem dinilai untuk menghancurkan Islam Aswaja.

Alhamdulillah, Pak Abu Hasan sudah bisa mikir masalah begini tidak mencari uang saja. Karena tidak punya ta’ahhul jadi keliru semua, bahwa ada Zionisme internasional, Syiah internasional. Kalau mau lengkap saya tambahi lagi: Wahabi internasional. Itu yang melatarbelakangi serangan-serangan kepada saya.

Saya ngomong apa adanya, karena di antara kita sudah cukup kuat pengaruh-pengaruh Wahabi yang begitu rupa mau membenarkan diri sendiri dan menyalahkan semua orang yang tidak sama pikirannya. Maka, bolehlah saya ikut-ikut meski saya tidak tertarik. Tapi memang sebagian dari pekerjaan Ketua Umum PBNU harus ikut serta memikirkan masalah-masalah akidah.

Saya melihat dialog pagi ini, merupakan bagian yang lebih luas dari NU. Dialog yang sudah berjalan sudah sejak lama sebetulnya. Yaitu dialog yang ingin mencari ukuran yang tepat tentang penegertian paham aswaja. Saya sendiri sudah lama berfikir tentang ini. Faham Aswaja ini apakah kita dudukkan sebagai akidah.

Sesuai dengan Keputusan Muktamar Situbondo, Munas Cilacap, Muktamar Krapyak, Munas Lampung dan terakhir Muktamar Cipasung: Bahwa NU berpegang kepada akidah Islam menurut faham Aswaja. Faham Aswaja adalah salah satu cara memandang akidah. Sebab, ada yang menganggap bahwa Aswaja itu mazhab.

Ini bagi saya problematik, menimbulkan masalah. Mengapa? Karena kalau Aswaja itu mazhab sedang di dalamnya ada ma’alim, karakteristik bahwa ber-NU atau ber-Aswaja adalah bermazhab fikih, tauhid, dan bercara tasawuf. Inilah problematknya, mazhab kok bermazhab.

Maaf, boleh kan saya memikir seperti itu. Kalau Aswaja itu mazhab kenapa dia harus bermazhab juga. Kalau faham bisa. Artinya, dalam berfaham Ahlussunnah itu orang boleh bermazhab Syafii (fiqhiyan), al-As’ary (akidatan atau fi al-ilmi al-kalam). Ini problematik pertama yang harus kita dudukkan dulu masalahnya.

Nomor satu kita mencari kejelasan, apakah ahlussunnah itu faham atau apakah mazhab. Kalau mazhab, maka harus diubah pengertian (bukan ta’rif) yang ada selama ini. Bermazhab aswaja dalam pengertian (bermafhum), di dalam fikih mengikuti mazhab, dalam tauhid mengikuti mazhab.

Kalau dikatakan Aswaja sebagai mazhab, maka mafhum ini harus diubah. Di sini saya bisa menerima upaya Dr. Said Aqiel untuk melihat kembali Tafsir Qanun Asasi yang dikarang oleh Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari.

Saya tahu persis Qanun Asasi itu bukan buatan beliau sendiri. Tapi beramai-ramai dengan para pembantunya. Ada Kiai Ilyas, Kiai Abdul Karim Hasyim, Kiai Abdul Wahid Hasyim. Ini bisa kita tanyakan kepada para sesepuh yang masih ada. Memang kalau melihat bahasa Arabnya, itu bahasanya Kiai Ilyas. Bahada Arab yang bagus. Tapi yang bertanggungjawab Kiai Hasyim Asy’ari.

Kita harus mampu melihat, mengadakan tilikan ulang terhadap dokumen-dokumen NU. Kalau ada yang merasa keberatan, saya katakan, Anda telah melakukan taqdis, mengqur’ankan dokumen-dokumen organisasi. Dan itu adalah sesuatu yang tidak diperkenankan dalam Islam. Yang tidak boleh diubah hanyalah Al-Quran dan hadis-hadis sahih.

Ini pertama yang kita dudukkan. Jadi jangan ngamuk.

Saya sudah bertanya Pak Said: Apa maksud sampean” Dijawab: Ya ini pak (mengritik Qanun Asasi). Ya sudah, baik kalau begitu.

Perkara lalu ada yang marah-marah menganggap Pak Kiai Said Aqil membodoh-bodohkan Hadratus Syaikh, saya tanya kepada beliau, apa sampean lakukan? Dijawab, tidak. Saya hanya mengatakan bahwa pendapat beliau tentang Aswaja itu sangat eksklusif. Eksklusif itu artinya khusus.

Ya sudah nggak apa-apa. Jadi jangan ribut, karena istilah yang kita tidak mengerti. Kalau eksklusif sampean artikan jadi lain-lain lalu jadi emosi ya tidak usah urusan dengan Pak Said Aqil, tapi dengan saya yang mengerti bahasa Inggris, Perancis, Belanda, dan Jerman. Eksklusif adalah istilah bahasa-bahasa Eropa. Kita harus melihat masalanya secara jernih. Saya pentingkan ini, karena saya melihat bahwa unsur-unsur tidak mengerti itu jauh lebih besar dalam dialog topik ini.

Saya ingin maju kepada satu hal lain. Yaitu pendekatan kesejarahan. Saya tidak tahu dari mana Pak Aqiel bisa mengatakan Sayidina Ustman pikun, itu urusan dia bukan urusan saya. Tapi fakta sejarah bahwa Sayidina Ustman menunjuk saudara-saudaranya sebagai Gubernur dan itu menimbulkan protes, menurut saya itu biasa-biasa saja. Malah itu yang thobi’i. Karena memang orang Arab itu qabaly. Sangat bersuku dan pahamnya itu ‘asyirah. Dalam qabilah itu ‘asyirah, itu diutamakan klaim.

Kalau begitu, beliau itu tidak adil. Belum tentu. Sebab, yang tahu orang-orang dekat itu kan beliau sendiri. Cakap tidaknya yang tahu kan beliau sendiri. Itu yang penting. Pak Harto selalu menunjuk orang Yogya-Solo saja. Tapi, nyatanya dalam pembangunan sekarang kan perangkat Yogya-Solo yang dibikin Pak Harto itu bisa menunjukkan hasil pembangunannya. Perkara banyak kesalahan dan kekurangannya, itu lain. Tapi tidak gagal, itu maksud saya.

Kalau menerima statemen bahwa Sayidina Ustman mengangkat saudaranya, kenapa kita harus emosi. Wa’ala alihi wa ashabihi, konsep yang sering kita jadikan guyon di NU, sebetulnya mengandung hal yang sangat baik. Yaitu memilih kepemimpinan, pilihlah yang kamu mengerti betul watak-watak, sifat-sifat serta kemampuannya. Tapi dibarengi sifat adil. Kalau ada orang yang lebih baik ya ambil orang yang lebih baik. Tapi kalau tidak, wa’ala alihi waashabi ya tidak apa-apa, tidak ada masalah. Kalau tidak, nanti nggak ada seleksi.

Jadi saya ingin mendudukkan masalah melalui pendekatan sejarah ini. Termasuk dalam hal ini, saya ingin mengomentari saya tidak tahu pasalnya. Sayidina Amar bin Yasir yang dianggap biang keladi dari persoalan-persoalan yang timbul, kalau memang benar bahwa Abdullah bin Saba’ itu tidak ada dan dia yang di-Abdullah bin Saba’kan, begitu kira-kira.

Saya mau bertanya Sayidina Amar bin Yasir, dan saya sudah lima kali mimpi bertemu beliau. Tidak pernah lepas fatihah saya kepada beliau selama belasan tahun. Menurut saya beliau adalah tokoh politik yang paling dahsyat dalam sejarah awal Islam. Ia adalah pengikut Sayidina Ali secara politis, tetapi tetap manjadi hakim Khalifah Ustman. Kalau dia membela kepentingan Sayidina Ali melakukan gerakan-gerakan dan intrik-intrik, menurut saya wajar-wajar saja kenapa kita harus takut hal itu. Seolah-olah akan mengurangi kesahabatan beliau. Tidak. Justru di situ keampuhan beliau di bidang intel. Beliau adalah raja intel Islam. Orang intel itu harus begitu. Laula rijalul mukhabarat seperti dia, Islam tidak akan mampu melawan Kerajaan Bizantium, tidak akan mampu melawan Kerajaan Persi. Di sana adalah raja-rajanya intel semua. Tapi dari pihak Islam ada intel-intel seperti Amar bin Yasir. Bahwa beliau kemudian ditaqiyahkan oleh Syiah itu urusan mereka.

Tapi saya melihat beliau sebagai tokoh sejarah, bagaiamana seorang tokoh pengikut Sayidina Ali kok bisa diletakkan di Kufah sebagai hakim atau Wali Kufah. Coba, kan aneh itu. Di zaman Maawiyah dan sebagainya. Kalau beliau Lawan politik pihak Sayidina Muawiyah kemudian melakukan intrik-intrik sehingga terjadi pergeseran-pergeseran politik, itu namanya politik.

Sama saja, sampean mentolerir John Naro tapi tidak bisa mentolerir Amar bin Yasir. Sampean bisa menerima kepemimpinan Buya Ismail Hasan Metarium yang seperti itu juga sebetulnya, Harmoko yang seperti itu juga, Megawati yang seperti itu juga. Dan kalau dilihat ya Pak Harto yang seperti itu juga. Sampean kok tidak keberatan.

Sayidina Amar kan seorang tokoh politik. Seorang tokoh pejabat yang memiliki kemampuan intelegensia yang luar biasa. Dan saya terus terang saja, kalau sudah perang dengan orang-orang intel, diganggu dan diacak-acak oleh intel saya selalu tawasul kepada Sayidina Amar bin Yasir. Dan selalu diberi petunjuk berupa ayat-ayat dan selalu cocok. Menghadapi intel minta tolong kepada Amar bin Yasir, itu saya sudah kenyang

Ini satu sisi. Jadi historisitas atau pendekatan sejarah itu memang lain dengan pendekatana akidah. Kalau akidah Islam, ini fitnah kubro: Daumatul Jandal, perang Siffin, Karbala, setelah itu berturut-turut masih banyak lagi. Tragedi-tragedi itu semua membuat umat traumatik di masa lampau, tidak mau melihat sejarah, lalu lari kepada akidah. Maka keluarlah: as-habi kannujum bi ayyikumuqtadaitum ihtadaitum, iqtadu biliudzaini abi bakrin wa ‘umar atau tarakiu fikum amraini, dsb.

Itu semua untuk membungkus sejarah, pengalaman pahit yang kita tutup rapat-rapat dengan akidah. Pokoknya semua baik, semua ‘adul. Kita boleh saja begitu selama berabad-abad, tapi pada akhirnya kita harus meneropong sejarah. Kita harus mengerti bahwa pendekatan akidah yang seperti itu adalah untuk mempertahankan keutuhan umat. Sekarang keutuhan umat itu salah satu, imma memang fiktif. Buktinya orang Syiah ada, orang Ahmadiyah ya ada, orang macam-macam ya ada termasuk HAMAS, termasuk kelompok takfir wal hijrah di Mesir termasuk di Irak, Iran dsb. Yang dinamakan persatuan umat itu fiktif saja. NU sendiri juga bertengkar.

Maka persatuan itu kita terima sebagai sesuatu yang sejarah saja. Boleh saja berbeda pendapat. Mengapa? Muhammadiyah-NU geger dari dulu masalah tarawih, ya tidak ada masalah kok. Tidak ada penyelesaian tetapi juga tidak ada masalah. Malah perkembangan berjalan lebih jauh, sekarang banyak kiai NU diundang Bupati untuk mengimami tarawih hanya delapan rakaat. NU-Muhammadiyah sudah tidak ada bedanya. Kira-kira kalau diingatkan jawabnya: Saya tetap 20, tetapi discount 60 prosen.

Maka begitu pendekatan sejarah ini kita ambil, masalahnya sejauh mana: apakah kita bongkar, apakah tidak. Kalau kita bongkar disitu lalu terjadi sesuatu yang sebetulnya penting sekali. Gugatan orang Syiah kepada para khulafa itu mau kita perlakukan seperti apa. Saya memperlakukan gugatan orang Syiah pada para khulafa sebagai klaim politik, tidak lebih dan tidak kurang. Artinya mereka ingin mempertahankan kepemimpinan politik Ahlul Bait (Sayyidina Ali, Sayyidina Husain ke bawah).

Ya saya jawab: Kalau itu kepentingan politik ya monggo-monggo saja, karena kepentingan politik itu Syar’i bukan kepentingan akidah. Karena itu sekarang ketika Ayatullah Ali Khamanai sebagai ketua Chubrigan Dewan Ulama/Ahli Chubrigan (Majlisul Khubarak) diberi gelar “Waliyul Amri Muslimin Ayatullah Ali Khamanai,” saya tenang-tenang saja. Itu kan klaim mereka. Saya kan tidak diatur mereka.

Jadi kita dewasa kalau sudah mengerti cuma klaim politik tidak ada masalah. Saya rasa para a’im-mah kita dulu juga begitu. Ada yang terlibat pro Syiah dalam arti politik, ada juga tidak setuju dengan Syiah dalam arti akidah, ya biasa saja. Orang bisa tidak cocok dalam akidah, bisa cocok dalam klaim politik.

Saya pernah mengatakan di Masjid Bangil, bahwa kita bisa melihat Syiah secara kultural. Kalau secara kultural sesungguhnya NU itu Syiah kultural, Syiah budaya (tsaqafah). Lho bagaimana ini? Nahnu Syhiah tsaqafatan. Karena apa? Kita mengagungkan Ahlul bait sampai para Habib itu dicium tangannya tujuh kali bolak-balik. Apa Muhammadiyah bisa begitu. Menerima Habib saja tidak.

Ya sudah, mungkin itu belum tentu sebagai tanda. Ada tandanya. Kalau kita pujian likhomsatun uthfi fiha, hrol waba’il khotimah. Siapa saja itu: almustofa mal murtadlo wabnahuma wa fatimah. Alias Sayidina Rasul, Sayidina Ali, Sayidina Hasan, Sayidina Husain, dan Sayidatina Fatimah. Ini yang kita katakan utfatun. Emosi kita tercurah kepada mereka berlima itu. Kenapa kok lima itu?

Oleh karena konsepsi Syiah tentang Ahlul Bait itu ya itu tadi. Sudah berapa ratus tahun kita melaksanakan begini, kalau tidak kultural lalu apa?

Sebagai akidah kita tidak cocok dengan Syiah. Klaim politik kita tidak ikut Syiah, tapi pandangannya tetang ahlul bait kita ikuti. Ya ini namanya perbenturan budaya liqo’ul hadhorot istidamal hadorot(?), ya seperti ini. Ada sesuatu dari kita diambil mereka, dan dari mereka kita ambil. Mana Syiah mengambil dari kita, oh banyaknya bukan main. Di antaranya adalah pembenahan hadis menjadi Kutubus Sitah. Itu menurut kita, itu adalah suatu master pice (kemampuan) kaum Sunny. Para ulama sunny yang sebagian dari mereka ada Syiah siyasiyah, tetapi ketika metodologi mengesahkan dan menyaring hadis sangat mengagumkan. Menghasilkan Bukhori Muslim dan seterusnya.

Ini ditiru oleh Syiah. Coba kita lihat Al Kafi dan seterusnya. Banyak isinya keliru, memang namanya tiruan. Tiruan kok betul semua kan namanya asli. Kita tidak usah repot dan sudah begitu. Tidak usah marah-marah, kan ada Al Kafi. Kalau mereka memakai Al Kafi biar salah-salah sendiri, kok repot. Pahamnya kok lain, karena mengambil maroji’ yang lain. Ya memang begitu. Jangankan Syiah, wong mazhab-mazhab Sunny saja kita bisa berbeda kok. Karena hadis-hadisnya berbeda idza shahhal hadis fahuwa mazhabi.

Dalam hal ini kita melihat bahwa itu barang wajar-wajar saja. Ada proses saling mengambil. Yang terpenting kita tidak mengambil dari akidah Syiah. Dalam hal ini juga pendekatan sejarah itu, perbenturan semacam ini juga mewujudkan sesuatu hal yang sangat penting untuk kita ketahui bahwa yang dinamakan paham Syiah, akidah, apapunlah namanya itu, tidak tunggal. Kita sering menganggap tunggal.

Syiah terbagi ada Imamiyah, Ismailiyah, Zaidiyah, ada Ghulat. Ghulatnya Hasan bin Shobbah yang tua dari pegununan Haiden Park. Ini para pembunuh yang memakai ganja sebelum beroperasi. Teroris pertama dalam Islam itu ya mereka itulah. Maka Syiah dari sudut sub-sub bagian itu jelas berbeda-beda.

Belum lagi dari sudut pembagian waktu. Syiah sebelum Imam Ghazali berbeda dengan Syiah sesudah Imam Ghazali. Ini yang jarang kita pikirkan betul. Syiah sebelum Imam Ghazali sebagaimana tercermin puncaknya pada Ibnu Babawih Al-Qummy yang sekurun dengan Imam Ghazali, itu sama dengan Sunny plus imamah. Ini kalau kita baca bukunya Albabu Hadi Asyar.

Beliau mempunyai murid namanya As-Syaikhul Mufid dititipkan kepada Wazir As-Sochib Ibnu Ibad. Di sana disuruh menggabung dengan para falasifatul mu’tazilah yang diuber-uber Khalifah di Baghdad. Lari ke tempat As-Sochib Ibnu Ibad di kalangan Bani Dailam. Dan di sana mereka mendidik Syaikhul Mufid yang masih muda. Akhirnya Syaichul Mufid memberontak kepada akidah Syiah yang bentuknya Sunny plus Imamah. Yang dia kembangkan berikutnya adalah Al-Mabadiul Khamsah yang terdiri dari empat mabadi Mu’tazilah plus Imamah. Yaitu At-Tauhid, An-Nubuwah, Al-‘Adalah, Al-Ma’ad, Wal Imamah.

Pertnayaan saya, kalau kita mau mengambil Syiah itu akidah yang mana yang kita ambil. Yang dekat dengan kita adalah Ibnu Babawih Al-Qummy, atau yang lebih belakangan yang dianggap justru standar sendiri oleh Syiah, yaitu Syaikhul Mufid.

Dari sini saja sudah tidak mungkin, bahwa mazhab Sunny atau kita-kita orang Sunny itu mengkiuti akidah Syiah. Kalau saya dituduh oleh Kiai Hamid Baidawi menyebarkan Syiah, saya tanya dia lebih dahulu coba terangkan Syiah yang mana yang saya dukung perkembangannya. Tidak bisa jawab dia, wong dia tidak mengerti. Saya membaca detail dari Disertasi Doktor Irfan Abdul Hamid seorang Sunny otok guru saya dalam akidah yaitu As-Silah al-Fikriyah Baina al-Mu’tazilah Wa As-Syi’ah, Risalah Dukturah di Cambridge, tahun 1960 an awal.

Begitu, pendekatan kita harus jelas. Kalau kita simpati, terbatas pada masalah-masalah tertentu saja. Ada yang mengatakan Imam Syafii simpati pada Syiah dari sudut politik. Ada yang mengatakan Imam Hambali juga demikian. Itu barang yang bisa “ya” dan bisa “tidak”. Tidak perlu kita emosi hanya terbatas pada soal politik saja.

Sama saja kita sekrang simpati pada PPP, Golkar dan PDI. Tidak perlu kita gegerkan. Goblok kalau begitu. Itu bukan soal agama lagi.

Ini saya anggap sebagai hal pokok yang harus kita fahami sebelum kita membicarakan hubungan Ahlussunnah dengan yang lain-lain. Yaitu, bahwa Ahlussunnah dapat meninjau dan melakukan tilikan ulang terhadap faham-faham yang lain, kalau kita sudah bisa tegakkan Ahlus Sunnah ini sebagai faham.

Kemudian faktor lain, yang mungkin penting sekali dan saya mohon perhatiannya. Ma’alimu ahlis Sunnah, karakteristiknya atau mafhum yang diungkapkan selama ini adalah: mereka yang mengikuti salah satu mazhab fikih empat dan mengikuti salah satu mazhab tauhid (akidah) yang dua al-Asy’ari dan Maturidi, serta mengikuti Imam Ghazali dan Abu Janaid al-Baghdadi. Ini menjadi penting dalam pembicaraan Pak Said sesungguhnya.

Saya sudah menanya betul-betul berulang-berulang kali kepada Pak Said. Di sini saya ada perbedaan. Saya memandanag ahlus sunnah ternyata tidak sama dengan Pak Said. Mungkin dengan antum salah satu juga berbeda-beda. Mengapa? Karena memang oleh para auliya’ kita di Jawa dan di Indonesia ini disengaja begitu. Dengan mengungkapkan ma’alim yang kabur tadi, itu di satu pihak, kita menerima Imam Asy’ari yang sedikit banyak adalah rasionalis (minal aqliyyin) walau beliau mengakui kekuasaan dari dalil naqli. Tapi dalil naqli itu diinterpretasikan secara aqli.

Bahwa tauhidaya Imam Asy’ari dimulai dari pembagian hukum itu tiga: Syar’i, aqli, adi itu sudah berarti aqli. Kok bisanya dibagi tiga. Lho cara akalnya kan begitu: Kalau syar’i berdasarkan dalil naqli, kalau yang aqli berdasarkan pemikiran, kalau adi kebiasaan. Itu kan cara orang ngomong pakai akal kan. Jadi ithornya aqli. Dalam hal ini beliau lalu menjadi tidak bisa menerima hal-hal yang di luar ‘adi, di luar aqli dan di luar syar’i. Sudah memabatasi.

Makanya ketika menyatakan bahwa hukum tiga itu sebetulnya jami’-mani’, cara Imam Asy’ari dan pengikut-pengikut beliau seperti Imam Dasuki, Imam Sanusi dan sebagainya, pertanyaan saya: Bagaimana dengan hawatif, ilham, ru’yah salihah, dengan segala macam itu, Imam As’ari tidak akan terima itu. Itu dipakai oleh Imam al-Baghdadi.

Lho kok bisa-bisanya barang dua yang tidak cocok kok dicampur jadi satu. Lha memang supaya luas.

Mewadahi orang itu, yang mau aqli ya ke sinilah. Yang tidak percaya mimpi ya tidak apa-apa tidak haram saja kok. Percaya lebih baik. Yang tukang mimpi setiap malam istikharah semua persoalan ditanyakan lewat mimpi ya tidak apa-apa, asal bisa menerima sifat dua puluhnya Imam Al Asy’ari dan pengikutnya. Begitu saja. Jadi tidak dimaksudkan untuk jamik-manik, atau pas membagi sumber dari Al-Quran-Hadis semata-mata. Yang lain, ada yang namanya istihsan, maslahah mursalah, istiqra, dan segala macam itu, terserah.

Tapi ini kan dua masalah yang berbeda dicontong jadi satu. Kan nggak apa-apa biar terwadai semua. Salah satu karakteristik yang paling hebat dari faham sunny yang dikembangkan oleh para ulama dan auliya dahulu khususnya di pulau Jawa adalah sifatnya yang eklektik. Sifatnya yang ikhtiarat, ikhtiariyat, pilihan-pilihan. Boleh pilih sana-pilih sini. Makanya, dalam Muktamar selalu ada pilihan-pilihan, fihi qaulani. Dalam memilih ya pilihannya sendiri-sendiri, kapan bisa ketemuanya. Coba Muhammadiyah yang tidak memakai begitu mauquf terus, macet terus. Ini keuntungan kita.

Makanya, jangan dianggap aneh kalau sekarang umapaamaynya, Pak Said Aqiel menyatakan bahwa tentang Imam Ghazali. Beliau kita andaikan sebagai orang yang katakanlah orang yang tidak percaya pada dualisme Tuhan, tidak percaya pada manunggaling kawula gusti, tidak percaya dengan wihdatlwujud. Memang beliau sebagai pemikir tidak menerima faham wihadatulwujud atau wahdiyah ansich. Tetapi beliau bisa menerima partikel-partikel ajza’ min zalikal faham.

Ini ulama yang sehat begitu itu, menurut saya. Di dunia ini tidak ada yang baku. Bisa menerima sana-sini. Makanya beliau mengemukakan pentingnya dzauq. Ini kan intuisi. Intuisi berasal dari penglihatan yang ‘irfani. Bukannya sesuatu yang aqli. Itu kebesaran Imam Ghazali.

Jadi di sinilah Pak Said menganggap Imam Ghazali itu juga bisa menerima al-Halaj ya ininya. Bukan yang subhany-subhany itu. Jadi kita melihatnya jangan totalitas begitu. Ada partikel-pertikel lagi dalam perbenturan paham itu, ada partikel-partikel yang diambil.

Dulu, kalau NU bermuktamar masalahnya apa jawabnya ini-ini, ma’akhidnya mana kitab ini-ini. Sekarang, NU bermuktamar harus ada Qur-an dan Hadis. Itu artinya terpengaruh Muhmaadiyah. Tapi itu baik. Mengambil yang baik dari orang lain kan baik. Dahulu kita cukupkan, sekarang tidak cukup. Pertama, sudah tidak ada yang bisa membaca kitab-kitab marajik itu tadi. Kedua, sudah sulitnya kitab di toko. Tapi kita juga ingin prosesnya kembali ke Quran Hadis itu, kenapa kok para imam itu kok memutuskan begini. Karena, ayatnya begini, hadisnya begini. Oh cara berfikirnya begini. Kita mengikuti prosesnya. Bukan mengambil natijahnya saja. Ini kan sudah kemajuan. Nglalar kembali ke belakang.

Nah, kita mengambil yang baik dari Muhammadiyah. Muhammadiyah juga mengambil yang baik dari NU. Kalau ada yang meninggal, dibacakan surat al-fatihah seratus kali. Walaupun tidak mengakui itu tahlil. Memang bukan tahlil, karena cuma membaca fatihah kok bukan lailaha illallah.

Di sinilah. Saya sekadar menjelaskan beberapa hal yang perlu diperhatikan dengan Pak Said Aqiel, agar supaya kita berada dalam tataran dialog, tataran diskusi yang matang dan baik. Jangan satunya masuknya akidah, satu menerimanya tarikh. Atau sebaliknya. Hanya saya bilang kepada Pak Said kemarin, sampeyan ini memang lagi jadi bulan-bulanan, karena sampeyan itu pegangan atau ngutik-ngutik dua hal. Mengutik-utik sejarah sunni dengan menggunakan dua kitab. Futuhul Buldan ‘ala Thuliz Zaman oleh al-Baladzuri. Pendekatannya tarikh dan al-futuhatul Makiyah oleh Ibnul Araby. Mestinya juga mencari dari futuhnya dalam fikih.