Dolanan Dengan Biaya Mahal (Wawancara)

Sumber Foto: https://twitter.com/ariel_heryanto/status/1299292693911101440

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Bulan Mei ini ditandai dengan bulan penuh isu. Terutama menyangkut akan berdirinya Ikatan Cendekiawan Kebangsaan (ICKI) yang dihamili oleh H Alamsyah Ratu Perwiranegara. Organisasi yang rencananya lahir tepat pada peringatan Hari Kebangkitan Nasional 20 Mei ternyata ditangguhkan. Bahkan kemudian dinyatakan batal oleh pemrakarsanya sendiri. Kendati organisasi itu keguguran, tapi isu yang dilontarkannya tetap aktual.

Mantan Menteri Agama dan Menko Kesra itu memberi beberapa alasan mendasari rencananya itu. Organisasi cendekiawan yang ada sekarang ini dinilai sektarian dan tidak mampu mewadahi semua kalangan. Selain itu, organisasi tersebut juga sudah dianggap keluar jalur bidang kecendekiawanan, yakni digunakan untuk kepentingan politik.

Dalam masyarakat pun terjadi pro dan kontra. Gus Dur adalah orang yang konsisten tidak setuju sejak berdirinya ICMI tiga tahun lalu. Alamsyah sendiri termasuk pendiri dan hingga kini masih menjadi anggota dewan penasihat ICMI.

Berikut ini pendapat KH Abdurrahman Wahid, Ketua Umum PB NU, sekitar isu Ikatan Cendekiawan.

Tentang ICKI.

Tergantung pada orientasinya. Kalau cendekiawan menempatkan diri sebagai bagian dari kekuasaan atau ingin menguasai sistem pemerintahan, itu ada serdadu atau birokrasi di sana. Apa mereka mau melepaskan begitu saja. Apalagi, kalau masuknya itu tanpa ada kejelasan posisi-posisi mana saja yang harus ditempati.

Sebagai pendukunglah, oposankah, sebagai transformatorkah, atau sebagai pemelihara status qou-kah. Ini kan nggak jelas semua. Akhirnya rebutan nggak karu-karuan. Dulu ijo royo-royo, sekarang kebangsaan.

Sektariankah

Kebangsaan yang sempit itu sama sektariannya dengan agama atau yang lain. Orang Serbia itu apa tidak sektarian. Sampai mengadakan etnic cleansing, pemurnian etnis-etnis. Itu semua apa namanya kalau tidak sektarian.

Cendekiawan itu kekuatannya pada pikiran, bukan pada organisasi. Inti kecendekiawanan itu pemikiran dan kearifan. Orang yang berpikir dan arif memahami segala sesuatu serta menempatkan diri. Puncak dari kecendekiawanan itu, di satu praksis ke bawah seperti Romo Mangun, tetapi juga pemikir di awang-awang seperti Sudjatmoko.

Kalau politik itu kan ada aspirasi dan kesadaran. Orang sering mencampur-adukkan antara aspirasi dan kesadaran. Aspirasi politik adalah rebutan tempat. Kalau kesadaran itu, bagaimana politik itu berfungsi baik untuk kepentingan bangsa dan negara. Kesadaran berpolitik menghasilkan LBH, Walhi. Juga menghasilkan koran yang bebas. Nah, mari kita membikin jaringan untuk mengembangkan kesadaran politik bukan aspirasi politik. Harusnya kita mengarah kesana.

Wawasan kebangsaan itu amat penting. Sehingga setiap upaya untuk mengembangkan kecendekiawanan yang berwawasan kebangsaan perlu didukung. Bukan saya mendukung ikatan cendekiawan kebangsaan.

Saya tidak mau bergabung dengan ikatan cendekiawan. Karena pada dasarnya saya tidak berorientasi memasuki sistem kekuasaan. Itu bukan orientasi saya. Kalau saya mau masuk begituan, ngapain saya bikin Forum Demokrasi, ngapain saya di NU. Mendingan bila saya di PPP saja. Mungkin sekarang saya sudah menjadi ketua Umum dan Wakil ketua DPR/MPR, ha…ha… Tapi saya terlalu cinta pada bangsa ini untuk sekadar main-main dengan kekuasaan. Ada yang lebih diperlukan oleh bangsa ini, daripada sekadar para politisi. Yaitu para pemimpin yang mengembangkan diri secara multi dimensional. Termasuk dimensi heterogenitas.

Dilihat dari sudut politik praktis, bisa saja isu ICKI sebagai pertanda adanya pergeseran pendulum politik di tingkat elit. Tetapi, saya beranggapan, itu terlalu prematur. Sebab saat ini, memangnya ada pergeseran apa? Jadi belum tentu. Kalau hanya sekadar netralisasi ekses bisa saja. Pada dasarnya tidak ada pergeseran, karena ini semua sudah dipikirkan. Kalau ini nanti terlalu jauh ke kanan ya kita seret ke kiri sedikit. Jadi, masih berada dalam desain. Isu itu hanya sekedar penjinakkan gerakan kaum nasionalis saja.

Beda dengan Komnas HAM.

Komnas HAM dibikin tidak untuk memasuki sistem kekuasaan. Tetapi upaya sistem kekuasaan untuk memecahkan dilema-dilema yang dihadapinya di bidang hak-hak asasi manusia. Jadi itu sudah lain lagi. Ya, sama seperti universitaslah. Perguruan tinggi itu dibentuk pemerintah bukan untuk memasuki sistem kekuasaan. Makanya dosen-dosen bebas ngomong, berpendapat dan berpikir. Tergantung sasaran yang ingin dicapai.

Saya tidak melihat kejadian ini sebagai mundur ke belakang, dalam arti munculnya aliran-aliran. Wong itu sekadar sintetis saja. Tetapi kemundurannya terletak dalam emosi-emosi dan afinitas (pengikat) yang ditimbulkannya. Nah, di sini tergantung. Kalau mampu mengembangkan wawasan baru itu luar biasa dan bagus. Itu yang saya sangsikan. Wawasan kebangsaan yang baru itu kan terkait langsung dengan proses demokratisasi. Yang jelas ICMI tidak mampu.

Cendekiawan kok masuk dalam sistem kekuasaan.

Itu karena tersumbatnya sistem kekuasaan. Tenaga-tenaga kreatif dan pemikir-pemikir orisinal saat ingin mewujudkan pemikiran mereka tidak ada jalan, karena semua sudah dikendalikan oleh pemerintah. Daripada sulit-sulit ambil jalan pintas saja masuk dalam sistem kekuasaan untuk mengadakan perubahan-perubahan. Dikiranya gampang.

Motif mewujudkan gagasan itu pada mulanya positif. Tetapi lama-lama motifnya mempertahankan atau menumbangkan kekuasaan. Tinggal begitu saja.

Setelah sekian lama aliran itu mengalami proses de-aliranisasi politik, sekarang ini ada keinginan untuk menampung kebutuhan-kebutuhan pengikat aliran. Nah, ketika keislaman dijadikan ideologi subtitusi Islam, dan kebangsaan dijadikan sebagai ideologi substitusi Nasionalisme, maka yang terjadi adalah kerancuan. Masak Habibie menjadi pemikul lambang Islam walaupun lambang subtitusi, masak Alamsjah hendak jadi pemikul lambang kebangsaan meskipun lambang subtitusi. Itu kan bingung bingung sendiri.

Makna subtitutifnya, menurut alur pemikiran sistem kekuasaan, wawasan kebangsaan kalau dipegang orang seperti Siswono bisa menjadi sesuatu yang berbahaya karena dia memikul subtansi aliran. (Siswono, Menteri Perah Hutan, alumni GMNI, mantan Ketua Barisan Soekarno Unpaj). Atau Islam–katakanlah — langsung diwakili orang seperti AM Saifuddin atau Mahbub Junaedi (orang-orang yang menginginkan Partai politik Islam). Ketimbang begitu, lebih baik dipegang Habibie yang lebih nasionalistik.

Dengan kata lain, organisasi cendekiawan itu sendiri mengalami eksperimentasi, dijadikan lahan vaksinasi. Jadi, dicari supaya kecenderungan aliran-aliran, kecenderungan primordial ditampung alur-alur pemikiran yang tidak asli aliran, tapi subtitutif. Sama dengan minum teh tidak dengan menggunakan gula asli tapi dengan gula sakarin, gula sintetis.

Jadi kalau begitu sudah tidak perlu kuatir akan menjadi ideologi. Makanya, bagi saya sekarang, ICMI itu sudah tidak berbahaya lagi. Dia sudah tampak, “oh dia hanya sekadar aliran Islam sintetis.”

Sesunggunya sudah ada pencairan politik aliran. Tapi sayangnya, sudah dipenuhi muatan-muatan emosional dan sarat kecurigaan antar golongan sudah semakin membesar. Itu namanya dolanan dengan biaya mahal.

Erosi kebangsaan.

Menurut saya, yang mengalami erosi itu semangatnya, tetapi kalau wawasannya mengalami perluasan. Artinya, kebangsaan kita sekarang ini tidak lagi hanya sekadar membesarkan nama Indonesia, membesarkan masa lampau. Minimal sudah dipengaruhi oleh spektrum persamaan nasib negara berkembang.

Jadi, wawasan kebangsaan sudah menjadi wawasan gerakan non-blok, dunia ketiga, negara miskin, dan seterusnya. Dengan kata lain, wawasan kebangsaan kita sebenarnya dihadapkan pada kemapanan kapitalistik.

ICKI bukan reaksi atas ICMI. Karena ICMI digunakan sebagai wahana untuk sekadar memasuki sistem kekuasaan, ICKI ternyata juga begitu. Masalahnya sudah tidak serius lagi. Tidak merupakan ancaman serius bagi semangat kebangsaan kita atau semangat keagamaan kita. Ternyata muk ngono-ngono thok (cuma begitu-begitu saja).