Dua Hal Yang Dilupakan

Sumber Foto: https://en.wikipedia.org/wiki/Muhammad_Ilyas_%28politician%29

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Maksud dari judul kata pengantar ini, untuk mengingatkan hal-hal yang biasanya dimuat dalam sebuah buku. Seperti antara lain, faktor keturunan dalam riwayat hidup seorang pemimpin bangsa. Hal itu akan muncul dengan sendirinya jika kebiasaan menuliskan riwayat hidup seorang pemimpin bangsa berjalan dalam khazanah sejarah kita. Jika selama ini tidak didapati tulisan seperti itu, bukan berarti seterusnya akan demikian. Keadaan ini hanya karena belum dimulainya tradisi menulis riwayat hidup para pemimpin bangsa di masa lalu. Sejarah yang baik dan yang buruk akan jelas terlihat, begitu tradisi di atas dimulai secara serius.

Buku ini membuat lukisan tentang tokoh kita, KH. Muhammad Ilyas, tanpa didahului latar belakang dan sebagainya. Padahal menulis sejarah seorang pemimpin bangsa haruslah dimulai dengan riwayat hidupnya, baru kemudian memaparkan keadaan yang serba berubah. Memang setelah beberapa kali seseorang mencoba menulis riwayat hidup seorang tokoh, barulah akan mengerti mana yang perlu ‘disimpan’ dan mana yang dapat langsung ditulis. Proses memilih dan ‘membersihkan’ sejarah hidup seorang pemimpin bangsa itu masih terjadi dalam penulisan sejarah.

****

Riwayat hidup KH. Muhammad Ilyas telah berada di tangan pembaca. Kita menjadi tahu latar belakang kehidupannya itu, yang sebenarnya berjalan sangat rumit. Itulah kehidupan yang harus ditempuh oleh KH. Muhammad Ilyas. Tokoh kita ini mengalami sejarah yang berliku-liku. Tapi hakikat diri beliau sebagai manusia tampak berarti sekali. Perjalanan hidup beliau membuat kita merasa terheran-heran mengikutinya. Semua bagian memiliki kebenaran sesuai dengan keadaan yang berlaku pada waktu itu. Tanpa mengakui hal itu, berarti kita menolak ‘kebenaran-kebenaran’ lainnya yang terjadi dalam hidup seorang pemimpin bangsa. Hal ini berhubungan erat dengan dua batu penguji’ yang berlalu tanpa dituliskan dalam pendahuluan isi buku ini. ‘Batu penguji pertama, berupa kapan munculnya tradisi membahas dan mendiskusikan masalah-masalah keagamaan pada umumnya, dan masalah-masalah semangat kebangsaan (Nasionalisme).

Awalnya adalah H.O.S Tjokroaminoto dan sepupunya, KH. M. Hasjim Asy’ari dari Tebuireng (Jombang). Tapi hari Kamis mereka bertemu dengan seorang sepupu yang lain, KH. A. Wahab Chasbullah. Mereka bertiga ditemani oleh menantu H.O.S Tjokroaminoto yang bernama Soekarno. Dari pertemuan rutin inilah akhirnya muncul sebuah ‘kebiasaan’ untuk senantiasa mendiskusikan hal-hal yang memerlukan pengertian mendalam. Mereka memikirkan hubungan antara ajaran Islam dan semangat kebangsaan Indonesia.

‘Kebiasaan’ itu berjalan bertahun-tahun tanpa ada gangguan sama sekali. Ini bisa terjadi, karena para pesertanya tidak mau mengumumkan pertemuan itu sebagai sesuatu yang besar dan berarti. Ia disikapi seolah-olah sebuah hal kecil yang ‘tidak ada artinya’ dalam kehidupan bangsa kita. Padahal peristiwa itu adalah tonggak memelihara keterkaitan, antara kehidupan bangsa yang beragam dengan sebuah keyakinan. Kejadian yang jarang kita lihat telah terjadi, dan berjalan dengan mulus.

Setelah itu mulai timbul kerumitan-kerumitan dalam perjalanan sejarah kita. Antara Masyumi dan Partai Komunis Indonesia (PKI) di masa lampau, juga gagasan Islam sebagai ideologi alternatif pada masa kini, berdialog dengan susah payah merumuskan tempat mereka dalam kehidupan bangsa. Maka apa yang dilakukan ketiga bersaudara sepupu itu adalah sebuah hal penting dalam kehidupan bangsa kita. Dalam proses itu KH. Muhammad Ilyas terlibat sepenuhnya, walaupun riwayat hidupnya tidak sampai menceritakan hal itu.

Hal kedua yang patut dicatat adalah Muktamar Nahdlatul Ulama di Banjarmasin (Kalimantan Selatan), pada tahun 1935. Pada waktu itu, yang tampak aktif adalah KH. A. Wahid Hasjim, putra KH. M. Hasjim Asy’ari. Sebenarnya, KH. Muhammad Ilays juga terlibat dalam persiapan-persiapan yang dilakukan saudara sepupunya itu. Tapi hal itu tidak ditampakkan oleh buku yang ada di tangan pembaca ini. Dalam hal ini, KH. Muhammad Ilyas mau tidak mau pasti terlibat dengan keputusan-keputusan yang diambil Muktamar tersebut. Keputusan yang terpenting adalah bahwa kaum muslimin santri tidak diwajibkan berusaha mendirikan sebuah negara Islam. Itulah sumbangan sangat besar kawan-kawan muda yang mempersiapkan Muktamar NU tersebut, kepada gagasan negara Pancasila, sebagaimana dirumuskan oleh para pemimpin bangsa pada tanggal 17 Agustus 1945. Kalau tidak karena mereka itu, tentulah sampai hari ini kita masih terus-menerus ‘berkelahi’ tentang dasar-dasar negara kita.

Dengan mengemukakan keterlibatan KH. Muhammad Ilyas dalam kedua proses politik di atas, penulis bermaksud mendudukan kenyataan bahwa KH. Muhammad Ilyas adalah seorang pejuang kemerdekaan. Semangat inilah yang ada dalam tulisan-tulisan mengenai diri beliau di bagian-bagian lain dari buku ini. Penulis pengantar ini hanya berupaya memfokuskannya saja. Selamat membaca.

Jakarta, 12 Februari 2009