Final yang Anti-Klimaks

Sumber Foto: https://football-tribe.com/indonesia/2017/07/17/hari-terburuk-roberto-baggio/

Ulasan Piala Dunia 1994

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Pertandingan final Brasil-Italia senin dini hari (WIB) jelas tidak termasuk pertandingan terbaik kompetisi akbar Piala Dunia 1994. Kemenangan Brasil dengan skor 3-2 melalui adu penalti, dari sudut pandangan manapun, jelas tidak memenuhi standar sepak bola dunia. Pertandingan perempat final Rumania-Swedia, yang juga berakhir dengan adu penalti, masih lebih tinggi mutunya daripada pertandingan final itu.

Jalannya pertandingan menjemukan, dan tampak masing-masing kesebelasan takut mengambil inisiatif penyerangan yang tuntas. Seolah-olah semuanya dilakukan setengah hati saja. Ini disebabkan keengganan psikologis masing-masing tim untuk menempuh resiko paling kecil sekalipun. Setiap kesalahan, hingga yang sekecil apapun ditakutkan akan dimanfaat secara optimal oleh lawan. Maklumlah, baik Brasil maupun Italia adalah tim yang terkenal ketajaman serangannya dan tinggi teknik individual para pemainnya.

“Kenyataan” yang diperhitungkan oleh masing-masing tim atas lawannya justru membuahkan kemandulan permainan. Bahkan dalam menetapkan para penembak tendangan penalti juga terasa hal itu. Franco Baresi yang baru saja mengalami kejang otot perut sebelum itu harus melakukan tendangan pertama dari pihak Italia. Dan hasilnya adalah kegagalan. Begitu juga penyerang terbaik dunia Roberto Baggio, yang kaki tangannya tidak berfungsi penuh karena cidera dalam pertandingan yang lalu dan masih penuh dibalut dengan plaster. Dari keseluruhan waktu pertandingan 120 menit, seharusnya hanya bisa bermain 45 menit saja.

Ketegangan psikologis yang dibebankan kepada para pemain senior, seperti Franco Baresi dan Roberto Baggio, jelas menyulitkan penunaian tugas oleh mereka. Lebih mudah untuk mengharapkan hasil dari mereka yang dianggap berada di bawah prestasi senior itu. Kalau saja Paolo Maldini dan Dino Baggio yang melakukan eksekusi, bukannya Baresi dan Roberto Baggio, jangan-jangan lebih baik hasilnya, karena tenangnya penampilan mereka.

Selama pertandingan, jarang terlihat penampilan cemerlang yang menunjukkan kreatifitas para pemain. Bahkan Donadoni yang biasanya sesekali membuat tendangan spektakuler dan jarak jauh, tampak hanya sekali melakukan tendangan seperti itu ke arah gawang Brasil. Itupun tidak secara spektakuler dan dapat dibaca (dan akhirnya dibiarkan) penjaga gawang Brasil, Taffarel. Sudah tentu karena Taffarel tahu tendangan itu tidak mengenai sasaran.

Penyelamatan yang dilakukan kiper Pagliuca atas gawang Italia juga tidak menunjukkan kecemerlangan seorang penjaga gawang yang berada dalam tekanan luar biasa. Penyelamatannya hanya berkualitas sedang-sedang saja karena serangan yang dihadapinya juga biasa-biasa saja. Bahkan tendangan bebas Branco yang dalam pertandingan perempat final menaklukkan penjaga gawang Ed De Goey dan menentukan kemenangan Brasil atas Belanda, dalam pertandingan final ini sepertinya menjadi “tidak terbiasa” lagi.

Duet Romario-Bebeto hanya sekali mengancam gawang Italia dalam pertandingan final itu. Di samping kemampuan barisan pertahanan Italia untuk meredam operan bola dari lini tengah Brasil, karena memang barisan penyerang Brasil itu juga tidak didukung secara penuh oleh para gelandang dan pemain bertahannya.

Para pemain tengah Brasil lebih cenderung untuk segera lari ke belakang apabila bola berhasil direbut Italia. Dengan demikian serangan bergelombang Brasil yang sangat terkenal hanya sesekali saja sampai digelar. Padahal, rahasia dari penyerangan Brasil adalah penyerangan yang sangat hidup oleh umpan-umpan terobosan yang menggiurkan dan tekanan yang dilancarkan para pemain tengah atas para pemain bertahan lawan.

Para pemain tengah Brasil memiliki naluri menyerang yang kuat, seperti Mauro Silva dan Mazinho, menjadi kehilangan pegangan karena bola terlalu banyak berada di belakang mereka. Seringkali pemain bertahan, seperti Branco, yang justru harus menopang serangan karena pasifnya para pemain tengah tersebut.

Walaupun sudah dicoba untuk menurunkan gelandang menyerang Cafu sebagai ganti Jorginho, tapi karena strategi dasar Brasil adalah untuk tidak banyak melakukan serangan spekulatif, gebrakan tajam dan serius dari Brasil hampir-hampir tidak muncul.

Masuknya Viola sebagai gelandang menyerang memang sedikit menghidupkan permainan Brasil di lini depan, tetapi pertahanan Italia di bawah kapten Franco Baresi tidak begitu kewalahan dibuatnya. Mungkin karena dia pada dasarnya adalah penggiring bola, sehingga sulit baginya untuk mencetak gol sambil berlari dengan kecepatan tinggi.

Sayang sekali, tontonan akbar Piala Dunia 1994 menjadi demikian anti klimaks. Itu kalau dibandingkan pertandingan Argentina-Rumania, Belanda-Irlandia, Belanda-Brasil, Swedia lawan Rumania, Brasil dan Bulgaria atau Bulgaria Italia.