Gerakan Keagamaan dan Pembaruan Pemikiran Agama

Sumber gambar: https://www.kompasiana.com/herysetiawan/sejarah-awal-masuknya-islam-indonesia

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

I

Pembarua pemikiran agama dapat diteropong dari berbagai sudut pandangan. Dari jenis pembaruannya sendiri, ia dapat terjadi pada dasar-dasar pemikiran agama, orientasinya, luasnya cakupan atau lingkup perubahan pemikiran yang terjadi, maupun dalam cara-cara berpikir dalam memahami kebenaran agama yang bersangkutan. Dari sudut intensitasnya, pembaruan pemikiran agama dapat bersifat total dan radikal, yaitu apabila ia meliputi perubahan mendasar dalam kesemua aspek yang disebutkan di atas sekaligus. Tetapi ia dapat juga hanya bersifat terbatas, mengenai salah satu saja dari aspek-aspek tersebut. Karenanya, pembaruan pemikiran agama dapat menjangkau perubahan-perubahan mendasar dalam wilayah pemikiran yang sangat luas dan berlangsung secara tuntas, tetapi dapat juga hanya memusatkan diri pada lapangan yang sempit dan bersifat sangat khusus.

Dari pembaruan total dapat dikemukakan contoh pembaruan Kristen Protestan atas orthodoksi gereja Katholik Roma, yang dibawakan oleh Calvijn, Luther dan Hus. Juga pembaruan yang dimulai oleh Ibn Taimiyyah untuk memurnikan ajaran-sjaran Islam, yang melalui gerakan Al-Afghani dan Abduh kemudian berkembang menjadi banyak sekali varian yang saling berbeda (dan terkadang bahkan saling bertentangan) di hampir semua penjuru dunia muslim: dari Muhammadiyah dan Islam Jama’ah di Indonesia hingga ke monarki absolutnya Saudi Arabia dan meritokrasi-nya para faqih di Iran dewasa ini.

Yang lebih sulit adalah justru membuat identifikasi atas pembaruan yang lebih bersifat terbatas. Kesulitannya justru terletak dalam keterbatasan perubahan mendasar yang terjadi, karena ia masih melestarikan beberapa aspek utama ajaran-ajaran yang telah diterima menjadi konsensus bersama. Sampai di manakah kita dapat mengukur sesuatu perubahan mendasar pada sebuah aspek, dalam kaitannya dengan keseluruhan ajaran yang hampir-hampir tidak mengalami perubahan sama sekali itu, sebagai sebuah pembaruan? Gerakan messianistik di kalangan kaum tarekat, dari yang paling kecil dan berumur beberapa hari saja hingga kepada gerakan berjangka panjang seperti gerakan Tijaniyyah dan Mahdiah di Afrika, dengan perubahan mendasarnya dalam aspek pemurnian ajaran, dapat dianggap sebagai pembaruan, padahal ia justru menjangkau ke belakang dan tidak menyongsong masa depan? Kalau jangkauan ke masa depan yang dijadikan kriteria, lalu bagaimana dengan pembaruan yang telah menjadi rutin, menyatu dengan aspirasi gerakan yang justru membawakan ajaran yang semula akan diperbarui, seperti terjadi dengan “pembaruan Al-Azhar” di Mesir yang sekarang justru tidak mampu menatap ke masa depan dan juga kembali kepada masa lampau ?

Clifford Geertz mencoba membuat kriterianya sendiri, yang ia terapkan pada pengamatan perubahan mendasar dalam worldview/pandangan hidup orang Hindu di Bali: mereka memformulasikan pengertian baru atas bentuk proforma ajaran yang lama, sehingga tercapai proses peyakinan kembali di dalam diri, yang olehnya diberi nama “pengimanan di dalam” (inner conversion) sebagai kelanjutan dari pengimanan di luar yang terjadi tatkala orang yang bersangkutan mengetahui bahwa ia memeluk sesuatu agama. Tetapi kriteria ini pun tidak memuaskan, karena ia hanya menerangkan sebuah proses psikologis (walaupun berskala massif, meliputi ribuan orang) yang bertolak dari pengamatan perubahan pada orang yang bersangkutan. Adapun perubahan mendasar yang secara intrinsik terjadi di dalam ajaran agama itu sendiri menjadi tidak tertangkap karena proses penafsiran kembali itu menjadi sesuatu yang kabur antara pembaruan dan bukan pembaruan.

Beberapa antropolog mencoba mencarikan jawaban atas kesulitan mengindentifikasi pembaruan terbatas itu, dengan meletakkannya ke dalam sebuah kerangka acuan tertentu. bersifat transformatifkah perubahan yang terjadi, adakah ia memiliki kemungkinan mengarahkan kembali orientasi pemahaman ajaran yang ada ke jurusan baru yang tadinya tidak terlihat, kalau perlu melalui perumusan sementara yang bersifat penyimpangan (deviatif)? Kalau ya demikian, berarti ia adalah pembaruan, kalau hanya memberikan impak penyatuan, penguatan dan penyelarasan ajaran yang sudah ada dengan pemahamannya yang konvensional pula, berarti bukan pembaruan. Sulit untuk menggunakan kerangka acuan seperti pada sebuah gerakan keagamaan yang besar, yang justru seringkali menghasilkan kedua impak yang berlawanan itu sekaligus pada sebuah wilayah yang sarma dalam kurun waktu yang berbeda-beda, atau pada dua wilayah yang berbeda dalam satu kurun waktu yang sama. Konsep ‘aggiornamento’ dari mendiang Paus Johannes XXIII, sebagai misal, memiliki impak yang berbeda-beda di kawasan yang berlainan. Di negara-negara yang sudah begitu jauh menempuh sekularisasi, ia membawa kepada munculnya kebutuhan membuat sekuler pranata-pranata gereja sendiri (seperti tuntutan untuk membuat revisi atas keabsahan/infallibility keputusan Paus), tetapi di negara yang sedang berkembang ia justru menjadi alat untuk melawan penetrasi sekularisme (umpamanya dalam merumuskan bahaya materialisme dan seterusnya).

Demikian pula, kesulitan melakukan identifikasi atas pembaruan juga tidak hanya berhenti pada hal-hal di atas, melainkan juga dalam meneropong hasil akhir (end product)-nya. Seringkali sesuatu yang bermula dari pembaruan, kemudian berkembang menjadi ortodoksi baru yang diwakili oleh gerakan keagamaan yang besar dan dominan. Mau tidak mau lalu terjadi sedikit banyak akulturasi dengan beberapa aspek ortodoksi yang lama, yang pada mulanya justru akan diperbarui. Masih dapatkah ia memakai predikat pembaruan kalau sudah mengalami “pemantapan” seperti ini, yang antara lain dapat dilihat pada kasus Al-Azhar di Mesir yang disebutkan di atas? Transformasi dari gagasan menjadi gerakan pembaruan sering mengambil korban sangat besar dalam pengebirian pembaruan itu sendiri. Terlebih-lebih kalau pengertian itu justru terjadi dalam periode formatifnya, yaitu tatkala gerakan itu menyusun kelengkapan untuk melakukan penerapan pokok-pokok pembaruan atas kenyataan hidup yang tidak terbilang banyaknya. Ketidakmampuan melakukan penyerapan akan berakibat alienasi terhadap kenyataan hidup, seperti perintah Ayatullah Khomeini (kalau benar) agar wanita Iran kembali memakai cadar muka.

Kalau gerakan itu sanggup menumbuhkan mekanisme penyerapan dalam dirinya sendiri, sampai di manakah legitimasinya sebagai pembaruan.

Karena masalah-masalah di atas, sulit kiranya untuk melakukan pembicaraan yang tuntas tentang kaitan antara gerakan keagamaan pembaruan ini. Apalagi kalau diletakkan dalam kerangka implikasínya bagi kebutuhan pengambilan kebijaksanaan keagamaan (religious policy).

Cukuplah rasanya untuk membatasi diri pada pengamatan atas sebuah “kasus studi” yang dapat dikembangkan dalam kerangka teoretis di masa depan, dalam upaya mencari kejelasan atas masalah masalah yang dikemukakan di atas. Kasusnya terjadi di negeri kita sendiri.

II

Kalau kita layangkan pandangan kepada masa depan lampau Islam di negeri ini, kita akan melihat kepada sebuah keganjilan cukup besar, yaitu dalam cara para pengamat membagi periodisasinya. Secara umum, mereka membagi masa Islam di kawasan Nusantara kepada periode-periode berikut: (a) masuk dan mulai tersebarnya Islam; (b) konsolidasi masyarakat muslim menjadi berbagai kerajaan (abad ke-XIII hingga XVI; (c) masa perlawanan terhadap penjajahan (abad XVII hingga paroh pertama abad XIX); (d) masa datangnya pembaruan dan gerakan berbentuk organisasi modern; (e) masa perjuangan kemerdekaan dan (f) masa sesudah kemerdekaan dan kedaulatan tercapai.

Keganjilan utama terletak dalam deskripsi atas periode pembaruan, yang biasanya hanya dikhususkan kepada gerakan-gerakan modernisme Islam (atau, kalau ingin kita pinjam istilah Deliar Noer, modernisten muslim atau muslim modernists), yaitu gerakan yang diilhami oleh pembaruan yang dilancarkan oleh Muhammad Abduh dan Jamaluddin Afghani di Timur Tengah semenjak paroh kedua abad XIX. Deskripsi seperti ini, seperti tercermin dari periodisasi di atas, mengabaikan beberapa hal penting: (a) bahwa proses masuk dan tersebarnya Islam di kawasan Nusantara tidaklah seragam dan sekurun waktu; (b) bahwa perwujudan kehidupan beragama Islam di kawasan ini berbeda-beda pula semenjak semula antara daerah yg berlain-lainan; dan (c) dengan sendirinya pembaruan yang terjadi di wilayah yang berbeda-beda manifestasi kehidupan beragamanya itu juga akan mengambil jarak yang berbeda pula.

Di Sumatera, sebagai contoh, Islam datang sebagai tasawuf dan berkembang tanpa friksi besar dengan kebudayaan setempat. Karenanya, percampuran antara cara hidup sufi dan adat setempat sudah sedemikian mengena, sehingga pembaruan yang dilakukan langsung mengalami loncatan jauh dan lebih bersifat mendasar, yaitu dengan munculnya gerakan kaum muda dari kelompok modernisten yang disebutkan di atas.

Di Jawa, sebaliknya Islam membawakan tahap-tahap perkembangan yang berbeda. Pada mulanya terjadi perlawanan keras dari kebudayaan setempat yang sudah ada, sehingga perkembangan tasawuf Islam di pulau ini mengalami dua tahap, pertama masa penyesuaian dengan kebudayaan setempat itu dalam bentuk munculnya penampilan ‘anthropomorfistis’ (wahdaniyyah) dari tasawuf itu sendiri, dan masa konsolidasi tasawuf dengan penghancuran gerakan wahdaniyyah itu beberapa waktu kemudian. Proses pertarungan intern di kalangan tasawuf itu kemudian melemahkan dirinya sendiri, sehingga memungkinkan munculnya pembaruan yang lebih bersifat terbatas, sebelum pada akhirnya muncul juga pembaruan total seperti yang dilakukan oleh kaum muda di Sumatera, dalam bentuk Muhammadiyah, Persis dan sebagainya. Pembaruan terbatas itulah yang sering lepas dari pengamatan selama ini.

Pembaruan terbatas itu adalah pembaruan oleh kaum fiqh tradisional atas kehidupan sarwa tasawuf, katakanlah semacam pengendalian ekses-ekses tasawuf oleh kaum fiqh, tanpa menghilangkan eksistensi gerakan-gerakan tasawuf (dinamai tarekat) itu sendiri. Hasilnya adalah semacam quasi pembaruan yang memantapkan tasawuf, karena diberi legitimasi lebih kuat lagi, seperti kehadiran Ja’iyyah al-Tariqah al-Mu’tabarah di lingkungan Nahdatul Ulama (NU). Maka yang terjadi bukanlah pertarungan sengit antara kaum tua tradisional melawan kaum muda modernis seperti di Sumatera, melainkan antara sebuah gerakan pembaruan terbatas seperti Nahdlatul Ulama (NU) melawan kaum muda yang diwakili Mahammadiyah dan Persis.

Pembaruan berhimpit, apalagi yang berlangsung dalam jarak yang saling susul-menyusul terlalu dekat, memang sulit ditangkap secara jelas. Tetapi justru di sinilah terletak titik penting dari keseluruhan pembaruan pemikiran agama di kalangan kaum muslimin kita: perbedaan sikap masing-masing terhadap jenis-jenis pembaruan yang lebih baru lagi, yang terjadi di saat-saat terkemudian lagi dari permulaan gerakan masing-masing.

III

Pada pembaruan total, seperti yang dijalankan kaum muda modernis, penolakan terhadap unsur-unsur keagamaan lama bersifat lebih menyeluruh pula. Khusus dalam lingkungan Muhammadiyyah dan Persis, hal ini berarti kuatnya kecenderungan legal-formalistik yang bercirikan dua hal utama; (a) penolakan terhadap pendekatan non-skriptural terhadap ajaran agama; dan (b) tuntutan akan Weltanschaaung yang bersifat Islam sebagai pengganti pandangan hidup yang ada, yang dinilai non-Islam. Kenyataan inilah yang sebenarnya berada di belakang tuntutan akan lembaga non-Islam, seperti Demokrasi Islam, Ekonomi Islam, Pendidikan Islam, Masyarakat Islam dan seterusnya.

Pada pembaruan terbatas, telah terjadi sedikit banyak proses tawar-menawar dengan apa yang sudah lama ada, karenanya tuntutan yang diajukan terbatas, tidak bersifat perombakan total secara formal. Bahkan, dalam banyak hal justru kebutuhan yang terasa adalah untuk memelihara status quo secara umum daripada perombakan dalam skala luas. Walaupun memiliki pendekatan legal-formalistik juga, namun legal-formalismenya justru berusaha menyerap unsur-unsur dari perwujudan keagamaan yang sudah ada. Dengan demikian, kebutuhan akan jenis masyarakat yang baru sama sekali dari yang sudah ada, tidak begitu terasa. Pendekatan yang digunakan, terkecuali dalam hal-hal yg dianggap prinsipil, tidaklah bersifat skriptural, karena dalam dirinya pembaruan terbatas ini memiliki kelengkapan penyerapan, yang diterimanya dari perwujudan agama di masa lalu.

Perbedaan kedua jenis pembaruan total dan terbatas ini memiliki implikasi penting bagi pembaruan yang terkemudian dari keduanya. Ide sekularisasi, misalnya, justru lebih diarahkan kepada perombakan total dari pembaruan menyeluruh dari kelompok modernis, dan yang jelas justru lebih ditujukan kepada skripturalismenya. Jadi ia lebih mengenai dasar-dasar pemikiran agamanya. Karenanya, penolakan terhadap gagasan sekularisasi-nya Nurcholish Madjid beberapa tahun yang lalu juga lebih terasa di kalangan kaum modernis. Ide tersebut lebih dirasakan sebagai ancaman bahaya di kalangan mereka daripada di kalangan pembaruan terbatas.

Implikasi lain dari perbedaan watak antara kedua pembaruan total dan terbatas itu adalah penetapan jenis penyegaran yang dapat ditawarkan kepada keduanya. Pada pembaruan total, jenis penyegarannya adalah melalui penyegaran dasar-dasar pemikiran agamanya, seperti yang dilakukan Nurcholish Madjid dengan gagasan sekularisasinya. Sebaliknya, pada pembaruan terbatas, sebenarnya tidak diperlukan perubahan dasar-dasar pemikiran itu, karena ia mampu menyusun eksistensinya sendiri di atas pandangan hidup yang sudah ada, atau dengan kata lain ia mampu hidup dalam keadaan masyarakat apa saja. Penyegaran yang ditawarkan kepadanya cukup dalam perubahan orientasi pemikiran (pemberian tekanan kepada masalah-masalah keduniawian dan sebagainya) dan lingkup pemikiran (perluasan bentuk kegiatan pengabdian agama kepada masalah-masalah kemasyarakatan, seperti perluasan wilayah dakwah tingga meliputi upaya pelayanan sosial-ekonomis dan sebagainya).

Dalam perumusan ini, penyegaran pada pembaruan total memang dapat berlangsung cepat, yaitu dengan menggantikan dasar-dasar pemikiran agama yang baru kepada dasar pemikiran skriptural yang ada. Pada pembaruan terbatas, tidak diperlukan pengenalan dasar-dasar pemikiran agama yang baru, cukuplah dengan memperkenalkan kepadanya orientasi keagamaan dan lingkup pemikiran agama yang baru. Sudah tentu implikasi dari kenyataan yang saling berbeda ini sangat besar bagi perumusan kebijakan keagamaan.

Pemikiran untuk mengintegrasikan pendidikan Islam ke dalam pendidikan nasional, sehingga tercapai sebuah sistem pendidikan tunggal yang berlaku untuk seluruh bangsa, sebagai misal, akan dianggap sebagai pemikiran sekuler di kalangan kaum pembaru total. Tetapi pemikiran itu, dengan modifikasi sedikit di sana sini, akan lebih tercerna oleh kaum pembaru terbatas. Tradisionalisme yang mereka miliki, karena telah memiliki watak dinamis, sanggup mencarikan titik-titik terang dengan pemikiran di atas. Ini berarti penyusunan kebijakan keagamaan kita tidak boleh sekaligus menghapuskan dualisme pendidikan yang ada, tetapi juga harus mempersiapkan cara-cara integrasi yang lancar dan rapi di kemudian hari.

Dengan sekadar sebuah contoh dari implikasi kenyataan perbedaan pendekatan dalam menyegarkan kedua jenis pembaruan di atas, dicukupkan hingga di sinilah sumbangan yang masih serba kurang dan tidak lengkap ini.