Kata Pengantar: Hassan Hanafi dan Eksperimentasinya

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Dalam tahun 1961 Hassan Hanafi memperoleh hadiah bagi penulisan karya ilmiah terbaik di Mesir. Karya itu adalah Essai sur la methode d’Exegese (Esai tentang Metode Penafsiran), disertasi setebal lebih dari 900 halaman yang diselesaikannya di Universitas Sorbonne (Prancis). Esai demikian tebal dan monumental itu adalah upaya Hassan Hanafi untuk menghadapkan ilmu usul fiqh (teori Hukum Islam, Islamic legal theory), pada sebuah madzhab filsafat modern, yaitu Fenomenologi yang dirintis oleh Edmund Husserl. Sebuah eksperimen sangat menarik, karena relativitas sangat tinggi dari kebenaran, yang ditarik dari rangkaian fenomena dengan variasi tak berhingga, diproyeksikan pada ‘kepastian’ normatif yang berdimensi waktu abadi dari hukum agama, yang bertumpu pada ‘rasionalitas Tuhan’ (logos). Infinitas dari rangkaian fenomena kehidupan, yang sama sekali tidak memiliki pretensi kelanggengan, diterapkan pada ketangguhan kerangka berpikir yang mendukung keabadian kitab suci Al-Qur’an.

Hanya karya itu terlalu tebal dan sulit dicernakan orang, di samping ia ditulis dalam bahasa Prancis yang jarang digunakan para pemikir di kebanyakan negeri berpenduduk muslim, maka karya itu hampir-hampir tidak memperoleh perhatian. Tetapi pada waktu itu pun telah terlihat orisinalitas pandangan yang dikembangkan oleh Hassan Hanafi. Ia coba mengambil yang terbaik dari dua cara berpikir, dan kemudian memadukan perolehannya itu ke dalam sebuah paradigma baru. Konstruk yang dihasilkannya tidak kehilangan orisinalitas keislamannya, walaupun orisinalitas itu disentuh oleh masukan-masukan yang memperkaya kelanjutan kehidupannya. Memang pada eksperimentasi awal ini belum terlihat konstruk baru yang radikal dan merombak cara berpikir lama, mungkin kala itu ia masih berusia sangat muda dan harus memperhitungkan pendirian para promotor dan pengujinya, yang tentu di antara mereka ada yang masih berpendirian konstruktif.

Dasawarsa 1960-an adalah zaman keemasan tiga pandangan di Mesir, yang sedikit banyak juga mempunyai pengaruh di negara-negara Arab lainnya. Ketiganya adalah pandangan sosialistik, pandangan nasionalistik, dan pandangan populistik, yang secara tepat dirumuskan sebagai ideologi Pan-Arabik. Pan-Arabisme menjadi ideologi dominan di Aljazair di bawah pimpinan Ahmed ben Bella. Pada waktu itu, Ba’atsisme di Siria dan Lebanon sedang menapak jalan menuju kekuasaan. Di Mesir variasi nasionalisme Arab dikembangkan oleh presiden Gamal Abdel Nasser, yang secara populer disebut sebagai Nasserisme. Paham ini bergaung di Sudan, Yordania, dan kawasan selatan Yaman dan Siria dipersatukan dalam sebuah negara dengan Mesir, dan negara gabungan itu disebut Republik Persatuan Arab. Sekitar 80% penduduk negara-negara Arab diperintah oleh berbagai paham-paham nasionalistik-sosialistik-populistik itu. Hampir seluruh pemikiran tentang politik dan ideologi didominasi oleh paham tersebut.

Tidak terkecuali dalam hal ini, pemikiran politik di kalangan para sarjana dan cendekiawan muslim juga sangat terpengaruh oleh kecenderungan dominan. Di antara kesekian banyak cendekiawan muslim, dalam arti pemikir yang memiliki, baik komitmen cukup pada Islam maupun keahlian dalam ilmu-ilmu agama Islam, dapat kita ketemukan Hassan Hanafi. Doktor muda yang kemudian mengajar di fakultas sastra jurusan filsafat Universitas Kairo ini segera saja meleburkan diri ke dalam proses pencernaan pemikiran-pemikiran Pan-Arabik secara langsung. Namun sifat kajiannya waktu itu masih bersifat ilmiah murni, tanpa kandungan reflekif yang bermuatan ideologis. Mungkin di saat-saat itulah ia mencari tempat yang tepat secara paradigmatik bagi Islam sebagai sebuah pandangan hidup dalam kiprah bangsa dan negara. Pencarian itu dilakukan secara diam-diam, sehingga tidak tampak di permukaan kancah pertarungan pemikiran antara tokoh-tokoh, seperti Zakki Naquib Mahmud, al-Aqqad, Sayyid Qutb, dan seterusnya.

Baru pada bagian seperlima akhir dasawarsa itu Hassan Hanafi mulai tampak gregetnya. Ia mulai berbicara tentang keharusan bagi islam untuk mengembangkan wawasan kehidupan yang progresif, dengan dimensi pembebasan (taharrur, libernation) di dalamnya. Watak pembebasan dari wawasan progresif itu bertumpu pada beberapa unsur penopang. Di satu pihak, gagasan akan keadilan sosial yang harus ditegakkan, kalau manusia ingin benar-benar berfungsi sebagai pelaksana fungsi ketuhanan (khalifah Allah) di muka bumi. Seorang khalifah harus memiliki otonomi penuh atas dirinya, dan otonomi itu hanya dapat dicapai melalui tegaknya keadilan sosial. Tiang penopang berupa keadilan sosial ini menembus segala bentuk dan corak pemerintahan. Di pihak lain, keadilan sosial hanya dapat berwujud, bilamana ada para pejuang pembebasan umat manusia yang tergabung dalam kegiatan terorganisir yang mengarah pada tujuan pembebasan tersebut. Untuk memungkinkan membuat kiprah mereka itu efektif, diperlukan ideologi yang jelas-jelas membawakan suara pembebasan. Karenanya Islam sendiri tidak dapat dijadikan ideologi yang semata-mata berfungsi pembebasan. Keseluruhan warisan kesejarahan Islam menunjuk pada keharusan pencegahan hubungan langsung antara Islam dan kekuasaan. Watak normatif Islam akan menghalangi tumbuhnya elan revolusioner yang harus dimiliki, jika Islam ingin menjadi ideologi independen.

Dalam perkembangan pemikiran selama bertahun-tahun itu Hassan Hanafi sampai pada kesimpulan, bahwa Islam sebaiknya berfungsi orientatif bagi ideologi populistik yang ada, yang waktu itu hampir sepenuhnya diwakili oleh berbagai bentuk sosialisme. Demikian kuat keyakinan Hassan Hanafi akan pentingnya penumbuhan orientasi keislaman pada ideologi populistik, sehingga akhirnya ia mencetuskan gagasan Kiri Islam (Al-Yasar al-Islami, Islamic Left). Jelas dapat disimpulkan dari penalaran Hassan Hanafi, bahwa ia mengacu pada sebuah analisa kelas yang mendominasi sosialisme sebagai paham, termasuk jenis-jenis sosialisme yang tidak Marxis-Leninis. Pilihan Hassan Hanafi jatuh pada Sosialisme yang bertumpu pada Marxisme-Leninisme yang dimodifikasikan, seperti Sosialisme Arab. Dikatakan dimodifikasi, karena hakikat materialistik dari Determinisme-Historik, yang meniscayakan kehancuran kapitalisme dan feodalisme dan kemenangan proletar, ditolak secara tegas. Determinisme-Historik yang meniscayakan kebebasan manusia itu diberi ruh nonmaterialistik, seperti permunculan unsur-unsur progresif dalam agama dan pranata lain yang bersifat keruhanian atau kesejarahan.

Dengan mengikuti Determinisme-Historik versi ini, Hassan Hanafi lalu mengambil posisi ke-kiri-an (al-Mauqif al-al-Yasari, leftis position). Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa ia membawakan gagasan pembebasan melalui penghancuran konstruk lama yang serba reaksioner dari Feodalisme Kapitalistik, yang menguasai masyarakat-masyarakat dunia yang sedang berkembang. Karena kaum reaksioner dinilai sebagai “Kaum Kanan”, dengan sendirinnya lawan mereka, termasuk yang tidak komunistik, dianggap sebagai “Kaum Kiri”. Sudut pandang seperti inilah yang harus kita miliki untuk menilai ke-kiri-an Hassan Hanafi, yang pada dasarnya juga ditentang oleh kaum Kiri komunistik. Memang penggunaan istilah Kiri Islam oleh Hassan Hanafi, karena dikemukakan secara bertahap dan belum memiliki keutuhan teoretik, sering kali menimbulkan kesalahpahaman ke-kiri-an yang ditumbuhkan dari keislaman, sejauh mana pun ia berlaga dengan ke-kanan-an, kemutlakannya tidak dapat diterima Komunisme. Sedangkan tanpa kemutlakan ideologis, Komunisme tidak akan mungkin bertahan lama pada analisis Marxis-Leninis, yang disebut juga pendekatan Internasional III. Komunisme yang “dikebiri” itu semakin lama akan semakin menjurus ke arah Sosialisme Demokrat (Social Democracy), yang oleh kaum komunis totok disebut penganut Internasional II.

Sosialisme Islam sebagai paradigma baru dalam perbendaharaan intelektual tentang ideologi-ideologi dunia ternyata tidak berlanjut terlalu jauh. Kematian Nasser di awal dasawarsa 1970-an memberikan pukulan hebat pada paham Sosialisme Arab. Mesir, sebagai bangsa Arab terbesar, lalu memupuk Nasionalisme-Pragmatik di bawah pemerintahan mendiang presiden Anwar Sadat. Semacam teknokrasi-nonideologis menguasai agenda politik, dan dengan sendirinya menggusur popularitas Sosialisme dalam segala bentuknya sebagai topik perdebatan. Apalagi Nasserisme secara ekonomis tidak mencapai sasaran sama sekali. Autarki yang tidak efisien, hanya berkesudahan pada subsidi oleh negara dalam jumlah fantastik dalam bentuk industri yang sebenarnya tidak diperlukan. Subsidi seperti itu lalu mematikan kreativitas dan inisiatif masyarakat untuk membangun, karena munculnya budaya ketergantungan pada pemerintahan. Lingkaran setan ini diperkokoh oleh birokratisasi yang tidak terkendali lagi. Tak mengherankan jika kemandekan pemikiran sosialistik ini membuat lemah posisi paham tersebut dalam percaturan bangsa-bangsa Arab. Pemimpin-pemimpin dengan gairah sosialistik dari varian Nasserisme saling menjatuhkan. Ben Bella ditumbangkan oleh Hawari Boumedien, demikian pula kakak beradik Abdul Salam dan Abdul Rahman Arif ditumbangkan oleh kaum Ba’athis di Irak. Di Sudan, yang muncul adalah sebuah pemerintahan militer di bawah pimpinan Ja’far Numeiry, yang semakin lama semakin menunjukkan wajah keislaman ideologis-nya. Masa kenaasan berkepanjangan itu juga diakibatkan oleh berkembangnya ideologi Islam yang progresif, tetapi menolak ke-kiri-an, seperti paradigma Velayat-i-Faqih (pemerintahan ulama), yang dikembangkan oleh mendiang Ayatullah Ruhullah Khomeini dari tanah pembuangan (Irak lalu sebentar di Turki dan setelah itu di Prancis).

Paceklik pemikiran kaum sosialis itu mendorong sublimasi pemikiran pembebasan dalam diri Hassan Hanafi itu pada tataran baru dalam perjalanan pemikirannya. Ia tidak lagi berbicara tentang ideologi tertentu, tetapi tentang paradigma baru yang harus dimiliki Islam dalam konteks munculnya Universalisme baru yang sesuai dengan sumber-sumber ajaran Islam sendiri maupun kebutuhan hakiki kaum muslimin. Pandangan baru itu dikembangkannya sejak paro kedua dasawarsa 1980-an hingga kini. Dapat dimengerti jika ia lalu mencari Universalisme dengan kelebaran spektrum sesuatu ideologi, bahkan yang seluas Sosialisme sekalipun jangkauannya. Sebuah perpindahan sangat menarik pada sebuah tataran baru dalam pemikiran, yang memiliki implikasi sangat jauh bagi pemikiran keagamaan kaum muslimin. Kalau proyeksi kita saat ini akan kemandekan Islam sebagai ideologi politik dibuktikan oleh sejarah di kemudian hari, terlepas dari kenyataan bahwa masih banyak “Negara Islam” yang tegak berdiri saat ini, maka pada waktu itulah akan muncul relevansi pemikiran-pemikiran universalistik yang diajukan Hassan Hanafi saat ini.

Pemikiran universalistik Hassan Hanafi itu dapat dilihat atau ditopang dari dua pendekatan. Pendekatan pertama adalah pengintegrasian wawasan keislaman dari kehidupan kaum muslimin ke dalam upaya penegakkan martabat manusia melalui upaya pencapaian otonomi individual lebih penuh bagi warga masyarakat; penegakan kedaulatan hukum; penghargaan pada hak-hak asasi manusia; penguatan (empowerment) bagi kekuatan massa rakyat jelata. Langkah-langkah itu haruslah didudukkan pada sendi-sendi kultural ekonomis dan politis yang teguh. Karenanya sejumlah prinsip lalu menjadi penting dalam penciptaan paradigma baru pembebasan itu, seperti penolakan terhadap kekerasan (violence).

Di sudut pandang lain, paradigma universalistik yang diinginkan Hassan Hanafi itu harus dimulai dari pengembangan epistimologi ilmu pengetahuan baru. Orang Islam tidak butuh hanya sekedar menerima dan mengambil alih paradigma-paradigma ilmu pengetahuan modern yang dibawakan oleh orang Barat, tetapi juga harus mengikis habis penolakan mereka terhadap peradaban ilmu pengetahuan orang Arab. Karena ilmu pengetahuan dan peradaban Barat bertumpu pada materialisme, maka harus dikembangkan pengertian yang tepat bagi kaum muslimin tentang khazanah peradaban Barat itu sendiri. Hanya hal-hal yang fitrah, yang memang ditolak oleh Islam yang perlu digunakan dalam melakukan seleksi atas partikel peradaban Barat yang masuk ke dunia Islam. Dari kebutuhan melakukan seleksi dan dialog konstruktif dengan peradaban Barat itu, yang memiliki kelemahan-kelemahan serius, lahirlah kebutuhan untuk mengenal dunia Barat dengan setepat-tepatnya. Upaya pengenalan itu sebagai unit kajian ilmiah, berbentuk ajakan pada ilmu-ilmu kebaratan (Al-Istighrab, Oksidentalisme) sebagai imbangan bagi ilmu-ilmu ketimuran (Al-Istisyraq, Orientalisme). Oksidentalisme bermaksud mengetahui peradaban orang Barat sebagaimana adanya, termasuk kekuatan-kekuatan dan kelemahan-kelemahan yang dimilikinya. Dari pendekatan seperti inilah lalu akan muncul kemampuan mengembangkan kebijakan (policy development) yang diperlukan kaum muslimin dalam jangka panjang. 

Dilihat dari uraian di atas, tampak dengan jelas bagi kita bahwa eksperimentasi yang dilakukan oleh Hassan Hanafi menunjukkan penalaran yang semakin meningkat tatarannya. Dari kajian ilmiah atas satu bidang studi keislaman, ia menaikkan taraf pemikirannya pada pembuatan paradigma ideologi baru, termasuk pengajuan Islam sebagai alternatif pembebasan bagi rakyat jelata di hadapan kekuasaan kaum feodal. Pendekatan tersebut diproklamasikan sebagai Kiri Islam. Demikian pula setelah menyadari kegagalan pendekatan ke-kiri-an itu. Hassan Hanafi membawa kita ke tataran pemikiran baru, yang lebih sublim tetapi lebih memberikan harapan Islam menjadi mitra bagi peradaban-peradaban lain, dalam penciptaan peradaban dunia yang baru dan universal. Kritik yang dilancarkan Shimogaki atas orientasi ke-kiri-an yang dikembangkan Hassan Hanafi, melalui paham Kiri Islam, yang menjadi kandungan isi buku ini, adalah kajian menarik atas salah satu titik penting dalam pemikiran Hassan Hanafi. Tanpa memahami ”periode Kiri Islam” dari pemikiran Hassan Hanafi ini, kita tidak akan mampu memahami sepenuhnya apa yang ia yakini. Padahal Hassan Hanafi justru mendorong kita mereguk sepuas-puasnya air dari sumber universalisme, yang berintikan pembebasan kaum muslimin dari keterikatan yang membuat mereka bodoh dan terbelakang selama ini. Bukankan pembebasan seperti ini juga esensi pembebasan dari struktur kapitalistik dan feodal yang dahulu diperjuangkan melalui paham Kiri Islam?