Hikmah Muktamar PPP II

Sumber Foto: https://www.datatempo.co/foto/detail/P1207200215465/hj-naro-dalam-kampanye-ppp-di-jakarta-utara

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Muktamar II Partai Persatuan Pembangunan (PPP) menyuguh kan sebuah kejutan: dewan foramtur yang sama sekali di luar dugaan. J. Naro dibanting, keluar hanya sebagai juru kunci dalam memperoleh suara. Hilang keangkeran tokoh PPP ini  dan yang tertinggal hanyalah kenangan akan sikapnya yang otokratik dalam memimpin organisasi tersebut. Kenangan manis bagi yang menikmati kepemimpinannya itu, dan kenangan pahit bagi lawan-lawan yang dibantainya.

Terlepas dari kemungkinan sangat jauh bahwa ia akan menjadi Ketua Umum lagi, dngan penetapan dewan formatur itu, satu hal muncul dengan gamblang. Zaman ‘orang pusat’ bisa mengatur PPP seenak perutnya sudah lewat. Yang timbul adalah kemampuan ‘orang-orang daerah’ untuk menggalang persatuan di antara sesama mereka sendiri, untuk mematahkan hegemoni ‘orang pusat’ dengan politik pemecah belahan yang dianutnya. Siapa pun ‘orang pusat’ itu.

Jelas yang terjadi adalah percaturan antara kubu Naro melawan kubu penentangnya. Kalau di antara penentang itu ada yang ingin mendirikan kubu untuk dirinya sendiri, seperti Hartono mardjono, ia akan dibantai. ‘Orang pusat’ boleh ikut dalam penggalangan baru itu, jika bekerja untuk kepentingan bersama. Toh akhirnya kepemimpinan akan kembali kepada ‘orang-orang pusat’ juga. Hanya saja harus melalui perkenan ‘orang-orang daerah’. Dengan kata lain, pusat-pusat kekuatan di lingkungan intern PPP sudah tidak lagi berat di atas, melainkan sudah mencapai keseimbangan baru antara kepentingan ‘orang pusat’ dan ‘kepentingan daerah’.

Ini adalah sebuah kemajuan dalam pembangunan politik kita. Seluruh bangsa akan memetik manfaat dari proses politik yang dinamik seperti ini. Bahwa ‘orang pusat’ tidak selamanya kuat, dan ‘orang daerah’ tidak selamanya lemah di hadapan kekuatan itu.

Dilingkungan organisasi kemasyarakatan, keseimbangan seperti itu sudah berjalan sangat lama. Sudah sejak kelahiran masing-masing, dan terpelihara hingga sekarang. Tetapi penyederhanaan jumlah organisasi sosial politik telah menghapus tradisi itu. Sebagai risiko politik, tentunya, demi penataan lebih fungsional dan rasional bagi kehidupan politik kita.

Dengan susah payah akhirnya PPP berhasil menemukan kembali tradisi yang dahulu menghidupi semangat demokratik di lingkungan partai-partai politik yang kemudian melebur ke dalam dirinya. Tradisi kontrol ‘bawah’ terhadap ‘atas’, ‘daerah’ terhadap ‘pusat’.

Di lingkungan PDI, upaya seperti itu belum membuahkan hasil, walaupun sebenarnya sekian partai politik melebur diri dalam PDI sebenarnya memiliki tradisi itu.

Kalau Golkar memang bukan orsospol yang berasal dari tradisi partai-partai politik lama. Pantas saja kalau ia mengalami kesulitan menumbuhkan pola hubungan timbal balik seperti itu.

Proses demokratis memang panjang jalannya. Dan banyak anak tangga perkembangan yang harus dilalui. PPP berhasil meniti sebuah anak tangga lagi, dengan menampilkan keseimbangan baru antara pusat dan daerah, antara atas dan bawah. Terlepas dari apa pun hasil berupa kepemimpinan baru yang diselesaikan dewan formatur, sebuah tonggak sejarah baru yang kehidupan politik kita sebagai bangsa telah berhasil ditegakkan.